Selasa, 01 Februari 2011

Asa Abu Abu III

 
“Bagaimana kabarmu Nis?”

Alhamdulillah Bu, baik.”

“Sudah hamil?”

Pertanyaan yang sekian ratus kali ditanyakan ibu mertua. Dadaku sesak. Tidakkah beliau mengerti? Anak adalah karunia Allah. Dan aku, juga suami, tidak kuasa mengadakannya tanpa seizin-Nya.

“Anisa! Sudah hamil belum kamu? Kok diam!”

“Maaf Bu. Belum.”

“Belum juga? Yang kamu kerjakan apa? Apa kamu tidak bisa melayani suami dengan baik? Atau kamu yang mandul?” Kata-kata ibu terakhir, bagaikan sebuah pedang yang menebas habis asaku.

“Ibu, saya dan mas Rizal....” Belum selesai perkataanku, tiba-tiba, “Klik”, sambungan telepon terputus.

Rabb, sabarkanlah diriku. Benarkah bahwa diri ini mandul? Ku usap perut bagian bawah. Anak! Sosok yang selalu dirindukan sepasang suami istri. Hatiku trenyuh. Tidak terasa, air mata menitik.

Delapan bulan usia pernikahanku dengan mas Rizal. Seorang laki-laki yang baik. Sangat baik. Belum pernah aku mendengar suaranya mengeras, meskipun aku sering mengganggu aktivitas kerjanya yang padat. Atau bahkan, ketika ia sedang rapat dengan direktur, ia akan berucap lembut, “Nanti ya sayang!”.

“Hiks”, aku merindukannya..., menenggelamkan kepalaku dalam dekap hangat kedua-tangannya, merasakan kelegaan di dada-bidangnya. Bila ia ada, pasti beban ini tak terasa berat.

“Tok tok tok!” Ada yang mengetuk pintu kamarku.

“Iya, sebentar!” Kubuka daun pintu perlahan. Sosoknya laki-laki tegap berdiri tegak di hadapanku. Subhanallah, mas Rizal. Tanpa ba-bi-bu, langsung kutubruk mas Rizal. Kuluapkan semua rasa di dadanya yang bidang. Dan mas Rizal seperti biasa, mendekapku hangat, sampai aku menjadi tenang.

“Sayang, sampai kapan berpelukan seperti ini? Apa tidak malu dilihat teman kos nanti?” Mendengar perkataan mas Rizal, ku mulai melepas pelukan. Tapi tidak benar-benar lepas. Melainkan berganti posisi. Kudekap tubuh suamiku dari samping.

“Kita masuk ya....” mas Rizal membawaku melangkah masuk ke dalam kamar. Ia mendudukkanku di tepi ranjang. Kedua tangannya menyentuh pipiku lembut, dan mengesat air mata yang masih mengalir.

“Ada apa? Suami datang, tidak disambut dengan senyum, malah dengan tangis”, ucap mas Rizal lembut.

“Ibu Mas...!”

“Kenapa dengan ibu?”

“Ibu tanya lagi tentang anak. Aku jadi sedih!”

“Sini!” Tiba-tiba mas Rizal menarik tubuhku. Untuk sekian kali aku merasakan kembali dekap-hangatnya.

“Sayang, kamu pasti paham. Anak adalah pemberian Allah. Sekeras apa pun usaha kita, bila Ia belum berkehendak, pasti lah tidak akan hadir. Sabar ya! Kita akan berusaha dan berdoa bersama!”

“Iya, tapi Mas....”

“Tapi apa? Mau sekarang?” Mas Rizal melepas dekapan. Dan menatapku serius.

“Ah, Mas. Of course not!” Kuhujani laki-laki di depanku dengan gelitikan.

“Ei..., jangan! Geli tau!”

**

“Anisa, ada janji ketemu promotor? Kita ke Ambarukmo Plaza yuk! Ada pameran buku”, ajak mbak Laila, dosen salah satu Perguruan Tinggi Swasta di Jakarta. Sama-sama sedang mengambil S3 di UGM, tapi berbeda minat.

“Nggak ada Mbak. Ehm, boleh. Mau pergi kapan?”

“Sekarang aja ya! Ntar bisa pulang sebelum Ashar!”

Okay Mbak. Kita naik Trans Jogja aja ya Mbak?”

“Iya”

Aku dan mbak Laila berjalan menuju halte terdekat. Kira-kira berjarak lima ratus meter dari kampus.

“Anisa sudah punya suami ya?”

“Iya, kenapa Mbak?”

“Nggak pa-pa. Dua minggu yang lalu aku melihatmu berjalan dengan laki-laki di Jalan Kaliurang, bergandengan lagi! Gak mungkin kan, orang sepertimu bergandengan dengan laki-laki yang bukan muhrim?”

“Oh, iya Mbak. Saat itu kami sedang jalan-jalan cari makan.”

“Suamimu kerja di Surabaya juga?”

“Di Denpasar Mbak!”

“Eh, Nis, itu bus yang ke Ambarukmo udah datang. Ayo, agak cepat!”

Mbak Laila mempercepat langkahnya. Aku tidak sanggup mengimbangi langkah-langkah mbak Laila. Kepalaku terasa agak berat. Pusing.

“Yah, busnya berangkat Nis!”

Aku sudah tidak peduli dengan perkataan mbak Laila. Kepalaku semakin berat.

“Hei, Nis, kenapa? Kamu pucat sekali?”

“Aku hanya....” Belum selesai kata-kataku, tiba-tiba semua menjadi gelap. Setelah itu, aku tidak tahu apa-apa.

**

“Anisa!”

Aku mendengar ada yang memanggil namaku. Perlahan, kubuka kedua mata. Kulihat mbak Laila duduk di samping tempat tidur, dimana aku terbaring.

“Ini di mana Mbak?”

“Di Rumah Sakit. Kamu pingsan cukup lama. Hampir dua jam.”

Pingsan. Ada apa denganku? Oh, kepalaku masih agak berat.

“Dokter bilang apa Mbak?”

“Belum bilang apa-apa. Bentar lagi pasti ke sini.”

“Oya Nis, tadi suamimu menelpon!”, lanjut mbak Laila.

“Mbak bilang, kalo aku pingsan?”

“Ya iyalah. Secara dia adalah suamimu!”

Kasian mas Rizal. Pasti ia sangat khawatir.

“Selamat siang!” Tiba-tiba muncul sosok berjas putih di ambang pintu. Dokter. Ia melangkah mendekati tempat tidur. Kemudian memeriksa denyut nadiku sebentar.

“Ada apa dengan saya Dok?”

“Tidak apa-apa. Wajar bila Anda pingsan! Lain kali harus hati-hati ya!” Aku mengernyitkan dahi. Dokter ini tidak salah? Pingsan kok dibilang wajar!

“Makanlah yang cukup, janin dalam kandungan anda butuh nutrisi yang baik!”

“Janin?”, tanyaku tidak percaya, “Saya? Aa.. apa saya hamil, Dok?”

“Iya”, jawab dokter itu dengan senyum. Subhanallah, terima kasih ya Allah. Kurasakan dunia begitu indah. Aku akan menjadi ibu. Ibu, lihatlah! Aku tidak mandul! Aku akan segera memberikan seorang anak untuk mas Rizal tercinta. Cucu yang ibu rindukan akan datang. Paling tidak, sembilan bulan lagi.

“Tetapi, maaf, harus saya sampaikan. Berdasarkan pemeriksaan kami, kandungan Ibu termasuk lemah. Saya sarankan, Ibu tidak melakukan aktivitas-aktivitas berat. Akan sangat berisiko untuk keselamatan kandungan Ibu.”

Astaghfirullah. Tiba-tiba kulihat mendung menggelayut di langit-biru asaku. Tetapi mendung tidak selalu hujan. Angin akan segera membawanya pergi. Dan langit–asaku akan biru kembali.

“Iya, terima kasih Dok. Ehm, sampai kapan saya di sini Dok?”, tanyaku.

“Bila kondisi Ibu telah benar-benar pulih, esok hari, Ibu bisa pulang!”, jawab dokter.

“Maaf, saya akan memeriksa pasien lain. Bila ada sesuatu, silakan menghubungi perawat!”, lanjut sang dokter. Dokter itu pun segera berlalu.

“Anisa, selamat ya! Kamu akan menjadi ibu! Dijaga baik-baik ya calon baby-mu!”, ucap mbak Laila. Mbak Laila turut bergembira mendengar kabar kehamilanku. Apa ia tidak mendengar perkataan dokter tadi? Kandunganku termasuk rawan. Bahkan mungkin, aku harus cuti kuliah. Karena S3 ini berbeda dengan S2 dulu. Mobilitasku akan cukup tinggi dan itu pasti lah akan melelahkan.

“Iya, terima kasih banyak Mbak! Doakan ya Mbak, kandunganku akan baik-baik saja!”

“Amin. Insya Allah akan baik-baik saja!”

“Anisa, kamu tidak apa-apa?”, terdengar suara orang yang sangat kukenal. Ya, suara mas Rizal. Kuarahkan pandangan ke pintu kamar. Dan benar. Mas Rizal telah berdiri di sana. Sangat jelas tergambar raut kekhawatiran di wajahnya. Dengan tergesa, ia menuju ke arahku.

“Kamu tidak apa-apa, Sayang?”, tanya mas Rizal sambil memegang keningku. Hh, kaya anak kecil saja. Tetapi, tak lama, ia mengecup lembut.

“Tidak apa-apa, Mas.”

“Kamu pingsan kenapa? Kecapean?”, tanya mas Rizal khawatir.

“Nggak!”, jawabku.

“Truz kenapa?”, kejar mas Rizal.

“Sini!”, aku memberi isyarat agar mas Rizal mendekat. Mas Rizal Segera mendekatkan telinganya ke mulutku. Dan kubisikkan kabar yang selama ini selalu kami nantikan.

“Benarkah?”, ucap mas Rizal tidak percaya.

“Iya, Mas akan menjadi ayah!”, ucapku

Subhanallah, terima kasih Sayang”, reflek mas Rizal mencium kedua pipiku.

“Ehem!” Tiba-tiba ada yang berdehem di belakang mas Rizal. Masya Allah, aku lupa. Ada mbak Laila.

“Mbak Laila, maafkan aku!”, ucapku tidak enak pada mbak Laila.

“Oya Mas, kenalkan! Ini mbak Laila, teman kuliah S3!” Menyadari diperkenalkan, mas Rizal menganggukkan kepala ke arah mbak Laila. Dan mbak Laila pun menyambut dengan hal yang sama.

“Sebaiknya aku balik ya Nis? Kan udah ada suamimu!”, pamit mbak Laila.

“Ehm, mbak Laila, maaf ya?”, sahutku.

“Tidak apa Nisa! Aku ngerti kok. Semoga cepat pulih ya!”, sambung mbak Laila.

“Iya, terima kasih Mbak!”

“Sama-sama”

Mbak Laila segera berlalu dan menghilang di balik pintu. Melihat mbak Laila pergi, mas Rizal duduk di tepi pembaringan. Ia memegang tanganku erat dan menatap mesra. Bila melihat mas Rizal seperti ini, selalu ada keinginan untuk memeluknya. Dan kali ini, benar-benar kuwujudkan. Aku bangkit dari tidur dan kupeluk tubuhnya erat. Ingin kukabarkan bahwa sosok di depannya ini membutuhkan supply kekuatan dan ketegaran.

“Ada apa Sayang?”

“Mas, dokter bilang bahwa kandunganku lemah. Tidak boleh banyak melakukan aktivitas berat. Tapi, Mas kan tau, kuliahku cukup memberatkan”, ucapku sedih. Tak terasa, ada yang mengalir hangat di pipi.

“Udah, gitu aja nangis! Besok, kita ajukan cuti kuliah! So, kamu bisa istirahat total! Okay?”

Okay

Aku senang sekali. Mas Rizal selalu memutuskan sesuatu dalam waktu singkat. Entah, apakah otaknya sempat mengolah atau tidak, setiap solusi seakan-akan mengalir begitu saja dari mulutnya. Tetapi, justru itulah yang kusukai darinya, cepat mengambil keputusan.

**

“Nisa, ini, ibu mau bicara denganmu!” Mas Rizal menyodorkan HP-nya ke arahku. Ibu. Beliau pasti senang mendengar kabar kehamilanku.

“Hallo Ibu, assalamu’alaikum.”

Wa’alaikumsalam. Selamat ya atas kehamilannya!”

“Terima kasih banyak Bu.”  

“Kudengar dari Rizal, katanya, kandunganmu lemah! Dan sekarang cuti total dari kuliah!”

“Iya Bu. Mohon doa agar semua tetap baik-baik saja!”

“Iya, doa ibu selalu bersama kalian. Oya Nis, gimana bila ibu kirimkan bik Nipah untuk membantumu mengerjakan pekerjaan rumah tangga? Rizal kan sudah sejak kecil diasuh olehnya.”

“Saya senang sekali dengan tawaran Ibu. Tapi, bagaimana dengan Ibu? Siapa yang akan membantu?”

“Kebetulan, ada saudaranya bik Nipah sedang cari kerja. Ia sudah satu bulan ini tinggal bersama ibu. Kelihatannya, orangnya baik dan terpercaya. Ibu pekerjakan saja dia, mengganti bik Nipah. Gimana? Setuju ya?”

“Iya Bu, terima kasih banyak!”

“Ya udah, besok, suruh Rizal terbang ke Jakarta ya?”

“Iya Bu”

“Jaga baik-baik kandunganmu ya! Assalamu’alaikum.”

Wa’alaikumsalam

Ibu. Sekarang ibu sangat perhatian. Dahulu, ketika aku belum hamil, bila menelepon,
selalu bertanya, “Sudah hamil belum?”, dan setelah kujawab belum, ibu pasti akan segera memutus pembicaraan. Mungkin, ibu benar-benar menginginkan cucu dari mas Rizal, anak bungsunya.

**

Sudah satu minggu ini bik Nipah membantuku mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Sebenarnya bukan membantu, tepatnya, bik Nipah lah yang mengerjakan semua pekerjaan. Aku seakan-akan seorang ratu. Setiap sesuatu yang ingin kulakukan, selalu dicegah oleh bik Nipah. Apalagi bila ada mas Rizal, nyaris tidak ada yang kulakukan. Bosan. Dari aktifitas yang sangat padat, berubah 180o, no activity. Pekerjaanku, membaca dan menulis, itu saja. Atau kadang-kadang, bila mas Rizal sedang off, ia mengajakku belanja kebutuhan bayi di mall terdekat.

Hari demi hari, perutku semakin besar. Tidak terasa, kandunganku memasuki usia empat bulan. Usia dimana Allah meniupkan ruh-Nya ke tubuh jabang bayi yang ada di dalam perutku. Kurasakan ada yang bergerak-gerak. Subhanallah, ada makhluk hidup di sini, kedua tanganku membelai perutku yang mulai buncit.

“Mas, mau berangkat?” kuperhatian sosok laki-laki di depanku. Sedang berdandan. Merapikan rambut cepaknya, mengenakan hem biru muda, dan mulai mengancingkan kancing baju.

Entah. Ada yang menggerakkanku bangkit dari tempat tidur. Aku menghampiri mas Rizal.

“Kubantu ya Mas!”

Melihatku tiba-tiba di depannya. Mas Rizal hanya diam. Kuraih tepi kemejanya. Tanganku menyentuh kancing-kancing baju dan memasukkan ke lubang pasangannya. Kemudian, kupasangkan dasi warna biru tua. Tidak terlupa, kusematkan tie pin di dasinya. Perfect!

“Semoga, Mas segera naik pangkat menjadi general manager!”

“Amin!”

Tiba-tiba, aku memeluk sosok di depanku. Aku tidak ingin ia pergi. Untuk hari ini saja.

“Sayang, aku harus berangkat. Terima kasih telah membantu!”

Aku diam. Aku semakin mempererat pelukan. Aku ingin ia tahu, bahwa aku tidak menginginkan ia pergi.

“Sayang, please, hari ini ada kunjungan dari pusat!”

Aku tetap diam.

“Katanya pengen mas jadi general manager, kalau begini, mana mungkin bisa? Orang sering bolos kerja, bukannya general manager, tapi PHK yang didapat!”, bujuk mas Rizal.

“Mas, pulang jam berapa?”

“Seperti biasa, jam sembilan malam.”

“Jangan malam-malam!”, rajukku.

“Pekerjaanku benar-benar selesai jam segitu, Sayang!”

“Hmm, ya udah, waktu makan siang, mas ke rumah, kita makan bersama!”, lanjut mas Rizal.

“Mas janji?”

“Janji!” Akhirnya kulepaskan pelukan, dan mas Rizal segera pergi setelah mengecup kening dan perutku.

Setelah mas Rizal pergi, aku segera ke dapur, mencari bik Nipah. Hari ini, aku ingin memasak. Masakan spesial. Kuminta bik Nipah membantu. Melihat tingkahku, bik Nipah terbengong-bengong.

“Ibu nanti capek, bagaimana?”

“Tidak apa. Kan ada Bik Nipah yang bantu!”

Tepat pukul sepuluh, semua masakan matang. Kurasakan badanku agak lemas. Kepalaku mulai terasa berat. Rabb, benarkah bahwa aku harus benar-benar bed rest? Selemah ini kah diriku?

Kurebahkan tubuhku di pembaringan. Dan kupesankan pada bik Nipah untuk membangunkan sebelum Dhuhur. Aku harus berdandan menyambut mas Rizal.

“Bu, sudah hampir Dhuhur, Ibu tidak bangun?”

“Hh, iya. Terima kasih Bik”

“Sama-sama Bu.”

Badanku terasa lebih segar. Segera aku bangkit menuju kamar mandi. Setelah mandi, kulihat bik Nipah mengepel lantai. Kubiarkan saja. Dan aku pun menunaikan shalat Dhuhur.

Assalamu’alaikum! Bik, tolong bukakan pintu!” Bertepatan salam yang terakhir, kudengar suara mas Rizal. Aku langsung bangkit tanpa melepas mukena.

“Bik, biar aku yang bukakan pintu!”

Aku setengah berlari menuju pintu utama. Mukena yang kukenakan, membuat langkahku terganggu, dan terlupa bahwa lantai masih licin selepas dipel bik Nipah, akhirnya....

“Bluukk”

“Aaaaauuu!” Aku terjatuh ke lantai dengan posisi tengkurap. Heuh, perutku nyeri sekali. Aku berusaha bangkit. Tetapi nyeri yang sangat di bagian bawah perut membuatku tidak mampu berdiri. Aku terduduk di lantai. Terlihat warna kemerahan menodai mukena putihku. Pangkal pahaku terasa basah. Astaghfirullah, anakku?

“Ibuuu....!” teriak bik Nipah.

“Bapaak, ibu...!” bik Nipah berteriak memanggil mas Rizal.

“Ada apa dengan ibu? Siapa tadi yang teriak?”, mas Rizal mulai menggedor pintu penuh kekhawatiran.

“Bik, cepat buka pintu!”, teriak mas Rizal lagi sambil terus menggedor pintu. Mataku mulai berkunang-kunang, dan rasa nyeri menusuk semakin kuat. Terakhir, kulihat darah mulai membasahi putihnya lantai keramik. Setelah itu, aku tidak ingat apa-apa.

**

Hoh, dimana aku? Semua hal di sekitarku berwarna putih. Rumah sakit kah? Atau aku ada di alam lain? Ah, tidak! Aku masih di dunia. Kulihat sesosok laki-laki tertidur dengan menempelkan keningnya di tepi ranjang, kedua tangannya memegang tangan kananku yang terpasang infus. Mas Rizal. Kusentuh rambutnya dengan tangan kiri.

“Au”, perutku bagian bawah terasa nyeri dan ngilu saat tak sengaja aku menggerakkan kaki.

“Sayang! Kamu sudah sadar?” Rupanya, eranganku membangunkan mas Rizal.

Alhamdulillah, syukurlah, kamu hampir tiga jam tidak sadar”, ucap mas Rizal lega. Ia memelukku erat.

“Mas, perutku nyeri sekali. Bagaimana anak kita?”

Mas Rizal terdiam.

“Mas, anak kita tidak apa-apa kan?”

Laki-laki di depanku tetap bungkam. Ia tidak sanggup berkata-kata. Ia mencium dan memegang tanganku erat.

“Allah menguji kita Sayang, Allah lebih menyayanginya”

“Maksud Mas? Aku keguguran?”

Mas Rizal hanya menganggukkan kepala. Aku tak mampu menahan lelehan air mata. Ya Rabb, kuatkanlah aku. Anak yang selama empat bulan kami jaga sebaik-baiknya, agar ia selamat hingga menghirup udara dunia. Ternyata, Engkau memutuskan untuk mengambilnya kembali. Engkau belum mempercayai kami untuk mengasuhnya. Hoh, anakku....

“Maaas. . .”

Mas Rizal memelukku erat. Kutumpahkan rasa dalam pelukannya.

“Sabar ya Sayang. Allah akan menggantinya dengan yang lebih baik. Dan saat itu, Allah menilai, kita telah benar-benar siap dengan amanah baru.”

“Iya Mas. Anak kita akan menunggu kita di pintu surga.” Tangisku pecah lagi.

“Iya”

Mas Rizal masih memelukku. Ya Rabb, aku memohon kekuatan dari-Mu wahai Yang Maha Kuat. Agar kami selalu tegar. Berdiri tegak. Dengan riak-riak ombak kehidupan yang akan menerjang bahtera rumah tangga kami. Kami sadar ya Rabb, ini adalah bagian kecil ujian di tengah pernikahan kami. Dan kami mohon ya Rabb, pertolongan-Mu dalam setiap langkah hidup kami. Amin.

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar