Senin, 17 Januari 2011

Jatuh

Saat ku jatuh
Terjerembab
Layu
Dan, tak bergairah

Hatiku mengecil
Hingga tak bernyali
Menengadah, menatap langit
Dan, menantang matahari

Cinta, selalu bergejolak
Memberontak
Membuncah
Tapi, menikamku perlahan

Oh, Allah Tuhanku
Gerakkan hati dan tanganku
Merangkai kalimat indah-Mu
Hingga mereka jatuh dalam keindahan-Mu

Kuatkan hatiku ya Rabb
Hingga badai itu datang
Aku tetap berdiri tegak
Tak tergoyahkan



Asa Abu Abu II

 

Sembilan puluh hari berlalu. Tetapi, bayang mas Rizal belum juga terlepas. Begitu kuatkah panahnya menancap di dada? Hingga mampu memakuku kuat. Tak bergerak!

Seharusnya aku tak lagi di persimpangan. Keputusannya tegas dan jelas. Tak ada keraguan. Tetapi selalu ada tanya! Mungkinkah muncul pelangi di balik gelapnya langit-asaku? Samar. Ada setitik sinar di sana. Berbisik. Mengabarkan bahwa semua akan berakhir bahagia. 

“Anisa!” Panggilan mbak Candra, membuyarkan khayalku seketika.

“Iya Mbak?”

“Ada surat tugas untukmu!”, ucap mbak Candra seraya mengulurkan amplop berkop PT-ku. Tugas? Semoga bisa me-refresh otak. Jenuh telah mengikis hari-hariku.

Perlahan kubuka amplop di tangan. Tidak lebih sedetik kemudian, oh....

“Denpasar?!”, ucapku spontan.

“Emang kenapa Nis? Enak kan bisa jalan-jalan di Bali lagi?”, tanya mbak Candra heran.

Aku masih terdiam. Keterkejutan belum mau beranjak. Andai bisa memilih, mungkinkah tugas ini dilimpahkan kepada orang lain?

“Aku harus berangkat ya Mbak?"

“Ya iyalah! Kenapa?”

“Tidak apa-apa Mbak!”, ujarku rapat menutup keengganan.

“Jangan khawatir Nis. Ke Bali-nya dengan aku kok. Lihat! Ada dua orang kan?” Mbak Candra memperlihatkan surat tugasnya sembari jari-telunjuknya menunjuk pada tulisan yang menyebut namanya.

“Iya Mbak.”

“Di sana ada temanku Nis, insya Allah kita bisa menginap di rumahnya. Jadi, kita bisa berhemat.”

“Iya Mbak.”

Hoh, ya Rabb, apa maksud semua ini? Denpasar! Kota yang bila ku mau, tak kan pernah lagi menginjakkan kaki di sana. Tetapi bolehkah aku memilih apa yang akan terjadi? Tidak! Ku tahu pasti, ini Allah yang mengatur. Dia lebih mengetahui. Dan aku hanya bisa melangkah maju. Berbaik sangka tentang masa depan. Dan ini lah yang menguatkanku berdiri tegak hingga sekarang.

**

Masya Allah, kutapakkan kaki kembali di Pulau Surga. Sepuluh menit yang lalu, baru saja aku turun dari burung besi yang menerbangkanku selama 45 menit dari Surabaya. Bersama mbak Candra, aku mengikuti arah exit menuju pintu keluar utama.

Kali kedua mendarat di Ngurah Rai, tetap membuatku tercengang. Banyak bule! Saat beberapa bule laki-laki menyalip langkahku, aku laksana kurcaci. Kecil! Tinggiku sekitar 157 sentimeter. Standart wanita Indonesia. Berbeda dengan mereka yang dikaruniai postur tubuh jangkung. Kira-kira mereka mempunyai tinggi badan lebih dari 180 sentimeter.

“Mbak, ciri-ciri teman Mbak seperti apa?”, tanyaku pada mbak Candra seraya mataku menyapu area sekeliling.

“Dia tinggi Nis, katanya memakai baju warna ungu!” Mendengar jawaban mbak Candra, aku menyaring orang-orang yang berlalu lalang. Tiba-tiba....

“Bruukk!” Ups, ada makhluk tinggi besar di depanku. Oh, aku hanya setinggi dadanya. Karena sibuk mengamati, aku tidak tahu ada bule di depanku.

Oh, I’m sorry Miss. Are you okay?”, tanya bule itu.

I’m fine. Thanks”, sahutku.

All right, bye....” Bule itu berlalu sambil melambaikan tangan kirinya.

Bye....”, balasku.

“Kamu gak pa-pa Nis?”, tanya mbak Candra.

“Nggak Mbak. Kaget aja!”

“Hati-hati kalau jalan!”, ingat mbak Candra.

“Iya.”

Karena teman mbak Candra belum juga nampak, kami memutuskan menunggunya di dekat resto makanan cepat saji terkenal.

Tidak lebih lima menit kami menunggu, terlihat seorang wanita berbaju ungu dengan kerudung senada, berlari kecil menuju kami dengan senyum mengembang. Wanita yang enerjik.

Assalamu’alaikum, maaf, lama menunggu ya! Pa kabar?”, tanya wanita itu sambil menjulurkan tangan kanannya. Mengajak mbak Candra berjabat tangan.

Wa’alaikum salam, Alhamdulillah, baik. Bagaimana denganmu?”, mbak Candra balik bertanya. Mereka berdua bersalaman dengan erat.

Alhamdulillah, seperti yang kau lihat. Ku baik-baik saja”, jawabnya.

“Oya, kenalkan! Ini Anisa!”, ucap mbak Candra sambil menunjukku. Mendengar ucapan mbak Candra, segera ku ulurkan tangan. Wanita itu pun melakukan hal yang sama. Kami saling berjabat tangan hangat.

“Anisa Ramadhani”, ucapku.

“Nina Hermansyah, panggil aja Nina”, sahutnya.

“Ehm.., kalian pasti lelah. Kita langsung aja ya!”, ajak mbak Nina.

“Eh, kalian tunggu di sini aja ya! Aku aja yang ambil mobil! Soalnya, tempat parkir lumayan jauh”, lanjut mbak Nina lagi.

Aku dan mbak Candra mengangguk dan mbak Nina pun berlari menuju tempat parkir. Tepat seperempat jam, mbak Nina telah berada di depan kami bersama mobilnya. Kemudian, ia memberi isyarat agar kami segera masuk ke dalam mobil. Tak lama, kami meluncur keluar dari Ngurah Rai. Mobil mbak Nina terus meluncur menyusuri jalan-jalan di Denpasar.

“Esok, kalian jam berapa ke Udayana?”, tanya mbak Nina kepada kami.

“Jam delapan pagi Nin”, jawab mbak Candra.

Okay, insya Allah, aku bisa mengantar”, timpal mbak Nina.

“Oya, maaf, kita mampir dulu ke mall ya? Ada titipan ibuku”, lanjut mbak Nina. Tiba-tiba saja mobil membelok menuju sebuah mall. Lho, ini kan? Masya Allah, ini kan tempat kerjanya. Ku masih ingat model mall tempat kerja mas Rizal.

Empat bulan yang lalu, bertepatan tugas kantor juga, aku pernah ke sini. Bersama Dea, bertemu mas Rizal. Oh, mall ini hanya membuka luka lama. Menghadirkan kembali mas Rizal, yang memilih melepaskanku setelah hampir tiga bulan ber-ta’aruf.

Setelah memarkir mobil, kami segera melangkah memasuki mall lewat pintu masuk yang berjarak tiga meter dari mobil terparkir. Mall ini masih seperti dulu. Banyak bule berseliweran.

Aku dan mbak Candra terus mengekor mbak Nina. Karena ia lah yang mempunyai keperluan. Akhirnya ia masuk ke sebuah toko retail yang menjual berbagai macam kebutuhan. Sepuluh langkah sebelum melewati palang masuk, langkahku terhenti. Hatiku campur aduk. Berat sekali melangkah. Toko ini, dimana mas Rizal salah satu manajernya. Mungkinkah ada dia? Tidakkah ia off ? Rabb, bagaimana ini?

“Nisa! Ayo masuk! Jangan berdiri di situ!”, teriak mbak Candra.

“Eh, iya Mbak.” Disertai keraguan, kulangkahkan kaki memasuki toko. Menyusuri lorong-lorong yang diapit rak-rak tinggi berisi barang-barang dagangan yang tertata rapi sesuai jenisnya. Kedua mataku terus waspada. Memperhatikan setiap orang yang ada dalam jangkauan mata. Bahkan, setiap akan berpindah dari lorong satu ke lorong lain, aku tengok kanan kiri. Mencari sosok mas Rizal, bila tertangkap, ku bisa segera berkelit hingga kesempatan bertemu dengannya berlalu.

“Mbak Anisa?” Tiba-tiba ada yang memanggil dari arah samping kanan ketika aku berada di stan oleh-oleh khas Bali. Hah, suara laki-laki! Mas Rizal kah? Tidak ada orang yang mengenalku di sini kecuali dia. Sontak, dadaku berdegub lebih kencang. Bagaimana ini? Tidak mungkin aku berlari. Akan sangat konyol bila itu kulakukan.

“Benar Mbak Anisa kan?”, tanya orang itu lagi. Hhh, aku harus menjawab! Perlahan, kubalikkan badan ke arah sumber suara. Dan benar! Satu meter di depan, berdiri sesosok laki-laki yang kutahu benar ia adalah mas Rizal. Tergambar jelas beribu tanya menghias wajahnya. Reflek, kutarik dua sudut bibir, memberikan senyum termanisku padanya.

“Mbak Anisa ada di sini?”, tanya mas Rizal heran.

“Iya Mas. Ada tugas kantor. Temanku ada perlu sesuatu di sini”, aku jawab sekenanya. Memang seperti itu keadaannya.

“O..., Mbak masih di Surabaya kan?”

“Iya.”

“Gimana kabar Dea?”

“Dia sibuk menyiapkan proposal skripsi sekarang”

“Iya, terakhir SMS, dia bingung mencari referensi buku” 

Tiba-tiba ada yang bergetar di tasku. Mungkin mbak Candra memanggilku. Segera kuambil HP. Ternyata ada SMS dari mbak Candra.

“Maaf Mas, temanku sudah menunggu di depan!”, pamitku.

“Iya, silakan Mbak!”

Assalamu’alaikum

Wa’alaikumsalam

Ya Rabb, hanya Engkau yang tahu arti di balik pertemuan ini. Apa yang baru terjadi, menguak kembali segala hal tentang mas Rizal yang seharusnya terkubur dalam. Semoga tidak menjadi pupuk ampuh yang akan merekahkan kuncup-kuncup bunga di hatiku. Semoga semua akan baik-baik saja. Harapku.

**

“Anisa, makan yuk!”, ajak mbak Candra.

“Kamu bawa makan dari rumah kan?”, tanya mbak Candra lagi.

“Iya Mbak”, sahutku. Aku lebih suka membawa makanan dari rumah. Ku merasa lebih safe bila makan makanan yang dimasak di rumah.

Mendadak, mbak Candra sudah ada di depanku dengan kotak makan siap di tangan. Padahal buku-buku yang baru saja kubaca belum sempat dibereskan. Segera kutumpuk buku-buku di samping kanan. Dalam sekejap, meja menjadi bersih. Tak lama, mbak Candra menaruh kotak makannya di meja dan menyeret salah satu kursi. Kemudian ia duduk di depanku. Aku pun mengambil kotak makan dan mulai membukanya.

“Nis, kamu sudah punya calon?”

Pertanyaan mbak Candra membuatku terkejut alang kepalang. Aku belum bisa menjawab pertanyaannya.

“Nis, kok diam? Berarti belum ya?”

“Belum Mbak.”

“Syukurlah.” Mbak Candra terlihat lega sekali mendengar jawabanku. Aku jadi penasaran. Apa ia mau memberi tawaran? Siapakah? Kalau teman mbak Candra, pasti lah ia tak jauh berbeda dengannya.

“Ada yang meminta bantuanku Nis. Tapi sebelumnya aku tanya dulu ya?”

 “Ehm..., apa laki-laki yang akan menjadi suamimu harus seorang perjaka?” , tanya mbak Candra lagi.

Diengg..., aku langsung terbelalak. Mungkinkah mbak Candra akan menawariku menjadi istri kedua? Aduh, mbak Candra tega sekali bila seperti itu. Memang, Allah tidak melarang laki-laki memiliki istri lebih dari satu. Tapi aku belum sampai taraf kemukhlisan seperti itu. Berbagi suami dengan wanita lain. Aku ingin suamiku hanya lah milikku. Tidak membagi cintanya kepada orang lain. Hanya untukku seorang.

“Lho kok tidak jawab? Ee..., jangan-jangan kamu mengira mau dijadikan istri kedua ya?”

Ku anggukkan kepala sebagai tanda keengganan bila harus jadi istri kedua.

“Oalah Nis, kayak aku tidak tahu dirimu saja. Jangan khawatir! Kamu memang mau dijadikan istri kedua tapi tidak mempunyai madu!”

“Maksud Mbak?”, tanyaku heran dengan statement aneh mbak Candra.

“Ku ceritakan ya! Ada seseorang yang ingin menyempurnakan kembali agamanya dan untuk lebih menjaga diri. Sembilan bulan yang lalu, istrinya meninggal. Dia orang yang sangat baik dan aku cukup mengenalnya. Seorang pengajar juga. Mempunyai prestasi yang sangat bagus di bidangnya. Ia belum terlalu tua, umurnya 38 tahun, dan mempunyai seorang anak.”

Mendengar diskripsi orang yang diceritakan mbak Candra, pikiranku menjurus kepada seseorang. Mungkinkah ia? Kalau benar, subhanallah. Di mataku, ia adalah sosok yang cukup sempurna. Mempunyai prestasi yang hebat di dunia dan agamanya. Almarhumah istrinya termasuk salah satu orang yang dekat denganku. Dan aku banyak mendengar cerita tentangnya.

“Siapa Mbak?”, tanyaku memastikan.

“Sebentar Nis. Apa kamu bersedia?”

Insya Allah kupertimbangkan Mbak.”

“Pak Budi, Nis. Ya, Prof. Budi Santoso mempunyai i’tikat baik padamu. Gimana?

Subhanallah, seperti dugaanku. Apakah ini rizki, atau bencana? Aku menyimpan kekaguman tersendiri padanya. Tetapi aku tidak tahu dengan bunda. Apakah ia bersedia anak gadisnya ini dipersunting oleh duda?

“Nis?”, kejar mbak Candra.

“Maaf Mbak, aku harus bicara dengan bunda dulu!”

Okay, kutunggu ya kepastiannya.”

**

Hari pertamaku di desa. Sungguh menyenangkan bisa beristirahat sebentar dari segala aktifitas kantor yang melelahkan. Aku mempunyai hari libur tiga hari. Kebetulan hari Senin nanti tidak ada jadwal mengajar. Jadi, aku bisa mengajukan satu hari cuti.

Di awal kedatanganku kemarin, bunda menyambut dengan suka cita. Hampir tiga bulan aku tidak pulang. Kedatanganku yang tiba-tiba, membuat bunda terkejut bahagia. Ingin sekali aku bisa pulang setiap bulan. Tetapi, aktifitas akademik tidak menginginkanku meninggalkannya. Selalu mengajak berlari.

“Nisa?” Terdengar suara bunda memanggil.

“Iya Bunda, sebentar!” Aku melangkah menuju pintu kamar dan kubuka daun pintu perlahan.

“Ada apa Bunda?”, tanyaku.

“Bunda mau bicara sebentar!”

“Iya. Silakan Bunda!” Bunda melangkahkan kaki ke dalam kamar. Kemudian duduk di tepi ranjang.

“Sini Nduk!”, pinta bunda padaku. Aku segera duduk di samping bunda. Beliau melihatku lekat. Tiba-tiba, bunda memegang tangan kananku erat.

“Kapan kamu menikah Nduk? Apa kamu sudah punya calon? Sebentar lagi kamu kan S3, dan umurmu sudah 27 tahun. Jangan lupa dengan nikah!”

Subhanallah, pas sekali. Berarti aku tidak perlu melakukan prolog untuk menyampaikan niat baik pak Budi.

“Kalau belum, bunda punya pandangan!”, lanjut bunda.

Astaghfirullah. Ada apa ini? Tawaran lagi?

“Bunda mengenalnya dengan baik. Kamu mau ya berkenalan lebih lanjut dengannya? Tapi sebenarnya kamu juga sudah mengenalnya!”, lanjut bunda lagi.

Masya Allah, siapa lagi dia? Tiba-tiba saja kepalaku seperti berputar. Pening. Oh.., calon dari bunda, aku sudah mengenalnya, dan bunda juga mengenalnya. Rabb, pasti lah ia orang yang baik. Karena aku yakin, bunda tidak akan main-main dalam memilihkan jodoh.

Nduk, kok diam saja?”, tegur bunda.

“Siapa dia Bunda?”

“Dia Hafizh, Nduk. Anak paman Iqbal. Sepupumu sendiri. Rupanya, diam-diam dia menaruh hati padamu. Kemarin, pamanmu menelepon bunda, bertanya tentangmu. Bagaimana Nduk?”

Aku termangu. Tak sanggup berkata. Hafizh anak yang baik. Aku mengenalnya. Ia lulusan Pondok Pesantren Gontor, kemudian mendapat beasiswa kuliah di Iran. Sekarang, ia sudah menjadi manajer di salah satu bank syariah di Surabaya.

Nduk, bagaimana?”

“Maaf Bunda. Saya belum bisa menjawab. Saya istikharah dulu ya?”

“Ehm..., ya sudah kalau begitu.”

**

Subhanallah..., apa artinya? Aku bermimpi melihat sepasang mukena putih di atas pembaringan. Mukena yang cantik. Berhias bordir halus dari benang emas. Apakah itu mimpi berarti?

Dua hari terakhir, aku shalat istikharah. Kebingungan berhasil membuatku kehilangan arah. Hafizh dan pak Budi.  Dua orang yang di mataku cukup perfect. Mereka sama baiknya. Sama shalih-nya. Andai diberi kebebasan memilih, pasti aku akan memilih Hafizh daripada pak Budi. Karena bila melihat latar belakang pak Budi, bunda pasti lebih cenderung pada Hafizh. Tetapi aku harus meminta pertimbangan Allah. Aku sadar, apa-apa yang kusukai belum tentu akan berakibat baik untuk hidupku, apalagi akhiratku. Karena itu, aku shalat istikharah. Memohon petunjuk dari Yang Maha Tahu. Yang mengetahui masa depanku.

Tetapi, belum juga tercipta kemantapan hati. Aku masih tetap bimbang memilih di antara keduanya.

“Bagaimana dengan Rizal?” Tiba-tiba satu sisi hatiku bertanya. Ah, mas Rizal adalah masa lalu. Dia telah memberi keputusan. Dan buatku, keputusannya cukup jelas. Aku takut patah bila harus berharap padanya.

Mau tidak mau, aku harus mengambil keputusan. Dengan mengucap bismillah, siapa saja yang datang duluan, dia lah yang akan kupilih!

“Nisa, ada tamu!” Tiba-tiba bunda berdiri di ambang pintu kamar yang terbuka.

Nduk, ada temanmu menunggu di ruang tamu! Cepatlah ditemui!”, lanjut bunda.

“Siapa Bunda? Laki-laki atau wanita?”, tanyaku.

“Laki-laki!” Subhanallah, laki-laki! Baru sedetik yang lalu aku memutuskan akan memilih siapa saja yang datang untuk menjadi suamiku. Siapa? Kalau Hafizh, bunda pasti memberitahu. Pak Budi kah? Hhh, aku telah memutuskan. Siapa pun dia, aku harus ikhlas. Yakin. Haqqul yaqin!

Dengan dada berdebar-debar, aku melangkah menuju ruang tamu. Ya Rabb, tenangkanlah hatiku. Ia lah yang terbaik. Sosok pak Budi mulai terbayang jelas di pelupuk mata.

Saat tiba di ruang tamu, aku melihat sesosok laki-laki yang benar-benar kukenal. Ia duduk di sofa panjang menghadap ke arahku berdiri. Ia membaca buku antologi cerpen yang di dalamnya ada aku sebagai salah satu penulis. Tadi malam buku itu kubaca dan terlupa memasukkan kembali ke almari.

Subhanallah, ia adalah mas Rizal. Rabb, benarkah ini? Kuusap-usap kedua mataku, mungkin hanya  fatamorgana. Mungkin aku melihat sosok mas Rizal di pak Budi. Tetapi tetap tak berubah! Ia tetap lah mas Rizal! Tiba-tiba, laki-laki di depanku mendongakkan kepala. Menatapku dengan mata berbinar. Ia tersenyum. Senyum yang teramat manis. Mungkin itulah senyum termanis yang pernah ia berikan kepada orang lain.

**

Jumat, 14 Januari 2011

Lelah

Adalah dusta
Bila kukatakan, aku kuat
Aku sabar
Dan, aku tegar

Adalah dusta
Bila kukatakan, aku mengabaikan
Sanggup berlari
Hingga ke finish

Sungguh, aku lelah
Menguras energi
Mengikis hati
Dan, banyak kata

Note: Jalan ke surga lebih terjal dibandingkan jalan ke neraka. Selalu menguras energi dan air mata. Selalu menyiksa hati dan menyesak dada. Selalu membutuhkan pengorbanan dan keikhlasan. Karena surga adalah mahal. Tak mampu terbeli dengan tumpukan harta. Ia hanya terbeli dengan amal yang terlapis sabar dan ikhlas. Saudariku, bersabarlah dan bisikkan "innalloha ma'ana"

Senin, 10 Januari 2011

Cinta Sejati

Ku perhatikan sekitarku..

Satu dua tiga...

Manusia menjadi sosok yang berbeda ketika jatuh cinta

Menjadi lebih bersemangat, baik, cantik, shalih,,,

Yah, cinta suatu hal yang luar biasa, mampu merubah warna dunia yang monoton menjadi lebih berwarna atau sebaliknya mengubah dunia yang berwarna menjadi gelap gulita.

Menurutku, cinta yang bersih dan suci, cinta yang sejati, tulus dan ikhlas adalah cinta yang tidak membutuhkan tuntutan, cinta yang tumbuh karena keimanan, cinta yang membuat sang pecinta jauh dari gundah gulana, resah selisah, dan bermuram durja, cinta yang mengajak iman tumbuh menjulang, cinta yang selalu mengajak indahnya bermunajat di sepertiga malam, cinta yang mengajak indahnya cinta dalam keabadian, dan segala bentuk manifestasi cinta yang bersumber dari Dzat Yang Maha Cinta..

Yah, cinta yang halal, cinta yang membawa keridhoan dunia akhirat, jauh dari kemurkaan dan kecemburuan, insyalloh....

Sabtu, 08 Januari 2011

Tersadar

















Tersadar
Hari-hari terakhir
Aku, berulang berteriak
Hingga kuingin, dunia mendengar

Tersadar
Bahwa teriakanku sia-sia
Ia hanya tertelan kehampaan
Dalam tingginya angan-angan

Tersadar
Bukan maksud mengabaikan kebaikan
Bukan maksud menolak cinta
Yang teman-temanku tawarkan

Tersadar
Bahwa cinta itu ada di sini
Di hatiku
Bergemuruh di dalam dadaku
Tersimpan rapat di bawah tulang rusukku
Berdegup bersamaan jantungku
Bersiap menanti sapaanku
Bersiap menemani hari-hari kelamku
Bersiap menghibur saat lara menerkamku

Tersadar
Bahwa ia tak pernah pergi
Hanya aku yang berlari
Menjauh dan berbalik

Tersadar
Bahwa Engkau tak pernah jauh dariku
Dekat, melebihi urat leherku 
Tempatku kembali, wahai Alloh Tuhanku

Kamis, 06 Januari 2011

TopengKacaKu: Enchanted II

Cintaku Tak Menuntut, Pak Masumi!







Di studio Kids, pak Kuronuma memperhatikan Maya dan Koji yang sedang latihan. Mereka memperagakan adegan ketika Isshin harus menebang pohon plum, tempat bersemayam roh Bidadari Merah yang menitis di tubuh Akoya. Saat pohon plum tertebang, maka roh Akoya akan berlepas dari raganya. “Hm”, pak Kuronuma berdehem.

“Plok!!” 

“Cukup!!”, pak Kuronuma mengayun langkah ke arah Maya dan Koji.

“Berapa kali harus kubilang Maya? Lidahku kelu harus mengingatkanmu berulang kali!”, tegur pak Kuronuma.

“Pakai imajinasimu Maya!”, pak Kuronuma menempelkan jari telunjuk di kepalanya, “Pentas uji coba beberapa hari lagi, tapi kau belum juga dapat mendalami cinta belahan jiwa!”

Mendengar omelan kemarahan pak Kuronuma, Maya menunduk sendu. Bagaimana mungkin aku dapat membayangkan perpisahan dengan Isshin? Sedangkan saat ini, aku sedang menunggu pak Masumi, belahan jiwaku? Dan aku sangat merindukannya. Pak Masumi, aku ingin bertemu. Butiran bening mengintip di dua sudut mata Maya. Lunglai, Maya melangkah menuju ruang ganti dan mengesat pipinya yang basah dengan kesepuluh jemarinya.

Di sebalik pintu studio, sepasang mata mengawasi secara detail apa yang terjadi dengan wajah sendu. Maya...! Apa yang akan terjadi bila kau harus berpisah dengan belahan jiwamu? Aku tak mampu. Bila itu terjadi, aku pasti mati!

***

Maya berjalan di trotoar sepanjang jalanan Tokyo yang lebarnya mampu memuat tiga buah mobil terparkir dengan nyaman. Beberapa pejalan kaki bersimpang-siur tanpa harus khawatir kendaraan yang berlalu-lalang menyeruak masuk trotoar. Mereka dibentengi pagar besi setinggi sekitar 60 cm di sisi trotoar yang berbatasan dengan jalan raya.

Angin malam musim gugur berhembus perlahan, menyebarkan asap polusi kendaraan yang menjadi santapan pejalan kaki setiap hari. Sorot lampu mobil semakin menambah terangnya langit malam Tokyo karena polusi cahaya selain lampu-lampu reklame, penerang jalan, dan dekorasi, hingga menyamarkan kemilau bintang yang bertaburan.

Di perempatan jalan, Maya menghentikan langkah, menunggu lampu bagi penyeberang jalan berubah warna menjadi hijau bersamaan dengan pejalan kaki lainnya. Saat itu, tak satu pun yang menyeberang jalan walau tak ada kendaraan melintas. Maya tertunduk lesu. Omelan kekesalan pak Kuronuma menghantuinya. Bagaimana caranya agar aku mengerti perasaan akoya? Perasaannya saat berpisah dengan belahan jiwa? Pentas uji coba sebentar lagi. Bila aku tak dapat memahaminya, maka aku gagal menjadi Akoya.

“Paatts”, lampu penyeberang jalan menyala hijau. Kembali, Maya mengayunkan langkah, menyusuri trotoar menuju stasiun kereta.

“Ckiiiit!!”

“Eh...!” Maya tersentak, sebuah mobil mewah berhenti tepat di sisi trotoar, tak jauh dari tempat Maya berdiri. Tak lama, pintu belakang mobil terbuka. Seorang laki-laki tampan muncul dari dalam mobil dan melangkah ke arahnya. Pak Masumi...!?

“Hallo, Mungil. Lama tak bertemu!”

“Hallo, pak Masumi!”, balas Maya yang masih diliputi keterkejutan.

“Ayo!!” Masumi menarik Maya ke dalam mobil dengan cepat.

“Blam!” Pintu mobil tertutup.

“Pak Masumi...?”, Maya menatap Masumi heran, “Apa yang Anda lakukan?”

“Aku pernah mengundangmu kan, Mungil?”, kata Masumi sambil memandang Maya lekat, “Sekarang aku menagihnya karena aku sangat bosan!”

Maya terdiam. Ia teringat dengan kiriman mawar ungu terakhir. Ya, saat itu pak Masumi ingin bertemu denganku di villanya, di Nagano.

“Bawa kami ke Nagano”, pinta Masumi ke sopirnya.
 
“Eh”, sopir Masumi berpikir sejenak sambil melirik arlojinya yang menunjukkan pukul 21.15, “Tapi kita akan tiba di sana hampir dini hari Tuan?!”

“Tak apa”, ujar Masumi tak peduli, “Kamu setuju kan, Mungil?”, tambah Masumi sambil menatap Maya.

Maya mengunci bibir. Ia tak sanggup berkata-kata. Bersamaan, raut kekhawatiran, kebingungan, dan kebahagian tergambar di wajah Maya yang polos. Kenapa pak Masumi mengajakku tiba-tiba? Nanti, berapa lama aku berada di sana? Aku masih harus latihan. Aku belum dapat mengerti Akoya sepenuhnya. Tapi, aku sangat senang dapat pergi dengan pak Masumi. Karena aku sangat merindukannya.

“Bagaimana, Maya?”, ulang Masumi. Seakan tahu kebimbangan Maya, Masumi berujar, “Jangan khawatir, Maya. Besok hari Minggu!”, yang disambut Maya dengan anggukan.

“Ayo, berangkat!”, perintah Masusi ke sopirnya.

“Baik, Tuan”, sambut sopir Masumi sigap.

Mobil mewah Masumi mulai melaju menyusuri jalanan protokol Tokyo. Bersaing dengan mobil-mobil lain yang melintas searah menuju tempat yang dituju. Sopir Masumi mengarahkan mobil ke jalan tol Chuo yang akan mengantarkan mereka ke Nagano. Sebuah propinsi yang berada di pusat pulau utama kepulauan Jepang. Merupakan daerah terbesar keempat di Jepang dengan bentangan daratan seluas 13.600 km2 dan berpopulasi kurang lebih 2,2 juta jiwa.

Nagano menjadi tempat incaran para turis yang dalam setahun dapat mencapai 100 juta. Didukung oleh lokasinya yang berada di dataran tinggi pegunungan Alpen Jepang, menjadikan iklimnya berbeda dengan daerah lain. Pada musim panas iklimnya relatif kering hingga dapat berjemur di bawah terik matahari. Namun, saat musim dingin berubah menjadi sangat dingin hingga ketinggian salju dapat mencapai 3 meter. Selain itu, Nagano diperkaya keindahan alam yang menyihir turis-turis untuk datang berkunjung lagi.

Selama 1 jam perjalanan, mobil Masumi terus melaju dengan tenang di sepanjang jalan tol Chuo tanpa hambatan berarti. Maya mengamati sorot lampu mobil-mobil yang berlawanan arah dengan sedikit memicingkan mata. Sesekali ia melirik ke Masumi. Pak Masumi, dari awal berangkat tak banyak bicara. Bahkan, ia memasang muka tak bersahabat. “Hhh”, Maya mendesah lirih hampir tak terdengar. Matanya jengah menatap malam melalui kaca jendela mobil. Rasa bosan mengusiknya walau terdengar alunan musik yang memecah keheningan. Maya menyandarkan kepala di jok mobil. Tak lama, “Ssrrkk”, kepala Maya meluncur ke pundak Masumi.

Pelan, Masumi meraih pundak Maya. Menyandarkan kepala Maya di pangkuannya. Tangan Masumi membelai rambut Maya yang lurus dengan lembut. Maya, mungkin ini adalah yang terakhir.... Membersamaimu dalam kesepianku. Membersamaimu tanpa mampu memilikimu. Adalah ketidakberdayaanku, merengkuhmu dalam dekapanku. Sayu, Masumi menatap gelapnya malam segelap harapannya meraih kebahagian. Kebahagian bersama belahan jiwa.

***

“Tuan, Tuan Masumi!”, panggil sopir Masumi.

“Hm”, Masumi terhenyak dengan mata mengerjap-ngerjap, menyadari bahwa mobilnya tak lagi bergerak. Ia memperhatikan lingkungan sekitar. Melihat villanya berdiri tegak di tepi danau Shirakaba, dinaungi pohon-pohon birch yang tumbuh tinggi menjulang mengelilingi danau. Ehm, sudah sampai ternyata.

“Maya!”, panggil Masumi lirih sambil membelai rambut Maya. Namun, Maya tetap bergeming di pangkuannya. Masumi tersenyum lembut. Kau kelelahan ya? Baiklah kalau begitu.... Masumi menyusupkan tangannya di bawah tubuh Maya. Perlahan, ia keluar dari mobil yang pintunya telah terbuka dan sopirnya berdiri di sisi pintu mobil dengan hormat. Masumi mengayunkan langkah menuju villa sambil membopong tubuh Maya. Di depan villa, suami istri Yamashita telah menunggu kedatangannya.

“Selamat datang, Tuan Masumi”, sambut suami istri Yamashita sambil membungkukkan badan.

Masumi mengangguk, “terima kasih”, ucap Masumi, “aku dan Maya akan berlibur di sini sampai esok hari!”

“Baik tuan”, sambut suami istri Yamashita.

“Apakah kalian telah menyiapkan kamar kami?”, tanya Masumi.

“Sudah, Tuan”, jawab bu Yamashita, “silakan!”

Masumi melangkah masuk ke dalam villa dan diikuti oleh bu Yamashita. Sementara itu, pak Yamashita menghampiri sopir Masumi yang berdiri tak jauh di depannya.

Di lantai dua villa, Masumi berdiri tepat di depan pintu. Di bagian atasnya, sekitar berukuran 25 cm x 60 cm, terbuat dari kaca putih buram. Sisanya terbuat dari kayu berlapis cat warna coklat tua dengan ornamen timbul berbentuk persegi panjang dengan sisi tegak 70 cm dan lebar 30 cm di tengahnya.

“Kriet”, derit pintu yang dibuka oleh bu Yamashita, “ini kamar Maya, Tuan! Dan kamar Anda di sebelah sini!”, bu Yamashita menunjuk sebuah kamar yang bersebelahan dengan kamar Maya.

“Sekarang, saya mohon diri. Selamat beristirahat, Tuan!”, pamit bu Yamashita sambil membungkukkan badan.

“Terima kasih”

Selepas kepergian bu Yamashita, Masumi melangkah masuk ke dalam kamar berdinding putih dengan jendela kaca lebar yang tertutup korden transparan. Ia memperhatikan isi kamar sejenak. Di pojok kanan ruangan, terdapat sebuah tempat tidur single bed berlapis sprei putih dilengkapi sebuah bantal yang berenda di seluruh sisinya dengan warna senada. Di sisi kiri tempat tidur diletakkan sebuah meja rias dengan kaca berbingkai kayu berukir berbentuk oval. Dan di sebelah kiri Masumi, berdiri tegak sebuah lemari tiga pintu setinggi dirinya.

Masumi bergerak maju ke arah tempat tidur. Membaringkan tubuh Maya dan menyelimutinya. Kemudian, ia duduk di tepi pembaringan. Mengamati wajah Maya dengan seksama. Masumi mengulurkan tangan, merapatkan selimut di tubuh Maya. Mungil, tidurlah. Dan bermimpi indah lah. Aku akan selalu menjagamu, walau dari jauh.

***

Masumi duduk termenung di kursi santai. Pandangannya lurus ke arah danau yang memantulkan sinar redup rembulan separuh melalui jendela geser kaca. Angin malam pegunungan Alpen berhembus dingin melalui celah jendela yang tak tertutup sempurna. Menegakkan bulu-bulu halus yang tumbuh di kulit Masumi dan dinginnya menusuk hingga ke tulang. Masumi merapatkan selimut yang menutup kedua kakinya. Tangannya meraih sebotol Pamerol yang ada di meja kecil di sebelah kanannya. Menuangnya ke gelas hingga terisi tiga perempat. Dalam waktu singkat, beberapa tegukan anggur mampu menyebarkan kehangatan ke seluruh badan Masumi dan mengusir hawa dingin yang sempat membekukan darahnya. 
Sekelebat, bayangan Maya menghampiri Masumi tetapi dengan cepat tergantikan wajah Shiori yang berurai air mata. Maya..., bagaimana cara menyampaikan keadaanku? Aku tak mungkin mengabaikan Shiori. Tapi, aku juga tak sanggup kehilangan Maya. Bagaimana akhir hidupku bila harus berpisah dengannya? Cinta dan kejantanan Masumi sebagai laki-laki bertarung sengit. Namun, hasil dari pertarungan adalah seri. Kembali, ia menenggak anggur di gelas yang dipegangnya. Berharap kegalauannya terbakar habis, tetapi ia terlupa bahwa anggur yang diminumnya merupakan jenis Bordeaux terbaik yang tak mampu memabukkan dalam waktu singkat. “Fiuuhh”, Masumi menghempaskan badan di sandaran kursi. Andai aku tak harus memilih. Hoh, cinta Bidadari Merah. Apa cinta belahan jiwa selalu berakhir perpisahan?

***

“Cuit cuit cuit cuit”

Kicau burung bersahut-sahutan menyambut pagi, menambah keriuhan suasana Minggu pagi di sekitar danau Shirakaba, di tengah riuh rendah teriakan anak-anak kecil yang bermain riang. Sinar hangat matahari yang setinggi tombak, memuaikan hawa dingin yang menyelubungi seluruh daerah pegunungan Alpen. Angin berhembus sepoi-sepoi, menebarkan aroma lembut pohon birch yang semakin menambah kesegaran udara-menyejukkan rongga dada bagi yang menghirupnya.

Maya duduk di rerumputan tak jauh dari tepian danau. Mengamati permukaan danau yang kebiruan dan mengkilap tertepa sinar matahari. Beberapa boat putih melintas, menimbulkan riak-riak gelombang yang bersinambungan dan berakhir dengan benturan di tepian danau. Beberapa helai daun birch berwarna orange, yang terbawa angin, jatuh mengambang di permukaan danau dan dipermainkan riak gelombang tak tentu arah.

Selagi Maya asyik mengamati keindahan danau, seorang anak perempuan-berumur sekitar 8 tahun-menghampirinya.

“Kakak!”

“Ya” Maya menoleh ke arah sumber suara. Seorang anak perempuan, berwajah bundar dengan poni sebatas alis dan rambutnya yang sebahu dihias pita merah jambu-terikat bentuk kupu-kupu di tepi kanan, menatap ke arahnya dengan senyum mengembang.

“Apa Kakak mau bergabung dengan kami?”, tanya anak itu, “Kami sedang bermain hana ichi monme dan pemainnya kurang”

“Oh”, Maya tak tega melihat mimik memelas yang ditunjukkan gadis kecil itu, “Baiklah, ayo!” Maya bangkit dari duduk, lantas si anak menggandeng dan mengajaknya menuju sekelompok anak yang sedari tadi menunggu mereka.

“Kakak, namaku Yuki”, gadis kecil itu menyebutkan namanya, lalu meyebutkan nama teman-temanya satu persatu.

“Ini Sato”, kata Yuki. Seorang anak laki-laki beramput cepak mengangguk ke arah Maya.

“Lalu, Keiko”, Yuki menunjuk gadis kecil cantik berkepang dua, yang kepangannya dibiarkan menjuntai melewati bahunya, “Dia paling cantik dalam kelompok kami, Kak” Keiko mengangguk seraya menyembunyikan rona merah di wajahnya-pujian Yuki berhasil membuatnya tersipu.

“Dan ini Akira, Kak” Yuki mengarahkan telunjuknya ke anak laki-laki tampan-berdiri di samping kanan Keiko-dengan rambut sedikit berombak. Si Akira mengangguk, “Hai, Kak”,

“Dan yang terakhir adalah Jiro”, ucap Yuki seraya melihat anak laki-laki berkaca mata bulat yang serasi dengan bentuk mukanya-kotak, “Dia paling pintar Kak, selalu juara kelas”

“Jangan begitu, Yuki!”, sahut Jiro rendah hati, “Halo, Kak”, sapa Jiro lantas mengangguk.

“Sekarang giliran Kakak!”, Yuki memandang Maya diikuti seluruh pandangan anak-anak lain mengarah padanya.

“Baiklah. Namaku Maya Kitajima. Panggil saja Maya”, Maya memperkenalkan diri, “Sekarang, aku bergabung di kelompok mana? Dalam permainan hana ichi monme, ada dua kelompok kan?”

“Kakak masuk dalam kelompok Keiko dan Akira”, jawab Jiro.

Setelah mengetahui kelompoknya, Maya bergabung dengan Keiko dan Akira. Sedangkan Yuki, Sato, dan Jiro mengumpul jadi satu. Dua kelompok itu terpisah agak berjauhan-sekitar 7 meter. Sesudah saling memberi isyarat kesiapan, permainan hana ichi monme  dimulai. Tiba-tiba, dua anak laki-laki gendut berwajah mirip berlari ke arah mereka.

“Jiro..., jiro! Boleh kami ikut bermain?”, tanya mereka.

“Boleh, ayo cepat! Permainan akan segera dimulai!”, teriak Jiro. Kedua anak laki-laki itu segera berpisah dan berlari menuju kelompok yang disukai.

Setiap anggota kedua kelompok saling bergandengan tangan dan bersahutan melagukan lirik lagu hana ichi monme sambil bergerak maju dan mundur, yang diawali oleh kelompok Maya.

Kelompok Maya bergerak maju dan menyanyikan lirik lagu,

Katte ureshi hana ichi monme

Setelah kelompok Maya mundur, giliran kelompok Yuki bergerak maju dan bernyanyi,

Makete kuyashii hana ichi monme

Kelompok Maya melantunkan lirik berikutnya,

Ano ko ga hoshii

Kelompok Yuki membalas,

Ano ko ja wakaran

Kelompok Maya menyahut,

Ano ko ga hoshii

Kelompok Yuki membalas lagi,

Ano ko ja wakaran

Kelompok Maya melagukan lirik terakhir,

Sodan shimasho

Kelompok Yuki menyahut,

Soshimasho

Setelah lirik terakhir dinyanyikan, kedua kelompok berunding dengan anggotanya masing-masing, mereka memilih satu anak dari kelompok lawan untuk maju beradu janken-permainan adu tangan yang menyimbulkan gunting-kertas-batu. Bila anak yang ditunjuk kalah, maka ia menjadi anggota kelompok yang berhasil memenangkan adu janken. Begitu seterusnya dan kelompok yang kehabisan anggota adalah kelompok yang kalah. Maya tampak menikmati permainannya bersama anak-anak kecil itu, menyanyikan setiap lirik hana ichi monme dengan riang, walau umurnya jauh di atas mereka.

***

Di dalam villa, Masumi duduk di ruang makan. Tangan kirinya membolak-balik harian pagi Jepang yang diletakkan di atas meja bundar tertutup kain putih dan tangan kanannya memegang selembar roti tanpa lupa mengarahkannya ke mulut untuk dikunyah. Setelah menandaskan beberapa lembar roti, Masumi menyesap kopi di cangkir keramik putih di samping kanannya. Sementara itu, tak jauh dari tempat Masumi duduk, bu Yamashita tampak sibuk di dapur, menyiapkan sesuatu untuk makan siang. Sesaat, dia melihat Masumi yang serius membaca, kemudian berjalan ke arahnya.

“Maaf, Tuan”, ucap bu Yamashita sopan, “Apakah ada sesuatu yang Anda inginkan untuk menambah menu sarapan Anda?”

Masumi mengalihkan pandangan dari koran ke bu Yamashita yang berdiri di depannya, “Tidak, ini sudah cukup”, jawab Masumi, “Oya, di mana Maya? Apa dia sudah sarapan?”

“Sudah, Tuan”, jawab bu Yamashita, “Saya tadi melihat Maya sedang bermain hana ichi monme dengan beberapa anak”

Hana ichi monme?”, Masumi mengerutkan alis, seolah mengingat kembali bentuk permainannya. Mendadak, Masumi melipat koran yang dibacanya dan bangkit berdiri.

“Anda akan pergi ke mana, Tuan?”

“Aku akan melihat-lihat suasana danau di pagi hari!”

“Baik, Tuan”, bu Yamashita mengangguk hormat.

Masumi melangkah keluar villa dan mengarahkan langkahnya menuju tepian danau. Di sana, terdapat banyak pengunjung dengan aktivitas mereka-menikmati keindahan danau Shirakaba. Beberapa keluarga duduk beralas tikar bersama anak-anak mereka sambil menikmati bekal makanan yang dibawa dari rumah. Ada juga yang sedang menawar tarif boat untuk mengelilingi danau.

Masumi mencari tempat nyaman di sekitar danau dan pandangannya berhenti pada pohon maple yang berjarak 10 meter darinya, lalu melangkahkan kaki menuju ke sana. Di bawah pohon maple yang terlindung dari sinar matahari, Masumi duduk selonjor di rerumputan, menjulurkan kedua tangan ke belakang untuk menopang berat badannya. Kembali, Masumi mengamati lingkungan sekitar. Memperhatikan beberapa anak-anak yang sedang bermain, di antara mereka ada yang memainkan hanetsuki  atau hanya berlari berkejaran. Akhirnya, perhatiannya terpusat pada Maya yang berteriak kegirangan karena kelompoknya berhasil memenangkan permainan.

Saat pandangan Masumi tanpa sengaja bertemu dengan sepasang mata Maya, ia melambaikan tangan ke arah Maya. Sontak, Maya berlari-lari kecil menghampirinya.

“Pak Masumi, tidak ingin bergabung?”, tanya Maya dengan gembira sambil membungkukkan badan di depan Masumi, “Menyenangkan lho!”

“Tidak, Mungil”, tolak Masumi, “Aku di sini saja. Menjalankan tugasku sebagai pengasuh. Memastikan kalau kau aman-aman saja!”, ucap Masumi ringan tanpa merubah posisi duduk.

“Pak Masumi...!” Wajah Maya berubah kesal mendengar jawaban Masumi.

“Pluk!” sebuah biji mukuroji yang dicucuki bulu unggas jatuh di belakang Maya, “Ah!”, tanpa sengaja seorang anak laki-laki, yang mengambil biji mukuroji, menyenggol tubuh Maya hingga Maya kehilangan keseimbangan dan ia berlalu tanpa menyadari akibat perbuatannya. “Brukk!!” Dengan cepat, tubuh Maya menimpa Masumi. “Heg!” Serentak, Maya dan Masumi melotot. Saat ini, bibir Maya menempel rapat di bibir Masumi. Reflek, Maya menggulingkan badan ke samping, tidur terlentang. Wajahnya merona. Dadanya tampak jelas bergerak naik turun-berdegup kencang. Sejenak ia menarik napas panjang, menenangkan diri.

Tak berbeda dengan Maya, Masumi yang terlentang di samping Maya masih diliputi keterkejutan. Ciuman tak sengaja dengan Maya sempat menghentikan napasnya sesaat dan sekarang ia harus menikmati badannya yang panas dingin disertai intensitas debaran jantungnya meningkat.

Setelah berhasil menguasai emosi, Masumi bangkit dari tidur dan kembali duduk. Masumi memandang Maya yang masih terlentang. “Sini!” Masumi menarik tangan Maya hingga terduduk di sampingnya.

“Maya...,” ucap Masumi lembut sembari menatap Maya lekat, “Aku ingin memberi sedikit kejutan padamu”

“Ha!?” Maya belum pulih benar dari keterkejutannya.

Masumi merogoh saku celananya dan mengeluarkan sapu tangan bermotif garis-garis di setiap tepian, yang saling berpotongan di keempat sudutnya. Masumi melipat sapu tangannya hingga membentuk segi tiga dan melipat lagi bagian yang paling panjang 2 kali. Kemudian, Masumi beringsut mendekati Maya. “Sekarang, izinkan aku melakukan ini!” Masumi menutup kedua mata Maya dengan sapu tangannya.

“Pak Masumi, apa yang Anda lakukan?”, tanya Maya heran seraya menyentuh kedua matanya yang tertutup rapat.  

Masumi bangkit berdiri, berjongkok sebentar dan meraih tangan Maya dengan lembut. “Ayo, berdirilah! Aku akan membawamu ke suatu tempat!” Setelah Maya berdiri tegak, Masumi menggandeng dan mengajaknya pergi menjauhi tepian danau. Mereka, dengan bergandengan tangan, menghampiri mobil Masumi yang terparkir di depan villa. Masumi membawa Maya ke sisi kanan mobil, membuka pintu dan meminta Maya masuk ke dalamnya. Tak lama, mobil Masumi telah melaju menjauh dari villa.

Mobil Masumi terus melaju menyusuri jalanan Shirakaba yang lebarnya hanya mampu dilewati dua mobil dan bersimpangan dengan aman. Sepanjang jalan, di sisi kiri dan kanan, terdapat tumpukan dedaunan yang gugur dari pohon-pohon birch putih atau maple saat melintasi hutan birch putih.

Ketika musim gugur tiba, daun-daun dari pepohonan yang tumbuh di negara empat musim seperti maple, aspen, dan birch mengalami perubahan warna. Pada musim semi dan panas, dedaunan dari pohon-pohon ini berwarna hijau seperti di daerah tropis. Namun, pada musim gugur dengan cuaca lebih dingin dan hari yang lebih singkat, satu zat kimia yang terdapat di batang daun-auksin, produksinya terhenti dan memicu produksi lapisan absisi yang menghambat sirkulasi air, nutrien, dan gula ke daun. Mengakibatkan klorofil mengalami disintegrasi dengan cepat sehingga pigmen karoten yang dimiliki daun menampakkan diri-daun berubah warna menjadi kuning. Dan bila pigmen lainnya-antosianin-meningkat, warna daun akan berubah oranye dan merah.

Selama hampir 30 menit, mata Maya tertutup rapat dan dia menikmati perjalanannya dalam kegelapan. Rasa jenuh mulai merecokinya. Kedua tangannya menggaruk-garuk matanya yang terbebat sapu tangan walau tak terasa gatal.

“Pak Masumi...! Sampai kapan mataku ditutup?”, ucap Maya bosan.

“Sampai tiba lah Mungil!”

“Anda tidak adil!”, gerutu Maya.

“Lho, tidak adil! Kenapa?”, tanya Masumi heran.

“Kemarin, saat perjalanan menuju Nagano, Anda mendiamkanku”, protes Maya, “Dan sekarang, Anda juga menutup mataku. Aku tidak bisa melihat indahnya momiji1di Nagano!”

Masumi terdiam sejenak, teringat sikap dinginnya pada Maya semalam. “Aduh Maya, ini belum pertengahan Oktober. Tentu saja kau belum bisa melihat indahnya momiji. Belum semua daun berubah warna menjadi merah yang menjadi puncak keindahan momiji, Maya”, ujar Masumi mengabaikan rasa bersalahnya.

“Tapi paling tidak aku bisa melihat indahnya daun yang beraneka warna, campuran hijau, kuning, oranye, dan merah”, sungut Maya.

Masumi tersenyum kalah. Percuma beradu kata dengan Maya karena berakhir aku yang kalah. “Bersabarlah, Maya! Sebentar lagi tiba. Dan kujamin, ketika kita dalam perjalanan pulang ke villa, kau akan melihat indahnya momiji”.

Maya tak mempedulikan bujukan Masumi. Ia memilih mengunci mulut dan menyandarkan diri di jok mobil yang nyaman.

“Nah, kita sampai!”

Maya tetap bergeming di tempatnya. Melihat perilaku Maya, Masumi tesenyum simpul. Pelan, ia membuka pintu mobil lalu berjalan memutar ke sisi satunya. Tangan Masumi menarik panel pintu mobil hingga terbuka di sisi Maya. “Mungil, ayo! Kita sudah sampai!” Maya tetap tak bergerak. Ehm, bandel! Masumi meraih tangan kanan Maya dan menariknya keluar. Perlahan, ia mulai menuntun Maya.

Maya berjalan dengan tuntunan Masumi. Dalam langkah-langkahnya, beberapa kali kakinya bersentuhan dengan sesuatu yang lembut dan tercium semerbak wangi terbawa semilir angin yang menerpa wajahnya.

Setelah 5 menit berjalan, Masumi menghentikan langkah. Ia mulai membuka ikatan sapu tangan yang membebat mata Maya. Perlahan, Maya membuka mata. “Wow...!” Maya terpukau dengan pemandangan di depannya. Matanya tak berkedip. Terpesona dengan apa yang dilihatnya. Sejauh mata memandang, yang ia lihat hanya hamparan warna ungu. Lambat-lambat, Maya bergerak maju. Merentangkan kedua tangan. Menyentuh permukaan bunga lavender yang bermekaran di sisi kanan kirinya. Sepuluh langkah Maya melangkah, ia berhenti sejenak, dan memutar badan menghadap Masumi.

“Pak Masumi...!”, kedua mata Maya mengaca, “Inikah kejutan kecilnya?”, Maya menekan pelupuk matanya dengan kedua punggung tangan agar butiran bening yang mengambang tak berjatuhan, “Terima kasih...!”, ucap Maya terharu.

“Kau senang?”

Maya mengangguk

“Aku ingin membawamu ke hamparan mawar ungu tapi aku belum menemukannya. Akhirnya kuputuskan membawamu ke sini”, Masumi tersenyum bahagia melihat sinar kegembiraan di mata Maya. Masumi bergerak maju, tangannya menyentuh dagu Maya lembut. “Aku ingin mengajukan pertanyaan padamu”, Masumi berpikir sejenak dan Maya menunggu kata-kata selanjutnya meluncur dari bibir Masumi. “Bagaimana bila orang yang kamu cintai membuatmu bersedih?”

“Pak Masumi?!” Maya menatap Masumi tak mengerti. “Tidak. Orang yang kucintai tak kan pernah membuatku bersedih. Namun, bila iya, aku akan mengingat saat bahagia bersamanya dan menyimpannya di sini”, Maya menyilangkan telapak tangan di dadanya, “Ia akan selalu membuatku bahagia”, Maya menengadah dan memandang Masumi penuh kepercayaan.

Melihat Maya yang menaruh kepercayaan besar padanya, hati Masumi gerimis. Tidak. Aku tidak sanggup menyampaikannya....“TEP!” Masumi memeluk Maya erat hingga membuat Maya megap-megap-kesusahan bernapas. Masumi semakin mempererat pelukan, tak menyadari Maya yang sesak napas. Gerimis hati Masumi semakin lebat. Menyadari ketidakberdayaannya. Mungil, di antara gerimis hatiku, aku berharap akan tercipta bias pelangi. Sebagai tanda bahwa bahagia itu milikku.

“Pak Masumi, Anda..., Anda membuatku kesusahan bernapas!”, Maya tersengal-sengal.

“Oh” Masumi tersentak. Perlahan, Masumi melonggarkan pelukan dan akhirnya benar-benar melepaskan, lalu melangkah maju meninggalkan Maya yang merasakan kelegaan menghirup udara kembali.

Selepas kebutuhan oksigennya terpenuhi, Maya mendapati Masumi tak di hadapannya. Spontan, Maya memutar badan dan melihat Masumi telah berjalan 10 meter di depan. “Pak Masumi...!” Maya berlari kecil menyusul Masumi. “Boleh begini?”, Maya menengadah ke arah Masumi sambil menautkan tangannya di lengan Masumi.

“Tentu saja, Mungil!”, jawab Masumi seraya mengacak poni Maya dengan gemas.

Berdua, Maya dan Masumi membelah lautan lavender. Menikmati kebersamaan mereka di tengah aroma wangi lavender yang lembut sambil berbincang ringan. Maya terus bergelayut di lengan Masumi yang kekar. Senyum dan raut kebahagiaan terus menghias wajahnya tanpa terpikir perpisahan akan menghampirinya.

***

Hari ini, kota Tokyo dinaungi langit biru yang cerah. Beberapa gumpal awan putih terlihat berarakan dan kontras dengan warna langit yang kebiruan. Cuaca yang bersahabat semakin menambah semangat warga Tokyo memulai aktivitas setelah dimanjakan liburan sehari penuh di hari Minggu.

Hari Senin yang cerah secerah wajah Maya. Setelah kepulangannya dari Nagano, wajah Maya selalu berseri dan tak lepas dari senyum. Satu hal yang dapat dijelaskan secara ilmiah, aroma lavender yang dihirupnya bersama Masumi di Nagano mempunyai efek aromaterapi yang menenangkan, sehingga dapat diterima dengan logis bahwa aura kedamaian dan bercahaya yang dipancarkan wajah Maya disebabkan oleh efek aromaterapi bunga lavender.

“Maya”

“Ya!” Maya yang sedang mencuci peralatan makan menghentikan aktivitasnya dan menengok ke arah suara yang memanggilnya. Di sana, Maya medapati Rei dengan tas cangklong menggantung di bahunya.

“Kau akan pergi, Rei?”, tanya Maya.

“Iya”, jawab Rei, “Ada saudaraku ulang tahun. Mungkin aku akan pulang malam, Maya”

Maya termenung sejenak. Senangnya masih punya keluarga. “Kau pergi sendirian, Rei?”

“Tidak, dengan Sayaka. Apa kau juga ingin bergabung, Maya?”

“Maaf, Rei”, sesal Maya, “Aku masih harus latihan. Aku belum sepenuhnya mengerti perasaan Akoya”

“Tak apa, Maya”, Rei tersenyum penuh pengertian, “Aku pergi, Maya! Mungkin aku akan membawakanmu kue ulang tahun”

“Terima kasih, Rei”, Maya tersenyum senang.

Rei melambaikan tangan sebelum membalik badan dan melangkah keluar. Maya terus memperhatikan Rei hingga hilang di balik dinding yang memisahkan dapur dengan ruang makan.

Selepas kepergian Rei, Maya melanjutkan aktivitasnya hingga terdengar suara teriakan dari bawah.

“Maya..., Maya...! Ada telepon untukmu!”

Maya segera keluar kamar dan setengah berlari menuruni tangga, lalu menghampiri pesawat telepon yang terletak tak jauh dari tangga-di atas meja yang satu sisinya menempel di dinding apartemen. Maya mengangkat gagang telepon yang tergeletak di meja dengan posisi membelakangi dinding apartemen dan mulai melakukan percakapan dengan seseorang.

“Hallo”

“Hallo, ini Maya?”

“Iya, ini siapa?”

“Aku Shiori, Maya”

Maya setengah terkejut. Shiori?

“Hallo, Maya?”

“Iya”

“Aku ingin membicarakan sesuatu denganmu. Tapi maaf, kondisiku melemah sehingga tak dapat menemuimu”

“Tidak apa. Silakan!”

“Ini tentang Masumi, Maya”

Untuk kali kedua, Maya tersentak. Tentang pak Masumi? Namun, Maya terus mendengarkan perkataan Shiori.

“Dua hari yang lalu, Masumi hendak membatalkan pernikahan kami dan aku mohon pengertianmu Maya!”

“Maksudnya?”

“Masumi mengatakan kalau ia mencintaimu dan itu adalah alasan utamanya. Tapi...”, suara Shiori terhenti dan terdengar suara isakan di seberang, “Aku mohon pengertianmu Maya. Ini semua demi anakku”

“Anak? Anak siapa?”, mata Maya melotot.

“Anakku..., anak Masumi!”

“BRAKK!!”, gagang telepon yang dipegang Maya terlucut dan jatuh di atas meja, “BLUGG!!”, badan Maya terhempas ke dinding dengan keras, “Ssrrttt!”, lalu merosot ke bawah dan terduduk di lantai. Apa katanya? Anak? Anak pak Masumi? Seluruh wajah Maya memanas. Dadaknya sesak seketika bak ada batu besar menghimpitnya. Maya merasakan kehampaan yang sangat. Ada sesuatu yang tercerabut dengan paksa dari hatinya. Ohh..., pak Masumi punya anak? Jadi..., jadi pak Masumi mengkhianatiku? Maya terisak menyedihkan, air matanya berlinangan. Saat ini, ruang hatinya menggelap-pekat tanpa cahaya. Kemarin, aku bermanja di lengannya. Melihat bunga lavender yang indah. Aku masih ingat sentuhannya yang lembut, bahkan aku masih merasakan tangannya yang hangat saat memegangku. Pak Masumi.... Semua bohong, kan? Semua tidak benar, kan? Maya terus terisak di samping meja telepon. Meratapi hatinya yang hancur berderai-derai dan harapannya yang habis terbakar menjadi abu. Sekarang, aku harus bagaimana? Bila pak Masumi menikah, aku harus bagaimana? Maya semakin terisak. Ia tertunduk bertopang kaki tak bertenaga.

***

Di ruang direktur Daito, Masumi membaca dokumen-dokumen yang tertumpuk di mejanya penuh dengan ketelitian. Setiap selesai menyelesaikan satu dokumen, pandangannya beralih ke notebook yang ada di sisi kanannya, lantas menarikan jemarinya di atas keyboard sejurus lamanya.

“Tok tok tok” Terdengar ketukan di pintu ruangan Masumi.

“Masuk!”

“Permisi, Pak!” Kepala Mizuki menyembul dari balik pintu.

Masumi mengangguk ringan saat melihat Mizuki muncul di depannya tanpa menghentikan aktivitasnya.

Melihat isyarat Masumi, Mizuki melangkah maju ke arah mejanya. Saat jaraknya 50 cm dari meja direktur, Mizuki menghentikan langkah, “Ada surat dari nona Shiori, Pak!”, Mizuki menaruh sepucuk surat beramplop putih dengan hiasan ornamen daun berwarna oranye di satu sudutnya, “Kata pengantar surat, isinya sangat penting!”

“Surat?”, dahi Masumi sedikit berkerut, “Malam-malam begini?” Masumi meraih amplop yang ada di depannya, membuka, dan mulai membaca isinya.

Masumi, tunanganku....

Permintaanmu untuk membatalkan pernikahan kita telah memporak-porandakan hatiku. Saat ini, kondisiku melemah dan tidak dapat menemuimu untuk membicarakan masalah ini.

Sungguh, aku sangat mencintaimu, Masumi. Kau sangat berarti bagiku. Kumohon, tariklah kembali ucapanmu, Masumi. Semua kulakukan demi anak kita. Anak yang saat ini mulai bertumbuh dan berkembang di dalam rahimku.

Aku telah memberi tahu Maya. Harapanku, semoga ia dapat mengerti keadaan kita....

Masumi berhenti membaca isi surat, “Srt”, surat yang dipegangnya melayang jatuh di atas meja. Maya...! Sontak, Masumi bangkit dan berlari menuju pintu, meninggalkan tumpukan dokumen dan notebook-nya dalam keadaan menyala..

“BLAM!!” Pintu ruangan Masumi tertutup dengan keras.

Mizuki membatu di tempatnya berdiri. Pemandangan yang terjadi beberapa detik lalu membuatnya terkesima-penuh tanda tanya. Pak Masumi...!? Perlahan, Mizuki memutari meja Masumi. Ia menghentikan langkah ketika berada di sisi kursi direktur, meraih surat Shiori, melipat, dan memasukkannya ke dalam laci. Tak lama, tangan Mizuki bergerak dengan terampil membereskan dokumen-dokumen Masumi, kemudian menekan tombol power di notebook tanpa terlupa dua jarinya menekan tuts keyboard yang bertanda ‘Ctrl’ dan ‘S’. Setelah Mizuki yakin semuanya aman, ia melangkah ke arah pintu. “Blam!”, pintu ruangan direktur Daito tertutup rapat.

***

Di studio Kids, pak Kuronuma memperhatikan para pemainnya berlatih. Sesungging senyum kepuasan menghias wajahnya, melihat para artisnya bermain sesuai dengan harapannya.

“PLOK!!”

“Cukup! Latihan hari ini selesai. Kita lanjutkan besok!” Pak Kuronuma setengah berteriak saat memberi intruksi pada para pemain. Sejenak, ia memperhatikan para pemainnya yang berpencar. Tanpa sengaja pandangan pak Kuronuma mengarah pada Koji yang duduk termenung di sebuah kursi di pojok studio, kemudian melangkah menghampirinya. “Bagaimana Koji?”, tanya pak Kuronuma saat ada di depan Koji, “Apa ada kabar dari Maya?”

“Tidak, Pak”, jawab Koji lesu, “Kutelepon HP-nya tak diangkat. Kukirim SMS juga tak di balas!”

“Kemana dia, Koji? Tak biasanya ia pergi tanpa memberi kabar!”, ucap pak Kuronuma khawatir, ”Awas nanti! Apa dia tak tahu kalau dia belum bisa menjadi Akoya sepenuhnya?” Ekspresi kekhawatiran pak Kuronuma berubah menjadi kekesalan yang diikuti tangan kanannya mengepal lalu meninjukannya ke telapak tangan yang lain.

“Pak Kuronuma!”

“Eh!” Spontan, pak Kuronuma membalik badan mendengar namanya dipanggil dari belakang. “Pak Masumi?!”, pak Kuronuma tersentak melihat Masumi berdiri di depannya, “Anda ada perlu apa? Datang ke studio ini malam-malam?”

“Ada Maya, Pak?”, tanya Masumi dengan napas terengah-engah.

“Maya?”, pak Kuronuma mengerutkan alis, “Anda mencari Maya?”

“Iya, di mana Maya?”, ucap Masumi penuh kekhawatiran.

“Maya hari ini tidak latihan!”, jawab pak Kuronuma datar.

“Apa?!”, Masumi terkesiap, “Kalau begitu aku pergi!”, dengan cepat Masumi berbalik dan berlari meninggalkan pak Kuronuma.

Melihat perilaku Masumi, pak Kuronuma dan Koji saling berpandangan penuh keheranan.

“Ada apa dengan Masumi Hayami, Koji?”

“Aku tak tahu, Pak!”, jawab Koji seraya mengangkat bahunya. Pak Kuronuma hanya tersenyum datar mendengar jawaban Koji dengan kedua alisnya hampir menyatu. Ehm, aku mencium ada sesuatu yang tak beres. Kenapa Masumi Hayami mencari Maya malam-malam begini?

***

Rei berdiri di depan pintu kamar. Saat akan menyentuh gagang pintu, ia menyadari bahwa pintu kamarnya dalam kondisi terbuka-terdapat celah antara daun pintu dan kusen. Maya...?! ceroboh sekali meninggalkan apartemen tanpa mengunci pintu! Pelan, Rei mendorong daun pintu. “Oh” Rei terperangah, ruangan kamarnya gelap gulita. Maya...? Spontan, Rei menekan saklar lampu yang ada di sisi kanannya. “Mayaa...!?” Setelah kondisi kamar terang benderang, Rei mulai mencari keberadaan Maya di setiap sudut ruangan tetapi tak menemukannya. Di mana Maya? Apa dia belum pulang dari latihan? Tapi, kenapa ia meninggalkan cucian peralatan makan tanpa membereskannya? Walau dia ceroboh, tapi selalu menyelesaikan pekerjaannya.

“TOK TOK TOK” Di saat Rei dalam kebingungan, terdengar ketukan keras di pintu kamarnya. Secepat kilat, Rei berlari ke arah pintu.

“Oh”, Rei terperanjat melihat sosok di depannya setelah pintu kamar terbuka, “Pak Masumi?!”

“Rei, apa Maya ada?”, tanya Masumi dengan napas memburu.

“Maya? Kenapa Anda mencari Maya?”, Rei Balik bertanya dengan heran.

“Tolong, Rei”, pinta Masumi seraya memegang bahu Rei, “Di mana Maya?”

“Pak Masumi?”, Rei melepaskan tangan Masumi dari bahunya, “Bila Anda mencari Maya, saya juga mencarinya!”

“Maksudmu?”

“Maya tidak ada, pak Masumi! Bahkan dia pergi meninggalkan pekerjaan rumahnya begitu saja.”

Mendengar jawaban Rei tubuh Masumi melemas. Wajahnya mulai memucat. “Baiklah, aku pergi, Rei!”, Masumi membalik badan dan melangkah meninggalkan Rei dengan lunglai. Mungil, kamu di mana?

Melihat Masumi yang berjalan dengan lesu, Rei menyusul Masumi yang hampir menuruni tangga, “Pak Masumi, anda tidak apa-apa?”

“Tak apa, Rei. Terima kasih”

Rei terus mengamati Masumi yang berjalan menuruni tangga. Ada apa antara Maya dan pak masumi? Kenapa pak Masumi sangat mengkhawatirkan Maya? Rei melangkah kembali ke kamar setelah Masumi menghilang di balik pintu apartemen. Kemudian, Rei terlihat sibuk menghubungi teman-temannya. Mencari tahu informasi tentang keberadaan Maya.

Sementara itu, Masumi duduk di belakang kemudi mobilnya. Wajahnya pucat dan sayu. Aku harus kemana lagi untuk mencarimu, Maya? Perlahan, mobil Masumi mulai bergerak menjauh dari apartemen Maya. Oya, mungkin Maya ada di taman Asahi, tempatnya latihan dulu. Dengan cepat, Masumi mengarahkan mobil menuju taman Asahi. Setibanya di sana, Masumi mengitari seluruh area taman Asahi, bahkan menyibak rerimbunan semak-semak yang gelap. Namun, ia tak menemukan Maya. Sejenak, Masumi berdiri di depan taman Asahi. Mengingat-ingat kembali tempat yang sering dikunjungi Maya. Oh, jangan-jangan ia ke sana. Dengan segera, Masumi berlari menuju mobil. Maya paling suka main ayunan. Masumi mengemudikan mobilnya ke arah taman bermain. Ketika tiba di taman bermain, ia hanya menemukan kelengangan karena malam telah larut.

Mengetahui hasil pencariannya nihil, Masumi mulai kalut. Ia mengemudikan mobilnya tak tentu arah. Sepanjang jalanan Tokyo yang dilewatinya, masumi terus waspada memperhatikan trotoar yang ada di sisi jalan, menyaring orang-orang dalam jankauan matanya. Namun, dari sekian ratus orang yang tertangkap dalam saringan penglihatannya, tak satu pun terdapat Maya di dalamnya. Masumi mulai putus harapan, ia mengarahkan mobil sekenanya. Ketika melewati Rainbow Bridges, Masumi memilih jalur kanan. Mobil masumi terus melaju lurus di jalan tol, ia tidak memilih putar balik karena memang tidak ada tempat untuk putar balik, hingga akhirnya mobil Masumi memasuki terowongan Tokyo Bay Aqualine-jalan tol yang menghubungkan kota Kawasaki di Prefektur Kanagawa dengan kota Kisarazu di Prefektur Chiba.

Setelah melewati terowongan sepanjang 9,6 km, “Eh”, Masumi terhenyak. Ia tersadar, di mana dirinya sekarang. Aku ada di Umi Hotaru! Umi hotaru atau kunang-kunang laut merupakan tempat peristirahatan di atas pulau buatan di tengah laut Teluk Tokyo-satu rangkaian dengan Tokyo Bay Aqualine. Ketika Masumi menemukan area parkir aman, spontan ia membanting setir ke kiri, “Ckiiit”, mobil Masumi berhenti tepat 15 cm dari pagar pembatas Umi Hotaru dengan lautan lepas. Kondisi Umi Hotaru malam itu cukup ramai dengan lampu menyala terang, namun keramaian yang ada di sekitar Masumi tertelan oleh rasa penat yang mendominasinya. “Bruukk!”, Masumi menjatuhkan kepalanya ke setir mobil. Maya, kemana lagi aku dapat menemukanmu? Sekarang, aku malah terdampar di sini, di Umi Hotaru. Semoga tak terjadi apa-apa denganmu. Maafkan aku, Maya! Masumi menghela napas lelah.

***

Masumi memarkir mobilnya 10 meter dari bibir jurang yang memisahkan desa Plum Merah dengan lembah Plum Merah. Tak lama, tangannya bergerak membuka pintu mobil. Perlahan, Masumi mulai menjulurkan kaki keluar mobil, menyusul kepalanya, lalu menegakkan badan dengan sempurna. “Blam!”, pintu mobil tertutup dengan rapat. Masumi melangkah maju ke arah bibir jurang. Langkahnya berhenti tepat di ujung jembatan gantung yang menghubungkan desa dengan lembah Plum Merah. Ehm, rupanya ada yang membangun kembali jembatan ini setelah dibakar bu Mayuko. Masumi menyusuri jembatan gantung di depannya dengan sepasang matanya hingga ke ujung yang terlihat semakin mengerucut. Kemudian, matanya beralih pada gerbang masuk lembah Plum yang terlihat angker. Mungkinkah Maya ada di sini? Aku kemari hanya menuruti kata hati.

“Kriet kriet kriet”

Lambat-lambat, Masumi meniti jembatan yang terbuat dari jalinan papan. Jembatan itu menggantung di atas jurang yang curam, dengan jalinan tambang di sisi kanan kirinya dan setiap ujungnya terikat kuat pada dua tiang-menancap kuat di kedua tepian jurang. Setiap kaki  Masumi melangkah dalam titiannya, jembatan akan bergoyang ringan, dan untuk mejaga keseimbangan, satu tangan Masumi berpegangan pada jalinan tambang. Setelah berada di seberang, Masumi mengarahkan pandangan ke gerbang masuk lembah Plum yang digantungi rumbaian kertas doa. Kemudian, ia melangkah masuk dan mulai menyusuri jalanan setapak.

Sepanjang jalan, Masumi berjalan di atas guguran dedaunan hutan yang berwarna oranye dan merah, “Kkrss kkrss”, gemerisik dedaunan kering yang terinjak kakinya. Di sisi kanan kiri Masumi, pepohonan tinggi menjulang dengan warna pohon beraneka warna-kuning, oranye, dan merah. Sinar matahari yang menerobos celah-celah daun menjadikan momen momiji semakin indah-memberikan efek keemasan pada dedaunan yang merah keoranyean.

“Waaa”, Masumi terpaku melihat lembah Plum Merah berwarna merah keemasan. Di lembah Plum, seluruh dedaunan berubah merah dengan semburat oranye. Rupanya di sini puncak momiji terjadi lebih awal. Mungkin karena udara lebih dingin dan sinar matahari tak terlalu terik. Masumi berjalan di antara pepohonan plum yang beberapa helai daunnya beterbangan terbawa angin saat terlepas dari rantingnya. “Hup Hup” Masumi melompat di antara bebatuan untuk menyeberangi sungai kecil yang ada di hadapannya. Saat Masumi berada di seberang sungai, ia mulai mengedarkan pandangan dalam jangkauan matanya. “Eh”, sorot matanya terhenti pada sesosok yang duduk terpekur di bawah pohon plum yang batangnya paling besar. “Maya...!” Masumi menghampirinya dan sosok di depannya terlihat terperanjat kemudian berdiri tegak.

“Pak Masumi...!”

Masumi tersenyum lega, “Syukurlah, kau tak apa-apa!”

“Kenapa Anda ke sini?”

“Aku mencarimu ke mana-mana hingga ke pelosok Tokyo. Dan akhirnya, hatiku terpanggil datang ke sini. Ternyata benar, kau ada di sini”

“Aku mendapat surat dari Shiori yang mengatakan bahwa ia telah...”, tiba-tiba suara Masumi tercekat, “Aku bisa menjelaskannya Maya...! Sungguh, semua di luar...”, Masumi tak sanggup melanjutkan kata-katanya. Dadanya terasa sesak dan pita suaranya terikat ketat. Masumi menghela nafas panjang, merasakan ketidakberdayaannya.

“Kekasihku, buanglah masa lalumu. Karena itu tak perlu”, ucap Maya dengan senyum tulus di wajahnya.

“Maya...!”, Masumi menatap Maya heran.

“Di sini, aku dapat memahami segalanya. Memahami cintaku pada Anda. Memahami bahwa kita satu jiwa. Memahami bahwa hati kita selalu terikat. Memahami bahwa kita tak kan terpisahkan!”

Mendengar ucapan Maya, Masumi bergerak maju hingga jaraknya dengan Maya hanya setengah depa, “Maya...!”

“Aku telah memilih!”, ucap Maya pelan, “Menikahlah dengan Shiori demi anak yang dikandungnya, pak Masumi!”

Masumi terperanjat, hatinya menolak pilihan Maya, “Tidak, Maya! Aku masih bisa bertanggung jawab tanpa harus menikahinya!”, Masumi setengah berteriak.

“Kondisi Shiori melemah, Pak Masumi. Bila berlanjut, bisa membahayakan dirinya juga anaknya”, ujar Maya, “Kita hidup karena jiwa-jiwa lain yang ada di alam ini, tumbuhan, air, tanah, dan matahari. Seluruh makhluk hidup di alam ini berjiwa. Mereka yang berjiwa saling membutuhkan, saling menghidupi. Dan mereka adalah sama dengan diri kita. Mereka adalah saudara kita”

“Bila aku dapat menyelamatkan jiwa saudaraku, maka aku akan melakukannya”, tambah Maya seraya tersenyum tulus, “Menikahlah dengannya, Kekasihku! Ingatlah, dengan menyelamatkan satu jiwa, laksana kita menyelamatkan seluruh kehidupan!”, Mata Maya mengaca.

“Maya....”, pelupuk mata Masumi memanas, “Bukankah kau berkata kita tak kan terpisahkan?”, genangan bening mengambang di mata Masumi.

“Benar, Kekasihku. Jiwa kita selalu satu, hati kita selalu tertaut, walau raga kita saling jauh!”

“Maya...!”, Masumi melangkah maju, lalu meraih tubuh Maya dengan lembut. Genangan bening di matanya tak terbendung lagi. Perlahan, ia menunduk, membenamkan wajahnya di pundak Maya. Aku mencintaimu Maya, kenapa aku tak diizinkan untuk memilikimu? Kenapa aku harus berpisah denganmu? Badan Masumi terguncang ringa, ia tergugu menyedihkan.

Maya menepuk-nepuk pundak Masumi pelan. Butiran air matanya berjatuhan. Kekasihku, saat ini, kita dinaungi langit yang kelam, menyembunyikan matahari bersama sinarnya, disertai hujan lebat, petir, dan kilat. Namun, aku percaya, kekasihku. Di ujung waktu, di antara rintik hujan, matahari akan menyapa. Membias sinarnya beraneka warna.

Di bawah pohon plum yang daunnya mulai berguguran, sepasang kekasih saling mencintai dengan tulus. Menyadari bahwa cinta mereka tak harus saling menuntut. Namun, satu yang terpatri di dalam hati bahwa cinta mereka tak pernah lekang oleh waktu.

***

Masumi duduk di ujung meja makan, dengan tutup kain putih polos hingga menutup seluruh ruang di bawah meja, di ruang makan keluarga Hayami. Tangan kanannya, yang memegang pisau daging, dengan mantap mengiris daging asap di atas piring keramik bundar putih menjadi potongan-potongan kecil, dibantu tangan kirinya yang memegang garpu yang bercabang empat untuk menahan daging agar mudah dipotong. Kemudian, tangan Masumi menyuapkan irisan daging di ujung garpu ke arah mulutnya.

Di ujung meja satunya, Eisuke Hayami mengamati Masumi dengan ekspresi datar. Sejenak, tangan kanannya yang memegang pisau berhenti bergerak. Selintas, Eisuke menangkap aura kesepian di wajah Masumi yang tertutup ekspresi dinginnya, lalu disusul desahan panjang hampir tak kentara. Masumi...!

“Masumi”

Mendengar panggilan ayahnya, Masumi mendongak dan menatap Eisuke dengan tabik.

“Nanti malam pentas uji coba Bidadari Merah. Bagaimana persiapanmu selanjutnya?”

“Ayah, aku pernah menyampaikan pada Ayah. Selama proses yang dilalui sesuai dengan rencana Daito, baik aku maupun Ayah tak perlu khawatir!”

Mendengar jawaban Masumi yang tanpa beban, Eisuke tersenyum simpul. Sebenarnya, Rencana apa yang sedang kamu susun, Masumi. Sampai sekarang, kau tak pernah membicarakannya denganku. Dan itu membuatku khawatir!

“Masumi, semalam, perwakilan keluarga Takamiya menemuiku. Mereka menyampaikan padaku tentang niat mereka mempercepat hari pernikahan” Eisuke menunggu respon Masumi tetapi Masumi tetap pada aktivitasnya. “Apa kamu menyetujuinya?”

“Baik, Ayah. Ini adalah pernikahan Daito dengan keluarga Takamiya”, Masumi berucap dengan nada menetak, “Aku akan menuruti kata-kata Ayah!”

Kata-kata Masumi yang tajam nyaris menebas hati Eisuke. Namun, dengan cepat ia mengabaikannya. “Hari pernikahan akan diajukan pada hari ke-5 setelah pentas uji coba Bidadari Merah!”

“Pletak!” Pisau yang terpegang oleh tangan Masumi terlepas dan menimbulkan bunyi yang cukup nyaring saat berbenturan dengan permukaan piring keramik, seakan hendak memburaikan kekakuan di antara mereka berdua. Kenapa Shiori memajukan hari pernikahan terlalu cepat? Kemarin, aku baru menarik kembali ucapanku. “Tak masalah, Ayah”, ucap Masumi singkat tanpa tambahan.

***

Malam hari tanggal 10 Oktober, di teater X―di tengah lahan proyek pembangunan stasiun baru dari stasiun Shiotomi―berdiri sebuah tenda besar, lengkap dengan sebuah panggung setinggi 1 meter di depan dan ratusan kursi menghadap ke arah panggung. Sejak 1 jam sebelum pentas dimulai, penonton mulai memadati area tenda, bahkan tempat duduk yang telah disediakan tidak dapat menampung luapan penonton―lebih banyak penonton yang berdiri daripada duduk. Kondisi ini merupakan imbas pemberitaan besar-besaran latihan Ayumi beberapa waktu yang lalu, sehingga masyarakat menyimpan rasa penasaran yang besar atas sosok Bidadari Merah yang akan diperankannya.

“Bagaimana ya akting Ayumi? Aku sangat penasaran!”, ucap salah satu penonton wanita berambut sebahu, di deretan depan kursi, pada teman laki-lakinya yang duduk di sisi kanannya.

“Aku juga. Tapi, pentas pertama dilakukan oleh Maya Kitajima”

“Maya Kitajima?”, sahut si wanita seraya mengernyitkan dahi, “Ehm, apa dia bisa secantik Ayumi? Saat siaran langsung latihan Ayumi dulu, dia berakting sangat menawan. Benar-benar seperti bidadari sesungguhnya!”

“Kau benar!”

Di saat yang sama, di salah satu tenda yang berfungsi sebagai kamar ganti pemain, Maya duduk di depan kaca rias. Kedua tangannya memegang sebuket mawar ungu yang masih segar. Kemudian, tangan kanan Maya meraih selembar kartu ucapan yang terselip di antara kelopak bunga.

Aku selalu menjagamu,
melindungimu,
dan mencintaimu.

Dari Pengagum Setiamu

Maya tak mampu menyembunyikan rasa haru yang meretas di dalam dadanya. Buliran bening mulai mengalir di pipinya yang telah terias sempurna. Pak Masumi, aku pun selalu mencintaimu. Menyimpanmu rapat di dalam hatiku. Menemaniku dalam setiap langkah kakiku. Karena jiwa kita satu. Tak berbatas waktu. Dan kupersembahkan akting Bidadari Merahku hanya untukmu.

“Maya”, seseorang memangil dari balik bilik.

“Ya”

“Sebentar lagi pentas akan dimulai. Kau harus segera keluar!”

“Ya”

Dengan cepat, Maya menarik lembaran putih lembut dari kotak persegi yang ada di depannya, lalu mengesat air matanya dan memperbaiki riasan wajahnya. Setelah itu, Maya meraih rambut palsu yang halus dan panjang. Kemudian, memasangkannya untuk menutup rambut aslinya yang terbebat rapat. Maya menatap pantulan dirinya di cermin. Aku adalah Akoya. Saat ini, sorot mata Maya bukan lagi miliknya, melainkan milik Akoya yang dititisi roh Bidadari Merah.

***


“PIIP...PIIP...PIIP”

Dari arah panggung yang gelap, terdengar suara shinobue2 yang misterius. Suaranya merangsang bulu kuduk penonton menegak. Bersamaan dengan lampu lighting menyala, terdengar suara tabuhan kotsuzumi3, “TAAM... TAAM...TAAM”
 
PLASS. Kilatan lampu sorot mengarah pada sosok yang berdiri di atas sketsa panggung yang menyerupai tebing batu. “OH” Setiap penonton terperangah. Mata mereka terpaku ke arah sosok wanita yang berdiri agung, dengan kimono putih. Wajahnya yang cantik jelita bersinar. Memancarkan aura kesucian dari hatinya yang putih bersih. Setiap penonton bergumam, “Inikah, Bidadari Merah...!?”

“Itukah Maya Kitajima?”, bisik satu penonton di baris pertama tempat duduk, “Dia...dia, cantik sekali!! Dia benar-benar seorang bidadari!”, ucapnya kagum pada sosok yang dilihatnya.

Sementara itu, Masumi yang duduk di tempat paling strategis, berdecak takjub, Maya, kau telah membuktikannya padaku. Kau tak beda dengan sosok bidadari yang kulihat di lembah Plum dulu...! Kembali, hati Masumi berdesir. Pilu. Oh, pelupuk matanya memanas, Maya, apakah aku hanya bisa melihatmu seperti ini? Melihatmu, hanya sebagai penonton! Tangannya mengepal kuat. Sepenuh tenaga, Masumi meredam gejolak rasa di dalam dadanya.

Di atas panggung, Maya memegang jubah transparan dengan semburat merah berhias sulaman bunga plum di ujungnya yang berkibar-kibar lembut. Pandangannya jauh ke bawah, seolah melihat hamparan alam semesta di depannya, sorot matanya lembut penuh dengan kebijaksanaan. Pak Masumi...! Lihatlah! Aku akan menjadi bidadari yang membuatmu bangga hingga kau tak malu untuk menceritakannya.
Dari kibaran jubah Maya, laksana lambaian ranting-ranting pohon plum yang tertiup angin. Bunganya yang gugur beterbangan, menyebarkan aroma wangi ke seluruh penjuru. Suasana lahan proyek yang penuh puing-puing reruntuhan bangunan berubah seketika. Para penonton tak lagi merasa berada di sana. Mereka di ajak mengembara ke dalam dunia Bidadari Merah yang penuh dengan kemisteriusan.
“TAAM...TAAM...TAAM...”

“Hoh”, orang-orang yang duduk di deretan kursi juri, seakan tersadar kembali. “Bu Mayuko, murid Anda luar biasa! Hanya dengan kemunculan sesaat mampu membawa kita ke dunia lembah plum yang mempesona”, ucap seorang juri yang duduk di samping Mayuko Chigusa yang disambutnya dengan senyuman bangga.

“Trak...trak...trak....”

Terdengar benturan pedang para prajurit yang bertempur gagah berani. Mengayunkan pedang penuh semangat. Saling membabat habis musuh-musuh dalam jangkauan tepasan pedang hingga senjata lawan tak mampu menyentuh tubuh mereka. Terdengar jeritan menyakitkan dari mereka yang tubuhnya terbabat pedang. Disusul rintihan-rintihan yang menyayat hati dari bibir-bibir biru saat ajal menjelang. Penonton tercekam dalam situasi perang yang mengerikan.

Satu persatu, mayat bergelimpangan. Para penjarah mulai menyerbu para ksatria yang berguguran. Mereka mengambil barang-barang berharga yang dapat dijual kembali―kondisi perang mengakibatkan kehidupan penuh kesempitan. Saat itu tampak jelas suasana yang kacau balau. Setiap orang tidak mempedulikan lagi kondisi makhluk lain. Mereka hanya memikirkan diri sendiri, bagaimana berusaha agar tetap hidup.

Di tengah suasana perang yang awut-awutan, Maya melangkah di antara para pemain yang sedang bertempur. Maya berjalan perlahan, lembut penuh keanggunan. Berjalan sebagai bidadari. Aku adalah jiwa yang suci. Angin adalah milikku, yang berhembus melewatiku. Jubah Maya bergelebar, walau saat itu tak ada angin bertiup.

“Waaah”, para penonton tercengang. “Lihat! Ada bidadari yang berjalan di tengah pertarungan. Ia melayang. Gerakannya ringan, tampak seperti tiupan angin!”, ucap seorang penonton.

Maya memperhatikan peperangan dari atas bagian panggung yang menyerupai bukit batu. Dari tubuhnya terpancar aura kebesaran seorang dewi. Sorot matanya yang teduh penuh kedamaian, menatap orang-orang yang saling bunuh dengan kegeraman.

Kembali, para penonton tersihir dengan keberadaan Maya di atas panggung. Mata mereka terpaku ke arahnya. Perhatian mereka tersedot oleh kekuatan gaib yang misterius. “Mengagumkan. Dia tak seperti waktu latihan dulu. Saat ini, seorang dewi benar-benar telah menitis pada tubuh Maya. Menyadarkan bahwa kita-kita ini hanya manusia-manusia tak berdaya yang melakukan hal-hal bodoh”, bisik Ketua Persatuan Drama Nasional pada rekannya yang duduk di sampingnya.

“Benar, Pak Ketua. Dia seperti tak sedang berakting!”

Sekarang, penonton disuguhi adegan pertemuan Kaisar dengan para pembesar-pembesar istana. Sang Kaisar, dengan baju kebesarannya, duduk di singgasana yang dinaungi kelambu-kelambu dari sutra-sutra yang lembut. Sementara para penggawa kerajaannya duduk bersila di sisi kanan kiri singgasana.

“Tujuh hari ini, berturut-turut aku bermimpi aneh”, ucap Sang Kaisar, “Aku melihat bunga plum bersinar menerangi bumi”

Para pembesar mendengarkan tutur kata Kaisar dengan saksama.

“Ini pasti bidadari yang pernah dilihat dalam bulatan matahari pagi oleh pendeta tinggi dahulu. Dan sekarang waktu yang tepat untuk dia memperlihatkan wujudnya”, kata Kaisar dengan bijaksana, “Cari pemahat patung Budha! Pemahat yang bisa memahat patung bidadari demi kedamaian dunia...!!”, titah Kaisar penuh wibawa.

“Baik. Kami akan melaksanakan mandat Kaisar dengan baik!”, sigap seorang pembesar kerajaan yang tak lain adalah Terafusa.

Setting panggung berubah, lalu terdengar tabuhan kotsuzumi, “TAAM...TAAM...TAAM...”

“OOOO...OOOO...OOOO....”

Tiba-tiba dari arah panggung yang remang, terdengar gema suara yang menggetarkan udara. Laksana jeritan bumi yang keluar dari dalam tanah. Kemudian, merambat ke dalam tubuh setiap penonton, berawal dari ujung kaki yang menginjak tanah, mengikuti aliran darah ke seluruh bagian anggota badan, dan berakhir pada getaran hebat di hati mereka. “Apa ini? Hanya mendengar suaranya, hatiku bergetar. Seolah-olah aku akan bertemu dengan hal yang luar biasa?”, bisik Utako Himekawa yang duduk di deretan kursi di samping panggung. Di sebelahnya, Ayumi, yang penglihatannya kabur, merasakan hal yang sama. “Mama, ada apa di panggung?”, tanya Ayumi yang disahut Utako dengan gelengan.

PLASS. Sorot lampu mengarah pada sosok yang berdiri di panggung dengan jubah merah; mahkota indah yang berumbai menghias kepala; rambut panjang dan hitam kelam tampak kemilau diterpa sinar lampu; wajah yang jelita putih bersih bercahaya; mata jernih cemerlang yang teduh dan damai; serta selendang lembut transparan menggelombang indah di antara lengannya.

“OH”, setiap pasang mata yang ada di kursi penonton terpana. Tak berkedip. Kekuatan mistis telah memikat hati mereka. Pandangan mereka tak teralihkan dari sosok yang berdiri di atas panggung. Memancarkan pesona keagungan seorang dewi. Semua yang hadir di tempat itu lupa jati diri mereka dan berbisik, “Aku bertemu dengan bidadari...!? Betapa cantik dan agung!”

Di waktu yang sama, Maya yang berdiri di tengah panggung merasakan keheningan yang sangat. Decak kagum penonton yang menggema dan sorot lampu yang terang tak mampu merembes ke ruang hatinya. Maya berasa berada di dunia lain. Tubuhnya kaku, seakan menancap kuat ke dalam tanah. Oh...! aku di mana? Maya terlupa dengan sifat kemanusiaannya. Aku siapa? Oh, aku pohon. Aku roh pohon plum yang abadi. Tiba-tiba, timbul kekuatan yang mendesak keluar dari tubuh Maya. Kekuatan yang pernah dirasakannya di lembah Plum. Namun, saat ini, Maya mampu mengendalikan kekuatan yang bersemayam dalam dirinya karena kekuatan itu adalah miliknya. Kekuatan yang bersumber dari dalam bumi. Kekuatan yang terus berputar naik. Merambat dengan dahsyat dari ujung kaki hingga ujung rambut.

“OOOO...OOOO...OOOO...OOOO....”

“Siapa...siapa yang telah memanggilku? Siapa...? Apa gaung si hutan atau kesenyapan malam?”, terdengar suara yang sangat merdu dan indah namun penuh dengan mistik dan ketegasan, “Oh, tidak. Ini jelas bau darah! Kulihat dua pusaran saling bertabrakan. Dua gasing yang melambangkan langit dan bumi. Menjadi sumber kebencian dan kesedihan hingga satu jiwa lenyap.

Setiap penonton terperangah. Mereka tak sanggup berkata-kata. Merasakan gelombang getaran di dalam hati masing-masing. Suara Maya yang mistis menggema dan menggetarkan hati siapa saja yang mendengarnya. Tanpa kecuali pak Kuronuma dan pemain lain yang berdiri di dekat panggung. “Ini, bukan suara Maya”, bisik satu pemain yang berdiri di samping pak Kuronuma. Pak Kuronuma tak menjawab, Maya telah bertransformasi ke bentuk lain. Dia menjelma menjadi bidadari yang sesungguhnya.

“Aku tak paham. Kenapa manusia berlaga. Mengadu jiwa, saling menumpahkan darah”, suara Maya kembali menggema, “Tak terdengarkah suara langit? Tak terdengarkah suara bumi? Tak terdengarkah nyanyian dewa yang telah menyatukan langit dan bumi serta menumbuhkan jiwa-jiwa di dalamnya? Perbuatan buruk manusia telah membuat jalan masuk iblis ke dunia. Bodoh sekali!”, suara Maya menggelegar, lalu ia memegang satu ujung selendangnya dan menggerakkannya.

Selendang Maya bergerak tampak menggelombang ke atas. Menimbulkan gerakan udara yang cepat dan kuat. Udara di sekitarnya berputar hingga tiupannya menggoncangkan benda-benda di sekitarnya. Penonton dicekam ketakutan. Sosok di depannya mempunyai kekuatan luar biasa. “Anginnya besar sekali! Dia mempunyai kekuatan dewa!”, ucap Tabe yang duduk di deretan kursi ke-13.

“Manusia harus membayar kesalahan dan dosa-dosa yang telah mereka lakukan. Akan kuperintahkan sang naga merobek-robek dunia, mengirimkan hujan lebat hingga terjadi air bah yang menutupi seluruh permukaan bumi! Menghanyutkan segala bentuk kotoran yang ada di atasnya!”, suara Maya menggemuruh di seluruh area lahan proyek, “HA...HA...HA...HA....” Disusul dengan suara tawa yang membahana dan mengerikan. Menciutkan nyali setiap makhluk yang berada di sana. Mereka semua diliputi kengerian yang luar biasa. Tanpa komando, setiap orang mengkoreksi diri atas perbuatan-perbuatan mereka masing-masing. Terutama dosa-dosa yang telah dilakukan. Hati mereka bergumam, “Akan seperti apa dunia ini bila dewa benar-benar murka dengan perbuatan jahat kami?”

“Oh”, Maya menutup wajahnya. “Apa ini? Perasaan apa ini?”, ia menggerakkan kepala ke samping kanan, kegelisahan menyergapnya, “Baru pertama aku merasakannya. Terasa panas membara, tapi ada rasa hampa yang indah. Kebahagiaan dan kesedihan yang mengiris-iris diriku. Rasanya aku akan mengalami sesuatu. Bahaya...! Aku tidak boleh mendekatinya!

“PIIP...PIIP...PIIP....”

Mengimbangi alunan suara shinobue, Maya menggerakkan kedua tangannya. Gemulai, tangannya menari dengan indah dan lembut. Setiap gerakan tangannya laksana lambaian dahan-dahan pohon plum dan menyebarkan aroma wangi bunga plum yang semerbak  ke seluruh area pentas. “Dia benar-benar cantik, luar biasa!”, bisik Koji di dekat panggung penuh kekaguman. Tiada kata yang dapat melukiskan keelokan sosok yang saat ini berdiri di panggung bila dari keindahan dan kelembutan yang dipancarkannya dapat memadamkan sinar matahari dan rembulan.

Mayuko Chigusa menatap lurus ke arah panggung penuh ketakjuban, Maya aku bangga memiliki murid sepertimu. Kau benar-benar muridku yang teristimewa. Semoga kau dapat mewarisi jiwa abadi Bidadari Merah.

“Rei”, Sayaka menyenggol Rei yang ada di sisi kirinya, “Apa Maya bisa menari seindah itu?”, ucap Sayaka penuh dengan keterpanaan.
“Tidak”, sahut Rei dengan tegas, “Tapi, ia sekarang menjadi bidadari. Maka ia dapat melakukannya. Setiap gerakannya mempesona siapa saja yang melihatnya!”, tambah Rei penuh kewajaran.


BERSAMBUNG--ENCHANTED III

[1] Perubahan warna daun menjadi kuning, oranye, dan merah di musim gugur.

[2] Seruling Jepang
[3] Disebut juga dengan tsuzumi kecil yaitu drum Jepang terdiri dari tubuh kayu yang berbentung seperti jam pasir dan dimainkan dengan ditabuh.