Kamis, 30 Desember 2010

Teruslah Mendekat dan Jangan Menjauh

Apa yang membuat hati menjadi tenang? 

Apa yang membuat kita selalu bahagia?

Apa yang membuat kita terus melangkah?

Apa yang membuat kita menjadi kuat?

Apa yang mambuat kita menjadi pemberani?

Apa yang membuat kita bermimpi?

Dan pertanyaan apa-apa lain berkaitan dengan bunga rampai kehidupan....

Seribu satu jawaban akan bermuara pada satu arah yaitu "Allah”.

Allah berfirman, “Hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenang”.

Saudaraku, masih ingatkah, bila kita mendekat sejengkal pada Alloh, maka Ia akan mendekat sehasta, bila kita mendekat sehasta, maka Ia akan mendekat sedepa, bila kita mendekat dengan berjalan, maka Ia mendekat dengan berlari.
Saudaraku, pernahkah bertanya, ‘Bagaimanakah bila kita mendekat dengan berlari?’, terbesitkah angan bahwa Allah akan mendekat dengan kecepatan cahaya? Dan hal ini, hanya Allah yang tahu, dan lebih baik kita menghindari pertanyaan ini.
Tetapi Saudaraku, ada pertanyaan baru, bagaimanakah cara kita mendekati Allah dengan berlari? Apakah dengan terus beribadah sepanjang hari, sementara kita mempunyai kewajiban beraktivitas sebagai khalifah di bumi?

Satu yang pasti Saudaraku, jangan lah pernah jauh dari-Nya, walau kadang kita sering melupakan-Nya dengan berbagai aktivitas kita yang “super sibuk”, atau hanya kita yang “sok sibuk?”, hingga mempunyai alasan untuk sedikit melonggarkan beberapa hal untuk maaf sedikit menjauh. Hingga nanti ketika kita berada di yaumil hisab, kita akan berani menjawab dengan berdalih “saat itu aku sibuk Allah, sehingga tidak sempat bla bla bla...” di saat ada pertanyaan “kenapa kamu tidak melakukan bla bla bla”.

Saudaraku, dengan segala aktivitas kita yang “sok sibuk”, ternyata Allah tidak pernah mengurangi jatah makan kita setiap hari, bahkan Ia selalu menambahnya. Allah selalu menyayangi dan memberi, tidak pernah mengurangi, bahkan selalu memberi tips. Lebih ekstrimnya, mari kita melihat, kepada orang-orang yang berlaku dosa atau berlaku kerusakan saja Allah selalu memberi rizki pada mereka, bahkan terkadang Allah “ngelem” mereka dengan mempermudah mereka mencari rizki hingga menumpuk ‘setinggi gunung Merapi’.

Sungguh Saudaraku, akan beruntung lah orang yang selalu mengingat Allah, karena Allah pasti selalu mengingatnya. Dan hal ini sangat lah logis, bagaimana mungkin seseorang akan selalu diingat bila ia sendiri tidak pernah mengingat?

Dengan berucap bismillah, marilah Saudaraku, semoga kita senantiasa mengingat-Nya walau berupa dzikir lirih di dalam hati, hingga hari-hari yang kita lalui jauh dari kesia-siaan. Terutama ingatlah ketika bersama kebahagiaan dan kejayaan...Sungguh indah, bila Allah selalu mengingat kita, seakan kita menjadi orang yang paling bahagia di dunia.

Dan jangan pernah berhenti Saudaraku, terus lah bergerak, karena sekali berhenti itu akan menjadi kebiasaan, dan kata berhenti hanya ada di surga ....


 Note:
Rabb aku percaya, engkau menciptakanku beserta segala catatan terinci tentang umurku, rizkiku, dan ajalku. Wahai Alloh, kuakui aku lemah, kuakui aku tak berdaya, dan kuakui aku tak berkuasa. Aku mohon padamu wahai Alloh, sekali ini, bentengi diriku dengan kekuatanMu. Karena kepercayaan yang ada di hatiku. Walau aku memilih menjauh daripada mendekatiMu, walau aku memilih mengingkari daripada menepati janjiku kepadaMu, walau aku lebih suka meminta daripada memberikan hartaku. Karena bagiku, hanya Engkau Yang Maha Kuat, Engkau Yang Maha Berkuasa, Engkau Yang Maha Memberi, dan Engkau Yang Maha Pemurah. Ku Mohon ya Rabb, janganlah murka melihatku, karena aku pasti menjadi orang yang paling merugi. Taubatku adalah kepunyaanMu. Amin

Selasa, 28 Desember 2010

Jalan Ini Berujung

Jalan ini berujung

Kini
Aku ada di sini
Berdiri di atas kaki sendiri

Jalan ini berujung

Adalah tabu
Menoleh ke belakang
Menilik waktu yang berlalu
Walau akhirnya, hanya kutemukan penyesalan

Jalan ini berujung

Tidak sayang
Bisik sisi hati malaikatku
Adalah benar
Mengoreksi waktumu yang lalu

Jalan ini berujung

Benarkah
Tetapi lukaku semakin dalam
Dadaku semakin sesak
Dan kenapa, pelupuk mataku memanas
Hatiku berontak, berteriak, tapi berakhir diam

Jalan ini berujung

Bolehkah aku pergi
Aku tak ingin berada di sini
Aku tak ingin mengingat mereka kembali
Setiap asaku mengabu menjadi debu
Bahkan, di saat kuat keyakinanku

Jalan ini berujung

Sayangku
Bisik ulang hati malaikatku
Lihatlah
Jalan ini panjang
Berliku, menanjak, dan berbatu

Sayangku
Setiap hal akan berganti
Jalan ini akan beralih
Yang berliku akan melurus
Yang menanjak akan menurun
Yang berbatu akan beraspal
Saling menggantikan

Percayalah
Jalan ini berujung
Tiada keabadian
Di bumimu











Tidak ada kata berhenti dalam menghisab diri,,
mengingat aib-aib yang tertutupi,,
meraih hari yang lebih berseri. Amin

Senin, 27 Desember 2010

Why Did You Be So Wonderful?!

 


Rabb, melalui catatan kecil ini, melalui goresan di lembaran maya ini, izinkan aku menyampaikan terima kasihku, walau di antara mereka tak bisa membacany….




Kamu yang selalu membuatku tersanjung
Kamu yang selalu membuatku merasa ada
Kamu yang memberi senyum di kala duka
Kamu yang membantuku menjadi kuat
Kamu yang membuatku merasa berarti
Kamu yang mengajakku tertawa di kala perih
Kamu yang…

Hanya dengan berapa kata dari bibir atau tulisan , “Do you want I pray for you?”, “What can I do for you?”,“Tell me, maybe I can help you sister”,….
Oh, Rabb, why did they be so wonderful….

Rabb,
Bagaimanakah cara membalas mereka,
Mereka yang mencintaiku apa adanya,
Padahal….
Aku yang biasa dan ingin menjadi luar biasa
Aku yang ingin berbuat kebaikan di tengah sejuta sifat jahat
Aku yang ingin menyenangkan di tengah sejuta sifat curang
Aku yang ingin memudahkan di tengah sejuta keegoisan

Rabb,
Pantaskah aku menerima cinta dari mereka
Pantaskah aku menerima kebaikan dari mereka

Oh, Rabb,
Tak kan mampu diri ini mengimbangi kebaikan yang mereka tebar
Tak kan mampu diri ini mengimbangi cinta yang mereka tanam

Harapku Rabb,
Cintailah mereka melebihi cinta mereka padaku
Mudahkan urusan mereka seperti mereka memudahkan urusanku
Kabulkan lah permintaan mereka seperti mereka meluluskan permintaanku
Dan berilah mereka sejuta kebaikan atas kebaikan mereka padaku

Rabb,
Kabulkan lah
Sesungguhnya Engkau yang paling mudah mengabulkan doa dan permintaan
Syukurku adalah milik-Mu
Atas segala cinta, kasih sayang, dan kebaikan mereka.
Aamiin

Minggu, 26 Desember 2010

Disirami Dengan Air Yang Sama



Beberapa saat yang lalu, aku memegang sebuah mangga apel, ehm, baunya enak, mengundang selera (maaf, bagi yang sedang berpuasa :) )

Mangga dan buah2 yang lain dihasilkan dari berbagai macam tanaman. Dan tanaman2 ini selalu disirami dengan air yang sama oleh tuannya atau dari air hujan.

Tetapi, walau disirami dengan air yang sama, tanaman2 ini menghasilkan buah yang beraneka macam. Mulai dari rasa, bentuk, warna, maupun teksturnya. Dan buah2 ini ada yang berasa asam, manis, atau hambar, ada yang berbentuk lonjong, bulat atau bahkan tidak beraturan, ada yang berwarna merah, kuning, hijau, ungu, coklat, dan sebagainya.

Subhanalloh, dari air yang sama menghasilkan hasil yang beraneka ragam. Bentuk kuasa-Nya dalam menciptakan bervariasi perkara, Alloh melebihkan sebagiannya dengan sebagian yang lain.

Belajar dari buah, apabila kita memberikan hal yang serupa kepada beberapa orang berupa nasehat atau bentuk kebaikan lain, jangan lah kecewa bila dari apa yang kita berikan akan menghasilkan atau berdampak berbeda pada setiap individunya.

Begitupun dengan manusia, walaupun makan dari jenis makanan yang sama, diciptakan dari bahan yang sama, mengikuti pendidikan di tempat yang sama, mendapat nasehat dari ustadz yang sama, hidup di lingkungan yang sama, akan menghasilkan pribadi2 yang berbeda dalam hal prestasi, ketakwaan, dan akhlaknya. So, jangan pernah kecewa bila ada atau bertemu dengan orang yang baik dan jahat, takwa dan ingkar, penurut dan pembangkang, pintar dan bodoh, rajin dan malas, bergerak dan berdiam diri, serta berbagai tipe manusia lain....

Sungguh Alloh menciptakan segala sesuatu berdampingan, memvariasikannya, melebihkan sebagiannya dengan sebagian yang lain, wujud dari kemahasempurnaan kuasa-Nya.

Untuk teman2ku sesama pemimpi. Jangan pernah berhenti bermimpi, karena dengan mimpi itu mengajak kita terus bergerak. Nothing is impossible, karena kita mempunyai Tuhan yang Maha Berkuasa atas segala sesuatu. Dan kita hanya perlu berusaha, berdoa, dan tawakkal untuk mendapat yang terbaik. Percayalah, bahwa kita bisa meraih mimpi itu dengan kedua tangan kita, seperti Rasululloh saw yakin dengan mimpinya bahwa umat Islam dapat menaklukkan bangsa Romawi dan kota Mekkah.

Jadilah hamba Alloh yang dinamis, hilangkan segala bentuk pesimistis, pikiran negatif, dan selalu berpikir positif. Sungguh Alloh akan mengikuti prasangka2 kita, segala seuatu mengikuti pikiran kita. Bisa jadi apa yang terjadi pada diri kita merupakan hasil dari apa2 yang kita pikirkan.

Bermimpilah saudaraku, karena kita hidup memang butuh bermimpi, dengan mimpi kita dapat mengarahkan hidup kita menjadi lebih baik. Karena pasti mimpi kita bukan lah mimpi yang biasa, mimpi kita haruslah mimpi yang mendorong kita untuk terus maju dan menjadi yang lebih baik dan terbaik.

Gerak..bergerak...gerak...bergerak....(jadi ingat lirik lagu IZZIS :) )

NB: terinspirasi dari kata "shinwa" yang hari ini baru kuketahui tafsirnya, subhanalloh...sungguh temanku mimpi yang baik datang dari Alloh, dan segala yang datang dari Alloh itu benar, just keep Him, always

Dua Kumbang Dua Mawar

Ketika Aku Memilih


Tangannya terus bergerak. Menumpuk bulatan-bulatan buah berwarna orange. Tinggi dan semakin tinggi.
Sebelas hari, tak ada SMS dari Rara, wanita yang dua bulan terakhir ini sering mengisi hari-harinya, meski hanya sekedar kata-kata bijak, cerita hikmah dari keseharian Rara, atau mengajaknya berdiskusi.

“Mas Oka, jaga kesehatan ya..., biar gak KO oleh virus-virus yang banyak beterbangan di udara...” Itulah SMS terakhir dari Rara. SMS gak penting. Dan kubiarkan saja. Tak kugubris. Tapi, ada yang aneh? Apa dia....

“Hei Ka! Sampe kapan numpuk tu jeruk?” Tiba-tiba seseorang menepuk pundak Oka. Membuat Oka terlonjak, dan tumpukan jeruk setinggi tiga puluh sentimeter, runtuh tersenggol tangannya.

“Aduh, Agus, ngagetin aja!”

“Lha kamu, aneh gitu. Numpuk jeruk kok tinggi banget. Kerja atau nglamun, ha!”

“Ada masalah?”, lanjut Agus.

“Gak!”

“Eh Ka. Matamu itu lho, gak bisa bohong! Ada yang dipikir?”

“Kangen rumah? Mau cuti pulang ke Jakarta? Gak pa-pa Ka. Kamu dah enam bulan kan gak ambil libur?”, sambung Agus lagi.

Thanks Gus. Bener. Aku gak kangen rumah.”

“Trus kenapa, Be Te gitu? Atau kamu kangen ama cewekmu itu?”

“Itu, si Vivi, yang sering makan siang bareng kamu!”, goda Agus.

Hh, ternyata Agus memperhatikanku juga. Emang, akhir-akhir ini aku dekat dengan Vivi. Gadis Jogja yang manis, tapi agak agresif. Berbeda sekali dengan Rara. Meski Rara sering SMS, aku belum pernah mendengar suaranya di telepon. Si Vivi, bisa tiga sampai empat kali meneleponku dalam sehari. Bahkan, pernah, seenaknya dia menyabet HP ketika aku sedang membaca SMS. Entah apa yang ia lakukan. Kubiarkan saja. Toh, tidak ada yang penting. Kebanyakan, SMS-SMS supplier.

“Ka, nglamun lagi ya!”, teriak Agus.

“Eh, sorry Gus. Ada yang lewat!”

“Sama aja tu dengan nglamun tau!”

“Oya Ka, temen-temen ngajak touring tu? Ikutan gak kamu!”, ajak Agus.

“Boleh, ke mana Gus?”

“Depok!”

“Kapan perginya?”

“Besok, habis Subuh? Gimana, gabung?”

“Yups”

Astaghfirullah, aku ada janji dengan supplier! Gus, aku pergi ya! Telat ni!”, sambung Oka agak panik.

“Ya, sana pergi! Cepetan!”

Agus memperhatikan Oka yang berlari meninggalkannya. Oka, Oka. Ada apa denganmu? Tidak seperti biasa. Satu tahun bekerja denganmu, aku bisa mengenalmu dengan baik. Sebesar apapun masalah yang kamu hadapi, kamu tidak pernah ling-lung seperti ini. Apa kamu sedang jatuh cinta? Tapi, dengan siapa? Kalau dengan Vivi, jelas tak mungkin. Hampir setiap hari kamu ketemu dia. So, kamu gak bakalan ling-lung. Lalu, dengan siapa? Ah, nanti, si Oka pasti cerita. Tunggu tanggal mainnya saja.

**

Rara sibuk menekuni Textbook Organizational Behavior-nya. Dua jam, textbook itu di depannya, tetapi, kedua matanya belum juga jengah. Tak heran bila kaca mata menghias wajah manisnya. Di tengah asyik mewarnai point-point penting di textbook, tiba-tiba, HP Rara bergetar, ada SMS masuk. Dan Rara langsung membacanya.

“Ini siapa ya? Kok sms-sms Oka?”

Ehm, siapa nih orang? Tiba-tiba menginterograsi! Nggak sopan banget! Meski tidak suka dengan isi SMS itu, Rara tetap memberi balasan.

“Lho, ini siapa? Aku temennya mas Oka!”

Rara mengirim SMS pada nomor yang tidak dikenal. Tak lama, ada balasan lagi. Dan mereka terlibat dalam percakapan singkat melalui SMS.

“Aku Vivi. Ceweknya Oka. Oya, situ sering ya sms Oka?”

“Lumayan”

“Eh, kasih tau dong, Oka tu gimana seh orangnya?”

“Lho, situ kan ceweknya, kenapa tanya aku?”

“Oka rada tertutup. Eh, kira-kira, ada gak orang lain yang disuka Oka? Akhir-akhir ini, dia sering melamun.”

Membaca SMS terakhir itu, Rara mematung. Dia tak sanggup lagi melanjutkan percakapan dengan orang yang mengaku sebagai pacarnya Oka. Hatinya gerimis. SMS tak penting. Dan tak perlu ditanggapi.

Tiga bulan yang lalu, Rara berkenalan dengan Oka, melalui Onik, teman Rara kuliah-S2 di Unair. Onik ini adalah adek sepupu dari Oka. Bagi Rara, yang mempunyai pemahaman cukup baik tentang Islam, ia menginginkan perkenalannya dengan Oka bukan sekedar perkenalan. Tetapi, dalam rangka ta’aruf menuju jenjang pernikahan. Karena, bagi Rara, tidak ada kamus pacaran.

SMS dari Vivi ini lah yang membuat Rara berpikir ulang tentang Oka. Keseriusan Oka ber-ta’aruf dengannya. Rara seperti diduakan. Tetapi, Rara sadar, Oka, sebagai laki-laki, mempunyai hak pilih. Memilih siapa saja, wanita yang pantas menjadi istrinya. Dan membawa Rara dalam resah tak berujung.

**

“Ka, ayo turun!”

“Klik”, Agus segera menutup HP. Sepuluh menit, ia menunggu Oka. Selama itu pula, matanya terus mengawasi pintu bagasi rumah-kos Oka. Berharap, Oka segera keluar.

Lima menit kemudian, pintu bagasi bergerak. Terbuka perlahan. Dan Oka keluar menuntun Tiger-nya.

Sorry guys. Ada gangguan kecil tadi.”, ucap Oka dengan wajah tanpa dosa.

“Pasti ketiduran lagi!”, seloroh Agus.

“Ha.. ha.., tau aja Gus! Yok, berangkat!”

Sekelompok laki-laki, sekitar tujuh orang, bersamaan menghidupkan motor dan mengajaknya berlari meninggalkan rumah-kos Oka di Jalan Kaliurang. Mereka terus berlari ke selatan, ke arah Bantul.

Empat puluh menit, Oka dan keenam orang lainya telah berada di areal parkir pantai Depok. Tak lama setelah memarkir motor, mereka berjalan menuju pantai. Beberapa dari mereka ada yang memilih berjalan atau berlari kecil sepanjang pantai dengan bertelanjang kaki. Bahkan, ada seorang yang hanya duduk tak jauh dari garis pantai dengan tatapan lurus ke arah laut lepas. Beberapa kali air laut merendam kedua kakinya ketika ombak menghempaskan diri di garis pantai dan menyisakan ribuan buih putih. Tapi, sepertinya ia tak peduli.    

Tak lama, laki-laki itu berdiri dan terus bergerak ke tengah, hingga air laut setinggi lututnya. Badannya membungkuk, menenggelamkan kedua tangannya di air, dan membisikkan sesuatu.

Tiba-tiba, tubuh itu limbung tertepa ombak yang cukup kuat. Sebelum terseret ombak, dengan sigap seseorang yang terus memperhatikannya menyeret tubuh itu ke tepi. Seseorang itu adalah Agus.

“Gila kamu Ka, mau bunuh diri!”

“Gak, aku berdoa!”

“Ngawur, berdoa ya berdoa, tapi gak gitu caranya!”

Laki-laki itu, yang ternyata Oka, terdiam.

“Ka?”

“Aku gak pa-pa Gus!”

Oka berjalan menuju parkir, menghidupkan motor, dan melaju keluar Depok.

“Ka, tunggu...!”, Agus berteriak, tetapi, Oka telus melarikan motornya.

Agus segera menyusul Oka. Melarikan motornya dengan kecepatan yang ia sanggup. Namun, Agus tidak menemukan jejak Oka. Oka, ada apa denganmu? Sambil terus berpikir, Agus berbalik arah kembali ke pantai Depok dan bergabung dengan yang lain.

**

“Ra, ada laki-laki yang baik sedang cari pendamping. Kamu mau gak?”

“Mbak Li, dia tajir gak?” Rara menatap wanita yang ia panggil mbak Li, kakak tingkatnya di S2.

“Kamu serius Ra, cari laki-laki tajir? Gak takut dibilang matre?”

“Kenapa mesti takut Mbak? Emang Rara butuh uang banyak kok! Kalo gak tajir, bakal kesusahan tu jadi suaminya Rara.”

“Mbak kan tau, Rara dah gak kerja lagi. Agenda kuliah padat, gak memungkinkan Rara kerja sambilan. Honor menulis pun, tidak seberapa. Paling, bisa bantu Rara beli buku. Ndak mungkin kan Mbak, Rara merepotkan ortu ketika Rara dah menikah!”, bela Rara.

“Iya, mbak ngerti kok!”

“Lalu?”

“Apa?”

“Lakinya Mbak, jadi gak ditawarkan ke Rara?”

“Eh, iya, ini biodatanya. Jangan khawatir. Ia dah mapan dan kerja di depkeu, cukup lah untuk membiayai hidup dan sekolahmu!”, ucap mbak Li sambil menyodorkan amplop coklat berukuran kertas A4.

Rara meraih amplop yang disodorkan mbak Li. Membukanya perlahan. Dan mulai membaca. Ehm, laki-laki yang baik. Prestasi dan pengalaman organisasi, cukup baik. Gimana ya? Mas Oka tidak jelas. Tiga minggu aku tidak menghubunginya, dia juga tidak menghubungiku. Mungkin, lebih baik aku ber-ta’aruf dengan laki-laki ini. Bila mas Oka mempunyai beberapa pilihan, kenapa aku tidak? Bila mas Oka memilih perempuan lain, pasti aku gigit jari!

“Gimana Ra?”

“Ehm, Mbak, Rara shalat dulu ya?”

Okay, kalau positif, kasih tau mbak ya?”

Okay Mbak, don’t worry!”

**

Oka memperpanjang doa. Ya Allah, tunjukkanlah kepadaku, pilihan yang terbaik. Selesai berdoa, Oka menyapukan kedua tangan ke wajah, dan mengesat butiran bening di sudut mata.

“Mas!”

Mendengar sapaan, Oka menengok ke samping kanan. Seorang bapak, berwajah teduh dan bersih, mengulurkan tangan kepadanya, mengajak berjabat tangan. Oka pun menyambut dengan hangat.

“Ada masalah?”

“Iya Pak, dan cukup menguras energi saya!”, ucap Oka.

“Ada yang bisa bapak bantu?”

“Sebenarnya masalah pribadi. Saya bingung memilih. Ada dua wanita. Yang pertama, selalu ada di dekat saya, memberi perhatian setiap saat. Yang kedua, nun jauh di Surabaya,  otomatis, interaksi dan perhatian tidak seintens yang di sini. Tetapi, saya tidak bisa terlepas dari wanita yang kedua. Meski dia jauh, bayangnya tak terusir, walau ada wanita pertama di dekat saya!”, Oka menceritakan uneg-uneg hatinya. Ada sesuatu yang menggerakkan hati Oka, hingga bercerita tentang masalahnya. Ini lah, kali pertama Oka bercerita. Kepada Agus, teman terdekatnya, tidak dilakukan.

“Shalatlah istikharah! Insya Allah, Allah akan memberi pilihan yang tak kan membuatmu menyesal!”

Oka terdiam.

“Pernah shalat?”

“Belum Pak!”

“Maka, shalatlah! Memohon petunjuk-Nya! Jangan pernah menyepelekan! Hati manusia itu labil, dan ia butuh penguat dari Yang Maha Kuat!” Mendengar kalimat terakhir dari bapak itu, Oka tersentak. Selama ini, Oka mengandalkan logika. Berusaha mengumpulkan poin-poin dari Vivi dan Rara, siapa yang memiliki poin tertinggi, maka, ia lah yang akan Oka pilih. Oka terlupa meminta petunjuk khusus dari Penciptanya, walau Oka tak terlupa berdoa setiap selesai shalat.

“Terima kasih Pak, saya akan....”, Oka tidak melanjutkan kata-kata, karena bapak itu tak lagi di sampingnya. Oh, bukannya tadi si Agus yang shalat di sampingku? Lalu, siapa bapak tadi? Malaikatkah? Kalau setan, tidak mungkin menyarankan shalat. Ya Allah, terima kasih, dan maafkanlah kealpaanku.

Oka bangkit dari duduk. Melangkah keluar mushola. Oka melihat Agus duduk santai di serambi mushola. Oka pun duduk di samping Agus dan mulai mengenakan sepatu.

“Lama banget Ka?”

“Iya, tadi ngobrol dengan bapak-bapak! Kamu lihat gak, ada bapak yang keluar? Aku belum sempat berterima kasih!”

“Bapak-bapak? Gak ada yang keluar Ka! Sejak selesai shalat, ya kamu aja yang ada di mushola!”, Agus menatap Oka heran.

“Yang bener Gus?”

Swear!”

“Oh ya, tadi aku sempat ngliat kamu komat-kamit sendiri. Pikirku sih lagi dzikir!”, lanjut Agus.

“Jadi bener dong Gus, aku ngobrol dengan makhluk ghaib! Soalnya, tadi kan kamu yang di sampingku, aku sempat heran, kok bisa berganti dengan bapak-bapak ya!”

“Bersyukurlah Ka, lagian, ia baik kan?”

“Iya, ia bantu aku nyelesaiin masalah!”

“Masalah? Boleh tau? Akhir-akhir ini, kamu aneh Ka! Pokoknya, perilakumu, tidak seperti biasa!”

“Maaf Gus!”, ucap Oka sambil berdiri. Dan beranjak meninggalkan mushola.

“Tunggu Ka, kamu jangan bikin penasaran dong!”, Agus setengah berlari menyusul Oka.

 “Udah lah Gus!”

“Aku gak boleh tau Ka?”

Okay deh, masalah wanita!”

“Kamu jatuh cinta?”

“Mungkin!”

“Sama Vivi?”

“Bukan!”

“Ka, serius! Cewek yang deket sama kamu kan si Vivi!”

“Itulah Gus, aku bingung. Tidak hanya Vivi, ada yang lain, dan kamu belum tau. Tapi, dah ada penyelesaian. Aku akan shalat, minta petunjuk Allah, so, kamu gak usah khawatir! Okay!”, ucap Oka sambil menepuk bahu kanan Agus.

Okay deh Ka”, Agus pun menepuk bahu kiri Oka, tanda bahwa Agus percaya pada temannya itu.

**

“Rara, hari Minggu ini, aku ingin bertemu denganmu. Insya Allah aku ke Surabaya!”

Rara membaca SMS dari Oka tidak percaya. Mas Oka akan ke Surabaya? Khusus bertemu denganku! Ada apa? Pentingkah? Rara berusaha meraba, arti kedatangan Oka. Tetapi, otak Rara tidak lah sanggup mengetahui hal yang masih ghaib.

“Mas Oka, ke Surabaya naik apa? Kereta, bus, atau pesawat?”, balas Rara.

Tak lama, ada balasan dari Oka.

Insya Allah pesawat, menghemat waktu.”

Rara memberi balasan lagi.

“Mas Oka pernah ke Surabaya gak? Apa perlu Rara jemput?”

Oka pun membalas lagi.

“Belum pernah. Boleh, pesawatku jam delapan pagi dari Jogja. Thanks.”

Okay Mas, insya Allah, nanti Rara jemput. See you...”, balasan terakhir Rara. Setelah itu, percakapan mereka berakhir.

**

Dua jam, Rara duduk di ruang tunggu. Bila mas Oka berangkat jam delapan, seharusnya sudah tiba sejak tadi. Atau keberangkatan pesawatnya di-delay? Mas Oka kok gak memberi tahu? Rara melirik jam tangannya, menunjukkan pukul 10.30 waktu Surabaya. Akhirnya, Rara memberanikan diri meng-SMS Oka.

“Mas Oka, apa pesawatnya di-delay? Kok belum sampai?”

Setelah sepuluh menit mengirim SMS, report pengiriman belum ada. Yah, ditunda. Berarti, mas Oka dah terbang ni! Rara terlihat lega.

Tepat pukul 12.00, Rara mendengar, bagian informasi memberitahukan bahwa sepuluh menit lagi, pesawat yang ditumpangi Oka akan landing. Ehm, kok berdebar? Aduh Rara, tenang dong! Untuk menenangkan diri, Rara menarik napas panjang, kemudian menghembuskannya kembali. Alhamdulillah, agak tenang. Rara mengusap-usap dadanya.

Rara mengamati rombongan orang-orang yang berdatangan. Rara mencari sosok Oka. Di kejauhan, ada seorang laki-laki melambaikan tangan pada Rara. Oh, itu mas Oka.

Assalamu’alaikum”, ucap Oka sambil menangkupkan kedua telapak tangan.

Wa’alaikumsalam”, Rara membalas salam dan melakukan hal yang sama seperti Oka.

“Apa kabar Ra?”

Alhamdulillah, baik Mas.”

“Oya, kita langsung aja ya Mas?”, ajak Rara.

Oka hanya menganggukkan kepala. Mereka pun segera berjalan menuju pintu keluar.

“Eh, Mas, itu ada taksi!”, dengan setengah berlari, Rara melambaikan tangan ke arah taksi yang baru saja menurunkan penumpang.

“Aduh Ra, gak usah berlari kenapa?”, tegur Oka.

“Tar dipake orang Mas! So, mesti cepet-cepet!”

Oka dan Rara masuk ke dalam taksi secara bersamaan. Oka duduk di depan, di samping sopir. Dan Rara duduk di belakang.

“Kemana Mbak?”, tanya sopir taksi.

“Surabaya Pak!”, jawab Rara.

Taksi pun meluncur menjauhi bandara. Menuju arah kota Surabaya.

“Mas Oka, tumben libur? Kata Onik, Mas kan gak pernah ambil libur?”, tanya Rara.

“Kan demi kamu Ra!”, ucap Oka singkat.

Mendengar jawaban Oka, wajah Rara bersemu merah. Ada yang berdesir halus di dada Rara. Rara tersanjung.

“Oya Ra, kok sendirian?”, tanya Oka.

“Eh, iya Mas, temen-temen Rara gak ada yang bisa nemenin!”, jawab Rara.

“Mas Oka mau diajak kemana?”, sambung Rara.

“Terserah Rara aja! Lagian, aku gak lama kok, jam tiga sore mesti balik ke Jogja!”, timpal Oka.

Rara setengah percaya, laki-laki di depannya, rela membayar tiket pesawat PP Yogyakarta-Surabaya, hanya untuk tiga jam di Surabaya. Mas Oka memang gila!

“Kalo gitu, kita ke Cito aja ya Mas? Kita makan di sana. Tar, kalo Mas balik ke bandara, gak terlalu jauh.”, ide Rara.

“Boleh, aku juga dah lapar neh!”, sambut Oka.

“Pak, ke Cito aja ya?”, pinta Rara ke sopir taksi.

“Iya Mbak”, jawab sopir taksi.

Tidak lebih dua puluh menit, taksi telah memasuki areal Cito atau City of Tomorrow. Sebuah hunian modern di daerah gerbang masuk Surabaya. Taksi berhenti tepat di depan pintu masuk utama Cito. Setelah membayar ongkos taksi, Oka dan Rara keluar dari taksi, dan langsung masuk ke Cito.

“Wah, keren juga nih Ra! Tak lama lagi, Surabaya pasti dah nyamain Jakarta!”

Mendengar komentar Oka, Rara hanya tersenyum.

“Mas mau makan apa?”

Sea food aja ya Ra!”

Okay deh!”

Oka dan Rara segera mencari resto sea food. Akhirnya, mereka memilih sebuah resto terkenal. Tak lama mereka duduk di dalam resto, seorang waitress menghampiri dan menyodorkan menu makanan. Untuk beberapa saat, Oka dan Rara memilih menu, kemudian menuliskannya di kertas pesanan dan memberikannya kembali ke waitress.

Selama menunggu makanan, hening melingkupi mereka sesaat. Tetapi, Oka segera mencairkan suasa.

“Ra, aku ingin menyampaikan sesuatu!”

“Ya?”

Rara menunggu kata-kata selanjutnya terucap dari bibir Oka. Rara memperhatikan Oka serius. Sementara itu, Oka sekuat tenaga melawan nervous, dadanya berdebar kencang, keringat dingin mulai membasahi bajunya. Dengan sedikit gemetar, Oka merogoh sesuatu dari saku celana, dan menggerakkan bibir.

“E..., Ra, kamu...” Oka tidak melanjutkan kata-kata. Apa yang dilakukan Oka, membuat Rara semakin penasaran.

“Apa Mas?”

“Ee..., Rara..., would you marry me?” Oh, akhirnya, terucap juga! Oka mengucapkan sesuatu yang membuat jiwa Rara terlonjak, melambung ke atas, dan semakin ke atas. Sesaat, Rara seperti di awang-awang. Oh, mas Oka. Ini yang Rara tunggu-tunggu dari mas Oka.

“Ra..!”, panggil Oka sambil menyodorkan sebuah kotak kecil ke depan Rara.

“Eh, iya Mas!” Rara tersadar.

“Ini apa Mas?”, tanya Rara heran, melihat kotak kecil di hadapannya.

“Buka aja!” Rara membuka kotak itu perlahan. Setelah melihat isinya, Rara melotot.

“Mas, ini kan mahal!”

“Hadiah untukmu!”

“Rara gak bisa menerimanya!”

“Cincin ini pasti sebagai ikatan. Rara belum bisa jawab Mas. Rara mesti istikharah dulu, jadi, Rara gak bisa menerima barang ini!”, Rara menyodorkan kembali kotak itu ke arah Oka. Rara ingat, lima hari yang lalu, Rara menerima biodata laki-laki yang akan ber-ta’aruf dengannya. Dengan kedatangan lamaran Oka, Rara harus memilih, manakah yang terbaik? Mas Oka, maaf, meski Rara sangat tersanjung, Rara belum bisa menyambut pinangan mas. Rara harus adil. Rara tidak boleh mendzalimi laki-laki itu....

Gelisah menyergap hati Oka, jawaban yang meluncur dari mulut Rara, di luar dugaannya.

“Ini hadiah untuk Rara!”, Oka menyodorkan kembali kotak itu ke arah Rara.

“Tapi Mas...”

“Rara, hari ini, kamu ulang tahun kan! Anggap saja, ini hadiah ulang tahun! Okay!”

Sekali lagi, Rara tersanjung dengan perkataan Oka. Membuat jiwa Rara melayang-layang. Hadiah Ultah. Gak pa-pa sih. Tapi, ini terlalu mahal...., tapi, bila ada rizki, kan tidak boleh ditolak!

“Iya deh, Rara trima, tapi, lain kali, hadiahnya jangan mahal-mahal ya Mas!”

“Nah, gitu dong. Coba dipake!”

Rara membuka kotak kecil itu. Tangan Rara mengambil sebuah cincin, terbuat dari emas putih, berhias tiga buah permata di tengahnya, kemudian memasangkannya di jari manis. Subhanallah, pas di jariku. Jari-putih Rara, terlihat semakin cantik dengan sebuah cincin melingkar di jari manis. Melihat Rara memakai cincin pemberiannya, Oka tersenyum bahagia.

“Permisi Pak, Bu, ini pesanannya”, ucap waitress.

Melihat makanan terhidang, Oka dan Rara segera menikmati. Tak terasa, waktu membawa mereka ke pukul 14.00. Setelah makan, dan membayar semua makanan, Oka pun segera meluncur ke bandara. Dan Rara, melepas Oka dengan berat hati. Oka telah berhasil membawa sebagian jiwa Rara, yang akan mengikuti Oka kemana pun Oka pergi, hanya saja, Rara belum menyadarinya.

**

“Ra, ini pemberian kakak!”

“Apa ini Nik?”, tanya Rara pada Onik.

“Ini mukena Ra, dari kak Oka!” Mendengar apa yang disampaikan Onik, mata Rara berbinar-binar. Oka memberinya sepasang mukena cantik.

“Tiit..tiit..tiit....” Rara terkejut dengan suara alarm. Oh, masya Allah, hanya mimpi. Rara melirik jam meja, pukul tiga pagi. Aku bermimpi diberi sepasang mukena oleh mas Oka. Apa artinya? Apa itu petunjuk Allah? Bahwa mas Oka lah yang terbaik? Rara tak ingin meraba-raba, ia segera bangkit, mengambil air wudhu, dan menunaikan shalat. Memohon petunjuk dari Yang Maha Tahu.

**

“Ra, bagaimana hasilnya?”

“Iya Mas Oka!”

“Iya apa Ra?”

“Iya, Rara mau menjadi istri Mas Oka!” Rara berucap dengan menunduk.

Subhanallah, terima kasih ya Ra, mau menjadi istriku!”

“Rara juga, terima kasih, Mas Oka mau menjadi suami Rara!”

Oka dan Rara, masing-masing, menikmati gelombang kebahagiaan di hati mereka. Yang akan melabuhkan bahtera di dermaga keridhoan, ridho Tuhannya. Di Surabaya, Rara menutup telepon dengan penuh harap, semoga Allah melancarkan pernikahannya dengan Oka. Begitu pun di Yogyakarta, Oka berdoa, berharap, ia dapat membahagiakan Rara, dunia dan akhirat.

**Selesai**

Sabtu, 25 Desember 2010

TopengKacaKu: Enchanted

Cintaku Tak Menuntut, Pak Masumi!


Kisah ini berawal dari kepulangan  Maya dan Masumi dari kencan tak berencana di kapal Astoria....

“Terima kasih Pak Masumi...”


Maya menatap wajah Masumi dan menghadiahinya sebuah senyum lembut sebelum membalik badan dan menggerakkan tangan meraih panel pintu mobil.
 
“Tunggu, Mungil!!”, cegah Masumi sambil memegang bahu kanan Maya.


Suara Masumi mencegah Maya menggerakkan tangannya yang memegang panel pintu dan mengarahkan pandangannya kepada Masumi kembali.

Terima kasih, aku tidak akan pernah melupakan peristiwa tadi malam”, ucap Masumi. 

Masumi menatap Maya lekat. Perlahan, Masumi bergerak maju dan mendekatkan wajahnya ke wajah Maya. Tindakan Masumi yang spontan menyebabkan Maya bergerak mundur tetapi badannya tertahan di pojok mobil. Maya tak berkutik. Pak Masumi, apa yang akan kamu lakukan? Saat wajah Masumi dan wajah Maya hanya berjarak 1 inchi, masumi mengalihkan gerakan dan membisikkan “Aku mencintaimu Maya” di telinga Maya.


Bisikan cinta Masumi menghipnotis Maya hingga menggerakkan bibirnya ke arah telinga  Masumi. Namun, Masumi menarik wajahnya lebih cepat daripada gerakan Maya hingga bibir Maya hanya membentur ruang kosong. Aduuh, pak Masumi!

Maya tersipu, menyadari tujuannya tak tercapai. Tanpa komando, tangan Maya yang memegang panel pintu mobil tergerak dan pintu pun terbuka. Tidak lebih satu menit, Maya telah berlari menuju apartemen tanpa menoleh, tak menginginkan Masumi melihat wajah nya yang merona.  

Sesungging senyum tulus dan rona kebahagiaan menghiasi wajah Masumi. Ia mengamati Maya hingga hilang di balik pintu apartemen. Sementara itu, supir Masumi dilingkupi keterpanaan. Ia tidak mempercayai apa yang telah didengar dan dilihat dari kaca spion mobil. Tuan Masumi? Ia tak pernah melihat adegan ajaib seperti itu. Tuan Masumi berkhianat?

“Kenapa bengong?”, tanya Masumi pada supirnya.

“Eh”

“Ayo kita pulang!”, perintah Masumi.

“Iya, Tuan”

Supir Masumi menancap pedal gas dan mobil pun melaju menjauh dari aparteman Maya. Rasa penasaran mulai mengusiknya. Ada keinginan untuk mengkonfirmasi peristiwa menakjubkan yang baru saja terjadi, tetapi keberaniannya terkalahkan oleh kegugupan. Suasana pun seperti hari-hari biasa, diam.

“Boleh aku minta tolong?”, ucap Masumi memecah keheningan.

“Minta tolong, Tuan?”

“Iya”

“Apa, Tuan?”

“Tolong rahasiakan dulu kejadian tadi”

“Hah?”, Supir Masumi bingung, “Kejadian yang mana, Tuan?”

“Apa yang kamu dengar dan lihat, antara aku dan gadis tadi”, ucap Masumi berwibawa.

“oh, itu, iya, Tuan”, sambut supir Masumi dengan menganggukkan kepalanya.

“Terima kasih” Ucap Masumi singkat.

***
Maya berdiri di depan pintu kamar. Kedua tangannya bersilang tepat di dada merasakan jantungnya yang masih berdetak cepat.

“Fiuuhh”, desah Maya, “Jantungku seperti mau copot, oh Pak Masumi”, bisik Maya lagi sambil tersenyum.

Tiba-tiba, pintu kamar itu berbuka,

“Aaaaa!!!!”

Rei yang membuka pintu menjerit kaget melihat makhluk mungil di depannya.

“Kamu?”, ucap Rei dengan mata tak lepas mengamati Maya, “Kamu, Maya?”, ucap Rei lagi.

“Iya, Rei, ini aku. Kenapa?”

Mata Rei tak berkedip.

“Kamu, benar-benar Maya?”, ucap Rei lagi tak percaya.

“Ya, iya lah, ini aku Rei”, timpal Maya sebal.

“Ya ampun, Mayaaa” Rei menarik Maya masuk ke dalam kamar dan mendudukkannya di tengah ruangan.

“Kamu dipermak siapa Maya? Semalaman gak pulang. Pulang-pulang bak putri salah pulang!”, omel Rei tanpa mengalihkan pandangan dari Maya.

Maya balas menatap Rei,

“Jangan melihatku seperti itu!”, protes Maya.

“Kamu, tidak seperti biasa. Siapa yang mendadanimu?”


“Kamu gak suka ya, aku seperti ini?”, keluh Maya kesal sambil berdiri dan melangkah ke kamar mandi. Maya membasuh mukanya dengan air.

“Bukan begitu, Maya”

“Lalu?”

Maya berjalan menuju Rei dan duduk kembali berhadapan dengan Rei. Maya mengeringkan wajahnya yang basah dengan handuk.

“Aku khawatir Maya, semalaman kamu gak pulang. Aku telepon ke studio, katanya kamu ke kapal pesiar”

Mendengar penjelasan Rei, ekspresi Maya berubah sesal,

“Iya, maaf Rei”

“Tapi syukurlah, kamu tidak apa-apa”, ucap Rei dengan tersenyum.

***

“Ini dokumen yang Anda minta, Pak Masumi”, Mizuki meletakkan sebendel dokumen di meja Masumi.

“Oh, terima kasih, Mizuki”

Masumi segera membaca dokumen itu dengan seksama. Tiba-tiba, ia meletakkan dokumen yang dipegangnya ke meja.

“Mizuki, ada yang ingin kau sampaikan?”, tanya Masumi dengan raut muka tidak suka.  Keberadaan Mizuki mengalihkan konsentrasi Masumi.

“Saya mendengar, Anda berkencan dengan Maya tadi malam”

Masumi terbelalak, 

“Dari mana kamu tahu?”


“Ada kenalan saya yang melihat Anda semalam”

“Ehm, banyak sekali kenalanmu”, Masumi tak peduli dan kembali membaca dokumennya yang tertunda.

“Pak, posisi Anda sekarang sedang bertunangan dengan nona Shiori Takamiya”

“Lalu kenapa, tak ada yang salah kan?”

“Jelas ada yang salah! Bila ada wartawan yang tahu, posisi Anda sebagai direktur Daito akan tercemar, didukung dengan keadaan Anda yang sudah bertunangan dengan Shiori”, urai Mizuki dengan nada khawatir.

“Shiori yang mengundangku ke Astoria, tapi ia tak datang, dan aku bertemu Maya”, bela Masumi.

“jadi...”

“Jangan khawatir Mizuki, bila ada wartawan, dan perlu konfirmasiku...”, Masumi tidak melanjutkan ucapannya. Tiba-tiba, ia meletakkan dokumen yang dipegangnya dan menerawang.

“Tidak ada yang mengira bahwa kami sedang berkencan, walau sebenarnya kami memang sedang berkencan”, sambung Masumi dengan tersenyum. Gurat-gurat kebahagiaan tergambar jelas di wajahnya. 

“Pak Masumi?!”, gumam Mizuki yang terus mengamati perubahan ekspresi Masumi.

Ini lah kali pertama Mizuki melihat raut muka bahagia di wajah Masumi setelah pertunangannya dengan Shiori.

***


“Apa pak Matsukura Ada?”, tanya seorang lelaki baya penuh kharisma.

“Ada Tuan, silakan”, sambut seorang pelayan dan membawa laki-laki itu ke ruang tamu, kemudian mempersilakannya duduk.

“Saya akan menyampaikan kedatangan Anda pada tuan Matsukura”, ucap pelayan lagi yang disambut anggukan kepala laki-laki itu.

Tak lama setelah laki-laki itu duduk, seorang wanita menuju ke arahnya,

“Selamat siang”, ucapnyasambil membungkukkan badan.

“Selamat siang”, laki-laki itu berdiri dan melakukan hal sama.

“Maaf Paman, kakek masih ada perlu, saya diminta menemani Anda”

“Oh, tidak apa-apa”, sambut orang itu dengan raut muka tanpa kecewa, “Ehm, kamu, Shiori ya, cucu Pak Matsukura yang sekarang bertunangan dengan Masumi Hayami dari Daito?”, tanyanya lagi.


“Benar”

“Ehm, tadi malam aku melihat Masumi Hayami di kapal Astoria”

“Oh ya?!”, sahut Shiori antusias, “Kami memang berencana bertemu di kapal itu, tapi saya terjebak macet”, ucap Shiori penuh sesal.

“Apa Paman bertemu dengan Masumi?”, tanya Shiori lagi. 

Shiori semakin antusias. Waah, aku bisa tahu apa yang dilakukan Masumi di sana. Shiori tersenyum senang.

“Tidak, aku hanya melihatnya sebentar”

“Tapi, aku melihat ia bersama seorang gadis”, lanjut laki-laki itu lagi.

“Hah, seorang gadis?”, Shiori terkejut. 

Ekspresi Shiori berubah curiga, bagaimana mungkin Masumi bersama seorangn gadis?

“Iya, seorang gadis cantik, bahkan mereka berdua berdansa yang membuat kami semua yang ada di sana terpesona”

“Gadis cantik? Berdansa?”, kecurigaan Shiori semakin dalam.

“Yah, cantik sekali”, ucap laki-laki itu dengan sorot mata takjub seolah mengingat keterpesonaannya semalam.

Apa karena itu masumi tidak meneleponku? Dia selalu begitu. Dia seakan tidak pernah ingin tahu bagaimana keadaanku. Raut muka Shiori terlihat kaku sekaligus sedih.

“Waduh, pak Yukiro, maaf lama menunggu, bagaimana kabar Anda?”, tiba-tiba seorang laki-laki yang tak lain adalah kakek Shiori datang dan langsung menyalami laki-laki itu. Mereka bersalaman dengan erat.

“Shiori, terima kasih, sudah menemani pak Yukiro!”, ucap pak Matsukura pada Shiori.

“Tidak apa Kek, aku masuk sekarang ya”, jawab Shiori.

Shiori bangkit dari duduknya. Sebelum pergi, ia menundukkan kepala pada kakeknya dan pak Yukiro. Shiori membalikkan badan dan berjalan menuju kamarnya.

“Aku tidak akan pernah memberikan Masumi pada siapapun!”, tekad Shiori dengan raut muka mengeras.

***


“Aku rindu pak Masumi, sedang apa ya dia...”, gumam Maya. Ia kembali memutar kenangannya bersama Masumi Hayami di kapal Astoria.

“Kau terlihat cantik dengan segala aksesoris yang berwarna ungu ini”, puji Masumi dengan mata tak berkedip menatap Maya.

Mendengar pujian Masumi, wajah Maya memanas. Refleks ia menunduk, menyembunyilan semburat merah di wajahnya.

“Semua warna ungu ini mengingatkanku pada Mawar Ungu”, bisik Maya.

“Ya?”, tanpa sadar Masumi merespon bisikan Maya. Maya pun langsung mendongakkan wajah, menatap Masumi dengan mata berbinar.

“Apakah Anda tahu Pak, mawar ungu adalah orang terpenting dalam hidupku?”

“Aku tahu, kau pernah mengucapkannya padaku”, jawab Masumi, “Kudengar kau juga sangat mencintainya, benar?”, Masumi balik bertanya.

"Eh..?!"

Masumi menanti jawaban terucap dari bibir Maya dan pandangannya masih lekat terarah ke wajah Maya.

“Dari mana Anda tahu?”

Kekhawatiran hinggap di hati Maya. Bagaimana mungkin pak Masumi tahu bahwa aku mencintai mawar ungu? Dari siapa? tak banyak yang tahu tentang hal ini!
“Koji pernah bercerita padaku”

“Koji...?”, gumam Maya.

“Bagaimana kau bisa mencintainya, bukankah kau belum pernah bertemu dengannya?”, selidik Masumi.

“Aku jarang bertemu dengannya sejak ia bertunangan”

“Maksudmu?”

“Tapi sekarang aku bertemu dengannya”

“Maya...!”, Masumi menatap Maya curiga, “Kau...kau...?”, wajah Masumi mulai memucat.

Wajah Maya tidak kalah pucat. Jantungnya berdetak lebih cepat. Bagaimana ini? Baiknya gimana? Apa yang harus kulakukan?  Maya meremas jari-jarinya. Sesuatu sedang bergejolak dalam diri Maya. Keberanian dan kebimbangannya bergelut. Tak apa, aku akan mengatakannnya.
"Anda..., Anda, Mawar Ungu kan Pak Masumi?”, ucap Maya terbata dan menatap mata Masumi.

“Maya...!?”

Masumi membeku di depan Maya. Ia tak tahu harus menjawab apa. Kedua bibirnya terkunci rapat. Ia tidak menemukan kata yang tepat untuk mengingkari pernyataan Maya, karena semuanya adalah benar.

“Aku merasa, Anda lah belahan jiwaku Pak Masumi, Anda lah Isshinku”, aku Maya tanpa memalingkan wajah dari Masumi.

“Aku adalah dirimu yang satunya dan engkau adalah diriku yang satunya”, lanjut Maya.

Apa yang terucap dari bibir Maya memicu ledakan dahsyat di dada Masumi. Jantung Masumi memacu aliran darah dengan cepat ke seluruh pembuluh darah. Menyebarkan sinyal-sinyal kebahagiaan ke setiap organ tubuh. Tanpa terkecuali saraf otak, terutama saraf-saraf motorik, dengan cepat tercipta koneksi-koneksi synaps hingga mengkomando tangan Masumi membelai pipi Maya.

“Benarkah?!”, ucap Masumi tak percaya.

“Benar, pak Masumi”, Maya mengangguk pelan.

“Ohhh”, Masumi sedikit membungkukkan badan.

Masumi mengecup bibir Maya lembut. Cess. Hawa sejuk mengalir saat bibir Maya bersentuhan dengan bibir Masumi. Berawal dari ujung bibir, merambat dalam hitungan detik keseluruh tubuh Maya. Maya membeku seketika. Apa artinya ini pak Masumi? Kecupan Masumi, walau sekejap, mampu menyebarkan kesejukan hingga ke sudut-sudut tergelap hati Maya. Dan yang tersisa hanyalah kedamaian.

“Aku mencintaimu, Mungil”, ucap Masumi lembut.

“Maya, Maya!”

“Eh..oh...”, respon Maya terhadap guncangan seseorang di bahunya.

“Maya, kamu lagi apa, kenapa bengong, giliranmu!”, teriak orang itu lagi, “Cepat, sebelum pak Kuronuma marah!”

“oh, iya, iya”, sigap Maya berdiri dan berlari ke tengah ruangan.

***

Tak berbeda dengan maya, di ruang Direktur Daito, Masumi terngiang-ngiang ucapan maya. Anda adalah Isshinku, pak Masumi....

“Hhhhhhh”

Masumi menyentuh dadanya. Jantungnya berdetak kencang mengingat segala peristiwa semalam. Semua terasa mimpi. Segala hal yang kuanggap mimpi, sekarang menjadi nyata. Oh, Maya, aku mulai merindukanmu. Kau pasti sedang latihan, atau kau juga merindukanku?

“Masumi!”

“Eh”, Masumi terjaga dari lamunan.

“Kamu melamun ya?”

Masumi melihat Shiori berdiri di depan meja kerja dan menatapnya tajam.

“Beberapa kali aku mengetuk pintu, tapi tak kau jawab!”

“Hingga Mizuki memanggilmu pun, kau tak mendengar!”, keluh Shiori lagi.

“Maaf”

“Hanya itukah sambutanmu terhadap tunanganmu?”, tuntut Shiori.

Masumi terdiam.

“Masumi...”,  ucap Shiori dan berjalan mendekati Masumi yang masih bergeming di kursinya.

Tiba-tiba, sesuatu yang lembut menyentuh bibir Masumi, “Shiori, apa yang kamu lakukan?”, refleks Masumi mendorong tubuh Shiori hingga membentur sudut meja.

“Ah”, rintih Shiori, “Inikah responmu terhadap tunanganmu Masumi?”, ucap Shiori dengan wajah heran.

“Aku...” Masumi tak melanjutkan kata-katanya. Selama ini, ia selalu mampu mengontrol emosi dan perilakunya di depan Shiori. Tindakan yang dilakukannya beberapa detik lalu di luar kendalinya. Kenapa aku? Shiori melangkah mendekati Masumi. Melihat Shiori mendekat, refleks, Masumi berdiri siaga.

“Tidakkah kau mencintaiku?”, bisik Shiori sambil menyentuh wajah Masumi.

Masumi menurunkan tangan Shiori dari wajahnya. Tatapan tanpa ekspresi Masumi menusuk hati Shiori laksana pedang musim dingin dan menyebarkan kehampaan di setiap relungnya. Masumi...! Tanpa terbendung, air mata mengalir di pipi Shiori yang putih.

“Maaf, Shiori!”, ucap Masumi kaku.

Ucapan Masumi semakin memekatkan kehampaan yang dirasakan Shiori. Menciptakan kekosongan di hatinya.

“Tidak bisakah kau mencintaiku, Masumi?”, harap Shiori, “Apakah ada wanita lain yang kau cintai? Oh, aku ingat.... aku pernah melihat foto-foto maya di lokermu dan juga di villa keluargamu”, lanjut Shiori dengan air mata semakin deras.

Raut muka Masumi mengeras mendengar nama Maya terucap. Shiori....!  

“Kau mencintai gadis itu? Kau mencintai calon bidadari merah itu, Masumi?”, tanya Shiori cemas.

Masumi terdiam, sebelum akhirnya ia mengangguk,

“Iya..., sangat....”

Shiori membeku di tempatnya berdiri. Masumi, kau....

“Lalu, kenapa kau bertunangan denganku?”, tanya Shiori dengan berurai air mata.

Masumi terdiam.

“Kenapa Masumi? Kenapa kau hanya diam?”

“Tapi, jangan lupa Masumi, kau adalah tunanganku...., dan aku adalah kekasihmu!”, teriak Shiori dan langsung berlari menuju pintu.

Masumi menatap kepergian Shiori iba, maafkan aku Shiori, aku tidak bisa menyakitimu lagi, maaf....

Shiori keluar dari ruangan Masumi dengan berlinangan air mata. Mizuki yang duduk tak jauh dari pintu langsung berdiri khawatir.

“Nona Shiori....?”

Shiori hanya menoleh dan menatap Mizuki. Ia terus berlari menuju lobi, menyusuri lorong-lorong Daito tanpa menghentikan aliran air matanya. Setiap orang yang melihatnya heran, ada apa dengan nona Shiori Takamiya? Saat ini, kehampaan menyelimuti hati Shiori bersamaan dengan ribuan sembilu yang menyayat-nyayat hatinya, meninggalkan perih yang sangat. Wajah Masumi yang tanpa ekspresi membayang di pelupuk matanya.  Bayang-bayang gelap seakan menghadang Shiori melangkah maju. Menciptakan kekosongan asa atas pernikahannya dengan Masumi. Tiba-tiba, Shiori berhenti, ia menghapus aliran air mata dengan kesepuluh jarinya. Masumi, aku tidak akan pernah melepaskanmu, akan kulakukan segala cara untuk mendapatkan hatimu. Ingat, kau menghalalkan segala cara dalam hal bisnis. Aku pun demikian. Maka, kau dan aku adalah sama. Kupastikan, kau akan menjadi suamiku.

***

“Pak Masumi, kopi Anda!”

“Iya”, ucap Masumi tanpa memalingkan wajah dan lurus menatap hamparan kota Tokyo melalui dinding kaca Daito.

Menyadari tak diacuhkan, Mizuki memutar badan dan melangkah menuju pintu.

“Mizuki!”, panggil Masumi.

“Iya, Pak”

“Bisakah kau mengatur kencanku dengan Maya?”, pinta Masumi, “Aku mulai merindukannya, Mizuki”, sambung Masumi pelan.

“Hah?!”, Mizuki terbelalak mendengar permintaan Masumi.

Mendengar respon Mizuki, Masumi membalikkan badan dan memandang Mizuki dengan ekspresi menunggu. Masumi memperhatikan Mizuki yang kebingungan.

“Pak Masumi, apa maksud Anda?”, tanya Mizuki curiga.

“Ah, sudahlah Mizuki”

“Aku tahu, itu tak mungkin. Sekarang, pergilah”, lanjut Masumi.

Mizuki melangkah keluar ruangan disertai ribuan tanda tanya. Apa maksud pak Masumi sebenarnya? Bayangan Shiori yang pergi berurai air mata menghampirinya. Ada apa di antara mereka?

***

“Maya, ada kiriman untukmu!”

“Kiriman, dari siapa Rei?”

“Nih!”, Rei menyodorkan sebuket mawar ungu kepada Maya dan sebuah amplop yang berwarna ungu juga.

Maya menerima buket itu dengan mata berbinar. Pak Masumi...! Maya segera membuka amplop dan membaca kartu yang ada di dalamnya.

Bisakah kau menemuiku di villaku di Nagano,
aku tak sabar ingin melihatmu.
Dari Pengagummu

Pak Masumi, apa maksudmu? Menemuimu? Di Nagano? Maya masih mengamati kartu yang dipegangnya. Keningnya berkerut. Mana bisa aku ke sana, aku kan harus latihan! Tiba-tiba wajah Maya berubah kesal. Ia meletakkan buket mawar ungu di meja terdekat dan bergegas keluar kamar.

“Maya, kamu mau ke mana?”

“Maaf Rei, aku harus pergi. Oya, nanti aku langsung ke studio latihan”

Maya berlari menyusuri jalanan Tokyo, sesekali ia berhenti mengambil nafas, mengisi paru-parunya dengan oksigen dan mengumpulkan tenaga baru. Pak Masumi, aku harus menemuimu.

***

Di ruang berdanti keluarga Takamiya, Shiori duduk berhadapan dengan kepala rumah tangga keluarganya.

“Bi, bisakah menolongku?”

“Apa Nona?”

“Aku ingin Bibi mengatur kencanku dengan Masumi!”

“Kencan? Kapan?”

“Malam ini”

“Baiklah Nona”

Sesungging senyuman dingin menghias wajah Shiori. Masumi, kau tak kan bisa lari dariku!

***

“Mizuki, apa aku bisa bertemu dengan pak Masumi?”

Jari-jari Mizuki yang asyik menulis di buku agenda berhenti. Ia sangat mengenal suara orang yang sedang menunggu jawabannya. Tak salah lagi. Maya!

“Pak Masumi? Kau ingin bertemu dengan pak Masumi?”

“Iya, sekarang. Ini penting sekali Mizuki!”, desak Maya.

“Baiklah, kau bisa menunggu di ruang tamu. Aku akan segera memberi tahu beliau!”

Ketika Mizuki hendak mengantar Maya ke ruang tamu, seorang lelaki mendekatinya.

“Nona, ada surat untuk pak Masumi dari nona Shiori!”

Laki-laki itu menyodorkan sebuah surat kepada Mizuki. Mendengar nama Shiori disebut, ekspresi Maya berubah pucat. Shiori...!

“Terima kasih”, Mizuki menerima surat itu kemudian membungkukkan badan. Laki-laki itu pun melakukan hal yang sama sebelum berbalik pergi. Setelah laki-laki itu berlalu, Mizuki mengajak Maya menuju ruang tamu. Tetapi, ia melihat wajah Maya yang memucat.

“Maya, apa kau sakit?”, tanya Mizuki khawatir.

“Tak apa, Mizuki”, jawab Maya lemah, “Ayo!”

Lunglai, Maya mengayunkan langkah ke ruang tamu, sorot matanya tak berisi. Pak Masumi, bagaimanakah hubunganmu dengan Shiori? Apa aku telah menyusahkanmu? Apa aku menempatkamu dalam posisi yang sulit? Maya tertunduk lesu. Rasa bersalah mengelilingi Maya atas keterusterangan perasaannya pada Masumi. Maafkan aku, pak Masumi! Sebutir air mata mengintip di sudut mata Maya. Kekhawatiran Mizuki semakin dalam menyaksikan Maya yang berjalan gontai.

“Maya, kamu baik-baik saja?”, ucap Mizuki dan berusaha mengimbangi langkah Maya.

“Tak apa, Mizuki!”

***

“Pak Masumi, boleh saya masuk?”

“Masuk saja Mizuki, bukankah biasanya juga begitu!”, ucap Masumi tak acuh sambil membaca sebuah dokumen.

Mendengar tanggapan Masumi, Mizuki melangkah maju. Ia meletakkan surat Shiori di meja Masumi.

“Ada surat dari nona Shiori!”

“Ya”

“Dan saat ini, Maya Kitajima sedang menunggu Anda di ruang tamu!”, ujar Mizuki lagi.
Mendengar nama Maya, Masumi langsung mendongak. Maya. Ekspresi Masumi berubah 360⁰. Wajah Masumi yang semula tertekuk delapan, mendadak menjadi lurus seketika. Dan tanpa mempedulikan Mizuki, Masumi bergegas keluar ruangan. Mizuki mengikuti gerak Masumi dengan ekspresi heran. Pak masumi...!?

“Maya”, ucap Masumi antusias saat membuka pintu ruang tamu. Namun, langkahnya terhenti menyaksikan Maya yang tertunduk lesu. Mendengar namanya dipanggil, Maya mendongakkan kepala. Pak Masumi...!

“Kamu kenapa? Sakitkah?”

Maya menggeleng.

“Wajahmu pucat!” Masumi berjalan mendekati Maya dan mengambil posisi duduk di samping Maya. Masumi menyentuh wajah Maya, “Mungil”, ucapnya lirih. 

Maya merasakan kedamaian dan kebahagiaan saat Masumi menyentuh wajahnya. Andai perasaan ini selalu menyertaiku, pasti akan menyenangkan. Aku sangat mengharapkannya, tapi.... Pelan, Maya menurunkan tangan Masumi.


“Pak Masumi, jangan begini, tidak baik!”

“Kenapa, bukankah kita saling mencintai?”

“Benar, tapi, aku bukan siapa-siapa Anda!”

Maya menunduk. Perasaannya mengambang. Laksana perahu, ia tak dapat merapat ke dermaga tetapi juga tak dapat berlayar. Terombang-ambing di tengah lautan. Saat ini, Masumi berada dekat di sampingnya tetapi tetap jauh dari jangkauan. Sungguh pak Masumi, andai aku mampu, aku ingin memilikimu selamanya.

“Maksudmu ?“

“Anda masih tunangan nona Shiori!”

“Ehm, jadi itu sebabnya. Kalau begitu aku akan segera membatalkan pertunanganku!”

“Pak Masumi?”

Maya mengangkat wajah dan menemukan Masumi yang ternyata memandangnya lekat. Pak Masumi, kau terlihat sangat serius. Bola-bola asa baru bermunculan di hati Maya walau tak penuh memberi kepastian. Tetapi, mereka memberi Maya setitik sinar atas harapannya.

“Shiori sudah tahu perasaanku, Maya!”, Masumi menggenggam tangan Maya, “Dan akan kupastikan perasaanku padanya!”

“Itu akan menyakitinya?”

“Akan lebih sakit lagi bila aku terus bersamanya!”

“Pak Masumi”

“Ya”

“Aku akan menunggu Anda!” Maya menatap mata Masumi penuh kepercayaan.

Masumi tersenyum lembut,

“Terima kasih, Mungil!”, ucap Masumi dan menggenggam tangan Maya erat.

***

Di pinggir kolam keluarga Hayami, Eisuke Hayami memperhatikan puluhan ikan yang menggerombol saling berebut makanan ditemani Sugimoto, ajudannya. Ikan-ikan itu tidak menggerombol di satu tempat. Mereka berenang-renang ke segala arah mengejar butir-butir pakan yang sesekali di lempar Sugimoto jatuh mengambang di permukaan air kolam.

“Sugimoto!”

“Iya, Tuan”

“Aku mulai bosan melihat ikan-ikan ini!”

“Lalu, Tuan ingin seperti apa?”

“Jalan-jalan!”

“Eh...?!”

“Mana hand phone-ku, Sugimoto?”

“Ini, Tuan”, Sugimoto menyodorkan sebuah hand phone kepada Eisuke Hayami.

Tak lama, Eisuke Hayami mulai menekan tombol-tombol di hand phone-nya. Sesungging senyum menghias wajahnya. Ehm, aku ingin bertemu dengannya! Sugimoto mengamati  tuannya seksama. Tuan Eisuke, anda tampak bahagia sekali. Walau terasa aneh, saya lebih senang melihat anda seperti ini.

***

Di sebuah studio, tempat Ayumi berlatih bersama Utako Himekawa, Ayumi duduk di tengah ruangan. Segala macam bentuk barang berserakan hampir di seluruh ruangan. Utako yang berdiri sekitar 7 meter dari Ayumi mengayunkan langkah ke arah putrinya.

“Hati-hati, Ma!”

“Eh...?!”

“Ada paku di depan Mama!”

“Paku?”

Utako menebar pandangan di lantai. Pandangan Utako berhenti pada sebuah paku yang berjarak selangkah dari ujung kakinya dan siap menusuk kaki Utako bila ia tak menghentikan langkah. Ehm, bagaimana Ayumi bisa tahu bahwa di depanku ada paku?

“Tadi, paku yang Mama lempar jatuh di situ!”

“Ayumi, kamu...?!”

“Iya Ma. Aku, sekarang, bisa merasakan pergerakan angin. Otakku juga menyimpan memori letak suara-suara berasal!”

 “Ayumi...! Kau berhasil!”, senyum kebahagiaan menghias wajah Utako.

Utako memandang Ayumi takjub. Ayumi, anakku, kau telah berhasil. Kau mampu mengatasi kebutaanmu dan mengenali benda-benda yang ada di sekitarmu melalui pergesekkan mereka dengan udara. Sekarang, kau tak harus mengandalkan penglihatanmu. Perasaan Utako mengharu biru dan bulir-bulir bening mulai mengalir di pipinya.

“Terima kasih Ma. Tanpa bantuan Mama, aku pasti sudah putus asa. Aku bisa merasakan perasaan angin dengan hatiku. Kelembutannya saat membelai kulitku. Aku jadi lebih paham bagaimana mengekspresikan bidadari merah!”, ucap Ayumi berseri, “Dan aku harus mempertajam lagi pendengaran dan hatiku!”

“Aku yakin dengan kemampuanmu, Ayumi!”, dukung Utako.

“Terima kasih, Ma. Aku akan berakting dengan hatiku dan aku pasti bisa mengatasi kebutaanku ini”, ucap Ayumi penuh percaya diri.

***

Jauh dari keramaian kota Tokyo, di villa ketua Persatuan Drama Nasional, Mayuko Chigusa duduk di beranda menikmati udara sore. Suasana saat itu terasa damai sedamai hati Mayuko. Sinar keemasan matahari sore menembus celah-celah dedauan dari pohon-pohon yang tumbuh rindang dan memberikan efek tak meyilaukan. Angin yang bertiup semilir-semilir mengajak reranting pohon menari-nari sesuai kemauannya.

“Bu Mayuko, ini teh Anda!”

“Terima kasih, Genzo”

“Bagaimana keadaan Anda sekarang?”

“Aku baik-saja Genzo, tidak usah khawatir!”

“Tapi, semalam, saya mendengar Anda batuk tiada henti!”

Mayuko tersenyum. Ia dapat mengerti kecemasan Genzo atas dirinya. Terima kasih Genzo. Dari dulu kau selalu menemaniku. Walau kurasakan badanku semakin hari semakin melemah, aku yakin dapat melihat wujud bidadari kedua gadis itu. Ichiren, kau selalu bersamaku, kumohon, berilah aku kekuatanmu. Sebentar lagi, hingga bidadari merah yang baru muncul untuk mewarisi hidupku.

“Aku kan sering bilang padamu Genzo”, Mayuko mengambil cangkir teh dan meminumnya, 

“Aku akan hidup sampai bidadari merah baru lahir”, ucap Mayuko lagi dan meletakkan cangkir teh di meja.

Genzo yang berdiri di samping Mayuko Shigusa terdiam. Raut kekhawatiran masih tergambar di wajahnya. Bu Mayuko, saya tahu, anda akan bertahan sekuat tenaga demi bidadari merah. Ya, demi bidadari merah. Karena itu adalah hidup anda.

“Aku tidak tahan lagi ingin melihat akting Maya dan Ayumi, Genzo. Terutama Maya!”

“Saya juga, Bu”

“Bagaimana wujud bidadari merah mereka?”

Mayuko mengamati dedaunan yang bergoyang-goyang mengikuti arah angin bertiup. Sorot matanya penuh keyakinan. Aku pasti dapat melahirkan bidadari merah luar biasa di antara Maya dan ayumi yang akan memberi jiwa abadi bidadari merah.

***


Masumi termenung di belakang meja kerja. Tatapan matanya tak terbaca. Tak lama, tangan Masumi meraih secarik surat dan memposisikannya sejajar dengan wajahnya. Bola mata Masumi bergerak-gerak halus, merunut setiap baris isi surat yang tertulis rapi.

Masumi....
Kejadian kemarin membuatku tergoncang. Tetapi, janganlah khawatir. Sejak mengenalmu, aku belajar menjadi sosok yang lebih kuat.
Aku hendak mengundangmu kencan walau tak seistimewa rencana kencan di Astoria dulu. Dan mungkin kita bisa membicarakan hubungan kita lebih mendalam.
Aku menunggumu Masumi...
Shiori

“hhhhhh”

Masumi menempatkan kertas yang dipegangnya ke tempat semula. Ia melirik arloji, menunjukkan pukul 19.00. Shiori! Mungkin ini lah waktu yang tepat! Masumi mengangkat gagang telepon yang terletak di sisi kanan meja. Beberapa saat, ia berbicara dengan seseorang. Setelah mengakhiri pembicaraannya di telepon, Masumi bangkit dari duduk dan beranjak pergi ke luar ruangan.

***

Di studio Kids, Maya mengemasi barang-barangnya dan memasukkan mereka ke loker. Usai dengan segala aktivitasnya, Maya mengayunkan langkah dan menyusuri lorong-lorong studio menuju pintu keluar. Syukurlah, hari ini latihan berjalan lancar. Walau belum memuaskan pak Kuronuma dengan akting perpisahanku dengan Isshin. Entahlah, aku tidak merasa akan berpisah dengan Isshin, belahan jiwaku. Sekejab, bayangan Masumi hadir di pelupuk mata Maya. Pak Masumi.... Kapan kita bisa bertemu pak?

“Maya!” Seseorang menyejajari langkah-langkah Maya.

“Koji!”

“Kau semakin pintar Maya!

“Ah, yang benar? Tadi pak Kuronuma marah-marah. Katanya aktingku tidak seperti belahan jiwanya Isshin!”

“Tidak seperti dirimu Koji. Akting perpisahanmu sangat bagus. Aku terpesona. Bila aku duduk di kursi penonton, pasti air mataku mengalir”, sambung Maya.

Koji mendengarkan kata-kata Maya dengan hati bimbang. Maya, apa kau belum bisa mencintaiku? Semakin hari, aku semakin mencintaimu Maya. Kau belahan jiwaku. Akoyaku. Separuh jiwaku. Walau itu hanya di panggung. Bila aku kehilangan separuh jiwaku, diriku yang lainnya, maka aku pasti mati. Hati Koji gerimis, membayangkan kenyataan bahwa Maya tidak mencintainya.

“Duh, sudah jam segini”, lirik Maya pada jam yang menempel di dinding bagian resepsionis, “Koji, aku harus cepat-cepat, aku bisa ketinggalan kreta!”, ucap Maya tergesa.

“Maya, tunggu!”, cegah Koji sambil memegang pergelangan tangan Maya.

“Eh..., Koji!”

“Biar kuantar!”, tawar Koji. Perlahan, Koji melepas genggamannya.

“Ee..., aku....”

“Kenapa?”, Koji menangkap sinar keraguan di mata Maya.

“Ah, tak apa. Ayo!”, sambut Maya gembira.

Berdua, Koji dan Maya berjalan beriringan menuju tempat parkir. Mereka menghampiri sepeda motor Koji yang terpakir di salah satu sudutnya.

“Nih”, Koji menyerahkan helm pada Maya.

“Kamu siap Maya? Ayo, naiklah!”

“Iya”

Koji melarikan sepeda motornya di antara ratusan mobil yang hilir-mudik melintasi jalanan kota Tokyo.  Angin malam menerjang tubuh kedua makhluk itu yang tertolak balutan jaket di tubuh mereka. Maya merapatkan lingkaran tangannya di pinggang Koji. Mengimbangi laju sepeda motor yang seakan menerbangkan tubuhnya. Koji, kamu adalah teman yang baik. Kamu juga lawan main yang baik. Aku sangat berterima kasih padamu.

***

Di villa keluarga Takamiya, Shiori dan Masumi duduk berhadapan, terpisahkan oleh meja bundar yang terhidang beberapa menu masakan istimewa. Kondisi remang-remang bercahayakan sinar lilin menciptakan keromantisan di sekeliling mereka. Namun, suasana romantis tenggelam dalam keheningan yang menyelimuti kedua insan itu. Mereka larut dengan suasana hati masing-masing yang tak saling terbaca.

Shiori mengamati Masumi sendu. Masumi, sejak awal datang, kau tak banyak bicara. Ini kah dirimu yang sebenarnya? Sekarang, sikapmu sangat berbeda. Tak kutemukan lagi Masumi yang dulu. Masumi yang lembut, yang selalu memanjakanku, dan menuruti keinginanku. Masumi, sungguh aku mencintaimu. Aku rela mengorbankan apa saja demi mendapatkan dirimu. Shiori memejamkan mata. Menahan butiran-butiran bening yang siap berjatuhan.

“Shiori!”, ucap Masumi mencairkan suasana.

Mendengar panggilan Masumi, Shiori membuka mata dan menatap Masumi lembut.

“Aku ingin menyampaikan sesuatu padamu, Shiori!”

Seakan tahu apa yang akan disampaikan Masumi, Shiori bangkit dari tempat duduk dan melangkah menuju balkon. Ia menatap malam yang kelam sekelam harapannya dengan Masumi. Kembali Shiori memejamkan mata, menahan lelehan air mata yang hampir tak terbendung. Angin malam berhembus membelai parasnya yang ayu dan memberikan kesejukan pada hatinya yang hampa. Perlahan, Shiori menengadah dan membuka mata. Ia menemukan langit bertabur bintang. Cahaya mereka begitu cemerlang menghias langit malam. Oh, inikah indahnya langit berbintang? Sangat berbeda dengan kerlap-kerlip lampu kota Tokyo yang selama ini kukagumi.

“Masumi, ke sinilah!”

“Ayo, indah sekali di sini!”, bujuk Shiori melihat Masumi yang masih bergeming di kursinya.

Tak lama, Masumi melangkah menuju Shiori dan berdiri di sampingnya.

“Lihatlah Masumi, indah sekali langit berbintang ini”, ucap Shiori sambil menunjuk ke atas.

“Iya”, sambut Masumi yang juga menengadah.

“Ini kali pertamaku melihat bintang, Masumi”

“Pluk!”, kepala Masumi jatuh tertahan kepala Shiori.

“Masumi...?!”

Shiori melingkarkan tangan di pinggang Masumi. Menahan tubuh Masumi yang limbung. Ia menatap wajah Masumi lembut, menjelajahinya dengan ujung jari telunjuk, dan berakhir dengan memberi kecupan di bibir Masumi.  Aku sangat mencintaimu, Masumi.

***

Semburat merah saga bermunculan di langit ufuk timur. Menandakan bahwa malam telah berganti pagi. Sang matahari mulai menampakkan diri di balik bukit. Sebagian sinarnya menembus kaca cendela villa yang tak sempurna tertutup korden. Seakan menggelitik penghuninya, mengabarkan bahwa pagi menjelang.

“hhmm”

Masumi menggeliat. Matanya mulai terbuka setengah dan akhirnya terbuka sempurna. Eh, ini di mana? Masumi menatap heran sekelilingnya. Ini bukan kamarku!

“Masumi, kamu sudah bangun!”

“Aaaaa!!!”, Masumi melompat kaget mendengar suara perempuan di sampingnya, “AAAAAAAAAAAAA!!!!!!!”, Masumi menjerit kaget mendapati dirinya tanpa sehelai benangpun. Tanpa pikir panjang, Masumi menarik selimut di depannya dan membebat diri.

“Hah”, Masumi melotot, melihat sesosok wanita di depannya dalam kondisi yang sama.

Secepat kilat, masumi telah membelakangi wanita itu. Tubuhnya bergetar hebat. Dadanya bergerak naik turun. Nafasnya terengah-engah. Kenapa Shiori dalam kondisi seperti itu? Dan kenapa aku juga dalam kondisi yang sama? Masumi memejamkan mata. Menghilangkan keelokan Shiori dari benaknya. Masumi menarik nafas panjang dan menghembuskannya perlahan. Hohh, apa yang telah aku lakukan?

Shiori yang terbaring di tempat tidur bangkit dan mengenakan gaunnya yang tersampir di kursi rias. Perlahan, ia mendekati Masumi.

“Masumi. . .”, Shiori berdiri di depan Masumi.

“Apa yang terjadi?”

“Apa kau lupa Masumi?”, ucap Shiori lirih dan menyandarkan kepala di dada Masumi, “Kau sangat hebat Masumi, aku bahagia sekali”

Masumi mematung. Kakinya seakan terpaku ke dalam bumi. Apa yang ia katakan? Aku...aku dan dia!? Bagaimana mungkin aku dan dia...?! Bagaimana mungkin aku lepas kendali? “Hhhh” Masumi mendesah pelan tak mengerti.

***

“PRAANGG!!!!”

“Oh”, maya tersentak piring yang dipegangnya terlucut

Mendengar suara barang jatuh, Rei yang berada di ruang makan bersegera pergi ke arah asal suara. Ia mendapati Maya sedang berjongkok memunguti pecahan piring yang berserakan di lantai dan memasukkannya ke dalam plastik hitam.

“Maya, ada apa?”

“Tidak apa Rei, piringnya jatuh!”

“Kamu melamun ya?”

Rei turut berjongkok dan membantu Maya memunguti pecahan piring.

“Tidak juga Rei, tiba-tiba saja jatuh!”

Kenapa ya? Seingatku aku tadi memegangnya dengan kuat. Aku juga membilas busa sabun dengan bersih. Kening Maya berkerut.

“Oya, Maya, siang ini ada acara?”

“Iya, aku ada janji. Kenapa Rei?”

“Tak apa, Maya”, ucap Rei mengerti.

***


Maya berdiri di depan sebuah restoran mewah. Disertai sebersit keraguan, Maya melangkah masuk. Ia disambut suasana restoran yang ramai dipadati pengunjung. Mereka duduk mengelilingi meja-meja bundar dengan kaki berukir yang tertata acak tapi rapi. Setiap meja dikelilingi oleh tiga kursi yang juga berukir di bagian sandaran dan kakinya.

Maya menyapu seluruh ruangan dengan sepasang matanya, berusaha menemukan sosok yang dicari. Dimana ya kakek itu? Di antara pengunjung yang didominasi kaum muda, Maya menemukan seorang kakek-kakek berkursi roda di salah satu sudut ruangan yang tak lain adalah Eisuke Hayami. Menyadari kehadiran Maya, Eisuke melambaikan tangan dan Maya pun melangkah menuju ke arahnya.

“Hallo, Kek”

“Hallo, Nak”

Eisuke tersenyum manis menyambut Maya. Sinar kegembiraan terpancar di wajahnya yang mulai keriput.

“Duduklah!”

Maya mengangguk dan menarik satu kursi yang berada di sisi kiri Eisuke, kemudian mendudukinya.

“Kok Kakek yang mengundangku? Aku kan janji akan mentraktir Kakek!”, omel Maya dengan wajah cemberut.

“Ha ha ha ha”, Eisuke tertawa bahagia, “Karena aku rindu, Nak. Ingin bertemu denganmu!”, ujar Eisuke wajar.

“Hah, rindu padaku? Jangan katakan kalau Kakek jatuh cinta padaku!”, ancam Maya sambil melirik Eisuke.

“Ha ha ha ha”

Kembali Eisuke tertawa lepas. Anak ini sangat menyenangkan. Aku tidak pernah bosan bersamanya. Tiba-tiba seorang waitress menghampiri meja mereka.

“Maaf, apa pesanan Anda sudah siap?”, tanya waitress.

Serentak, Maya dan Eisuke menatap waitress yang berdiri di dekat meja mereka. Waitress itu menunggu dengan tangan memegang bolpoin dan siap mencatat pesanan mereka.

“Mau pesan apa? Ice cream dengan buah atau rasa coklat?”, tanya Eisuke pada Maya.

“Ehmm”, Maya berpikir sejenak, “Kali ini aku ingin rasa melon, Kek!”

“Wah, berganti selera!”, timpal Eisuke ringan.

Maya mengangguk sambil tersenyum.

“Kami pesan rasa coklat dan melon”, pesan Eisuke pada waitress.

Waitress itu mengangguk-angguk sambil menulis di buku pesanannya.

“Baiklah, silakan ditunggu!”, ujar waitress sambil membungkukkan badan.

Sejenak, hening melingkupi Maya dan Eisuke. Tetapi, Eisuke segera membuka percakapan.

“Bagaimana aktingmu? Apa sudah sempurna?”

“Sudah lancar, Kek. Kecuali akting perpisahanku dengan Isshin.”

“Kenapa?”

“Entahlah, aku belum bisa mengekspresikan bagaimana perasaan Akoya ketika berpisah dengan belahan jiwanya!”

“Apa kau tidak pernah jatuh cinta?”

Maya menunduk. Jatuh cinta. Sekelebat, bayangan Masumi melintas di benak Maya. Pak Masumi.... Sedang apa ya dia? Aku rindu! Menyadari sedang diperhatikan Eisuke, Maya mengangkat wajah.

“Tidak, Kek. Percintaanku rumit.”

“Rumit? Kenapa?”, tanya Eisuke ingin tahu.

“Dia sekarang bertunangan, Kek!”

“Hah!”, Eisuke terperanjat, “Bagaimana mungkin kamu mencintai orang yang sudah bertunangan?”

“Aku juga tak tahu, Kek. Padahal aku dulu sangat membencinya dan orang-orang bilang dia adalah si dingin tak berperasaan. Tapi, aku sangat mencintainya. Dan ternyata, dia juga mencintaiku”, urai Maya penuh ketulusan.

Kening Eisuke berkerut yang semakin menambah jumlah kerutan di wajahnya. Sepertinya aku tahu orang yang dimaksud Maya. Ciri-cirinya mirip putraku. Tapi, apa benar? Selama ini Masumi selalu bersikap dingin padanya. Mereka selalu bertengkar. Ah, tak mungkin, pasti orang lain yang mirip dengan Masumi. Orang dingin kan tidak hanya Masumi!

“Permisi, ini pesanan Anda!”

Seorang waitress menghidangkan ice cream pesanan Maya dan Eisuke. Setelah menganggukkan kepala, Maya dan Eisuke menikmati ice cream mereka sambil mengobrol berbagai hal. Sesekali suara tawa menyelingi pembicaraan mereka. Di satu sudut restoran, sepasang mata mengawasi mereka. Tuan, bila anda bersama gadis ini, selalu saja terlihat bahagia.

***

Ayumi berdiri di tengah taman, di depan rumah kakeknya di Akone. Semilir angin memainkan rambut gelombangnya. Beberapa kupu-kupu beterbangan, diantara mereka menari-nari di depan wajah Ayumi. Oh, indah sekali pagi ini. Mata ayumi terpejam. Menikmati sinar matahari pagi yang menghangatkan kulit putihnya. Mendengarkan senandung alam di sekitarnya. Inikah yang dirasakan Akoya setiap hari. Berbincang dengan alam. Membagi cinta dengan sesama makhluk. Andai aku merasakan ini saat di lembah Plum, sungguh sangat membahagiakan.

“Nona!”

Mendengar suara, Ayumi berbalik ke arah asal suara.

“Bibi”

“Saatnya kembali ke Tokyo, Nona!”

“Sebentar ya Bi, aku ingin menikmati alam ini, sebentar saja!”

“Baik, Nona”, ucap bibi penuh pengertian kemudian memutar badan dan melangkah meninggalkan Ayumi sendiri.

Kembali, Ayumi menikmati alam. Mendengarkan buaian ibu bumi pada biji-biji yang bersiap tumbuh, perbincangan tetumbuhan menyambut pagi, dan merasakan belaian angin yang berkejar-kejaran menuju area yang bertekanan lebih rendah. Berat hatiku meninggalkan tempat ini. Semua ini akan susah kutemui di Tokyo. Pelan, Ayumi melangkahkan kaki ke arah bangunan besar di depannya. Semakin jauh Ayumi melangkah, senandung alam di belakangnya terdengar semakin melirih dan akhirnya menghilang.

***

“Pak Masumi!”

Adalah kali ketiga Mizuki memanggil Masumi. Tetapi, Masumi yang berdiri membelakanginya tetap bungkam. Pak Masumi, lebih dua pekan ini Anda membuat kami bekerja rodi. Ide-ide cemerlang anda membuat kami kelimpungan. Ada apa sebenarnya? Setiap hari bergelut dengan dokumen. Datang pagi pulang tengah malam. Dan satu lagi, anda banyak menghabiskan waktu melihat hamparan kota Tokyo. Seperti saat ini. Melihat Masumi yang masih mematung, Mizuki bersiap memutar badan.

“Mizuki!”, panggil Masumi dengan tetap membelakangi Mizuki.

“Pak Masumi? Anda tahu saya di sini?”

“Tentu saja, tapi aku tidak bersemangat menjawabmu”, ucap Masumi datar, “Oya Mizuki, kapan pentas uji coba Bidadari Merah?”

“Anda lupa hari, Pak?”

“hm”, segaris senyum simpul menghias wajah Masumi.

“Lima hari lagi, Pak!”, jawab Mizuki, “Oya, ada nona Shiori menunggu Anda. Akhir-akhir ini anda sering menolak menjawab telepon dan ajakan kencan”

“Suruh dia masuk saja, aku tak ingin pergi ke mana-mana!”

“Baik, Pak”

Masumi tak mengalihkan pandangan dari hamparan kota Tokyo hingga terdengar suara pintu terbuka. Masumi memutar badan dan menemukan Shiori sedang melangkah ke arahnya. Shiori...!

“Masumi...”, panggil Shiori lirih saat di depan Masumi.

“Hari ini aku tak ingin pergi, Shiori!”

“Kenapa?”

Masumi membisu. Shiori bergerak maju dua langkah hingga dirinya dan Masumi hanya berjarak satu jengkal. Shiori melingkarkan tangan kirinya di pinggang Masumi. Kemudian, menyandarkan kepala beserta jari-jemari kanannya di dada bidang Masumi.

“Aku rindu, Masumi!”, bisik Shiori.

Masumi menggerakkan tangan dan memegang tangan Shiori ringan. Pelan, Ia membuka lingkaran tangan Shiori dari tubuhnya. Masumi menatap Shiori tanpa ekspresi, Shiori, maaf, aku tak bisa seperti ini.

“Shiori, ada yang ingin kusampaikan padamu!”

Sontak, Shiori mundur selangkah. Sebuah kekhawatiran merasuk di pikirannya. Rona ketakutan memenuhi wajah Shiori.

“Aku ingin membatalkan pernikahan kita!”

Shiori tersentak. Apa? Apa katanya...? Ia tak ingin mempercayai apa yang di dengarnya. Dada Shiori sesak, seakan ada batu besar menghimpitnya. Seluruh wajahnya memanas.  Dan air matanya tumpah tanpa terbendung.

“Kamu bohong kan Masumi”, ucap Shiori tercekat, “Setelah apa yang kita lakukan di villa malam itu, kamu tetap ingin membatalkan pernikahan kita?”

“Iya”

“Karena cintamu pada Maya Kitajima?”, tanya Shiori terisak.

“Benar”

Ohh.... Masumi, kau sangat mencintainya? Apa kelebihannya dariku? Hingga kau mencintainya seperti ini? Shiori terus terisak.

“Lalu..., lalu, bagaimana bila aku mengandung anakmu?”, ucap Shiori lirih, “Apa kau tetap...?”, Shiori tak mampu melanjutkan kata-kata.

“Apa?”

“Aku hamil, Masumi!”

TAARRRR!!! Bagai disambar petir, harapan Masumi hangus terbakar. Tiba-tiba, tubuh Masumi melemah. Kedua kakinya tak sanggup menumpu berat badannya. Tulang-tulang kakinya serasa dilolosi.

“Pergi!”, pinta Masumi lemah.

“Masumi....”, Shiori bergerak mendekati Masumi.

“PERGI!! KATAKU!!”, bentak Masumi.

Shiori terpaku. Ini kali pertama Masumi membentaknya. Spontan, Shiori berlari keluar. Dia membentakku? Shiori semakin terisak. Bentakan Masumi terus menghantuinya.

“Blam”, terdengar suara pintu dibanting.

“Bluugg!!”

Masumi terduduk di lantai. Kedua tangannya yang mengepal bertumpu pada lantai. Aku punya anak? Tanpa menikah, aku punya anak? Badan Masumi gemetar. Setetes butiran bening jatuh di lantai Daito yang mengkilap. Senyum Maya yang penuh kepercayaan membayang di pelupuk matanya. Maya. Cintaku.... Ia menungguku. Ia percaya padaku. Ohh.... Cinta Bidadari Merah. Sekarang, aku terjebak di sini dan tak dapat melepaskan diri. Masumi tertunduk tak berdaya. 

***
  Bersambung ke Enchanted (Cintaku Tak Menuntut, Pak Masumi!) II