Minggu, 06 Februari 2011

Asa Abu Abu IV


“Mas, bila aku mati duluan, Mas nikah lagi gak?”

Aku mengajukan pertanyaan yang membuat mas Rizal terperangah. Tergambar jelas dari bola matanya yang melotot seketika. Meskipun melotot, tetap saja tidak bisa membuat matanya yang sipit melebar.

“Sayang, apa tidak ada bahan pembicaraan lain?”                                

Tampaknya, mas Rizal tidak suka dengan pertanyaanku. Aku juga aneh-aneh saja, tiba-tiba bertanya tentang mati.

“Ehm, perempuan yang dulu pernah minta Mas nikahi, udah nikah belum?”

“Tu, aneh lagi pertanyaannya! Gak ada yang lebih bermutu?”

“Ya udah. Aku tidur aja!”

Kusandarkan kepala ke kursi pesawat yang membawaku terbang dari Jakarta. Kuperhatikan arak-arakan awan putih dari jendela. “Gluduk, gluduk.” Tiba-tiba, pesawat ini bergoncang ringan, seperti mobil yang melewati jalanan berbatu. Pasti dia sedang melewati beberapa gumpalan awan. Aku terus memperhatikan awan putih yang tampak bersinar, tertepa cahaya matahari. Cantik. Andai bisa kusentuh. Kubayangkan diriku terbang dari awan satu ke awan yang lain. Ehm, seperti peri di film-film.

“Crek” Tiba-tiba, ada yang melepas sabuk pengamanku. Membuyarkan anganku seketika.

“Sayang, sandarkan aja kepalamu di sini!” Tangan-kekar mas Rizal meraih pundak kananku, dan menyentuh kepalaku lembut. Kepalaku tak lagi bersandar di kursi pesawat. Tetapi, berpindah ke bahu-kokoh mas Rizal.

“Ngambek ya?”

“Nggak”

“Ehm, dia bernama Raihana Rahmawati, biasa di panggil Hana.” Tanpa kuminta, mas Rizal bercerita tentang perempuan. Pasti dia. Perempuan yang pernah menjadi pacar mas Rizal. Aku menunggu kelanjutan cerita mas Rizal.

“Kami berkenalan di perpustakaan.”

“Mas langsung suka?”

“Nggak. Kami berteman dulu.”

“Iya. Kata Dea, Mas gak bisa langsung suka ama perempuan ya?”

“Ya. Aku mesti banyak mengenalnya.”

“Mas pasti gak cinta ama dia!”

“Kenapa bilang begitu?”

“Karena Mas gak berani menikahinya!”

“Karena aku belum siap!”

“Tapi, Mas dah kerja kan?”

“Belum cukup materi!”

“Mau nunggu kaya? Sampai kapan? Kalau seperti itu prinsipnya, pasti gak ada orang yang berani nikah! Bukankah Allah berjanji akan membuat kaya orang miskin yang menikah?”

“Memang. Tapi mas takut!”

Of course! Bila Mas berani, saat ini, pasti ku tak di samping Mas!” Kulingkarkan tanganku ke pinggang mas Rizal.

“Dia belum menikah?”, sambungku.

“Belum!”

“Mas masih cinta?”

Mas Rizal diam.

“Kenapa memilihku? Mas kan lebih mengenalnya, dibandingkan aku?”

“Karena Anisa Ramadhani berbeda dengan Raihana Rahmawati! Anisa lebih ....” Sebelum mas Rizal melanjutkan kata-katanya, jari telunjukku lebih dahulu mengunci bibirnya.

“Mas, bila Anisa mati duluan, Mas boleh menikahi Raihana!”

“Hus! Gak baik bilang begitu! Pamali!”

“Mas kan masih cinta ama dia! Gak masalah kan?”

“Tidak ada yang bisa menggantikanmu!”

“Tapi, bila aku gak ada, Mas nanti kesepian! Dan katanya, laki-laki tu lebih sulit menahan nafsu lho!”

“Siapa bilang?”

“Pas S2 dulu, ada bapak-bapak yang bilang, kalau ngliat anjing jongkok aja, pikirannya dah macam-macam!”

“Tidak semua laki-laki seperti itu!”

“Mas?”

“Iya?

“Mas mencintaiku?” Kuajukan pertanyaan yang selama ini selalu kusimpan. Aku yakin, laki-laki ini sangat mencintaiku. Aku tahu dari cara ia memperlakukanku. Tetapi, entah, ia tidak pernah mengungkapkannya.

“Sangat. I love you so much!” Mas Rizal memegang pundakku dan mengecup kepalaku lembut. Tiba-tiba, rasa kantuk menyerang pelupuk mataku.

“Mas, aku ngantuk, bila nanti dah sampai Juanda, dibangunkan ya!”

“Yap!” Kudengar suara mas Rizal sayup-sayup.

**

“Untuk hari ini, materi kuliah saya cukupkan sekian! Apabila ada pertanyaan, saya persilakan!” Kutebarkan pandangan kepada mahasiswa-mahasiswa yang selama 100 menit telah seksama mengikuti materi yang kusampaikan.

“Saya Bu!”

“Iya, silakan!” Kuperhatikan salah satu mahasiswa yang berada di pojok ruangan. Hhh, pandanganku mulai kabur. Kepalaku mulai berat. Apa minus mataku bertambah?

“Maaf Bu. Saya kurang jelas mengenai ....” Belum selesai kudengarkan pertanyaannya, badanku terhuyung. Sekuat tenaga, aku berusaha tetap berdiri tegak.

“Ibuuu...” Samar-samar aku mendengar teriakan, setelah itu, semua menjadi gelap.

**

“Anisa.” Ada suara memanggil namaku.

“Hhh”

“Syukurlah, alhamdulillah” Aku melihat mbak Candra duduk di sampingku. Dia bernafas lega

“Mbak, ini di mana?”

“Di Rumah sakit, tiba-tiba kamu pingsan. Karena khawatir, kami membawamu ke sini!”

“Sama seperti dulu!”

“Apanya?”

“Ya kejadian ini. Semua sama. Pertama, aku pingsan. Kemudian, aku tersadar dengan suara yang memanggilku. Semoga, penyebabnya tidak seperti dulu!”

“Emang dulu kenapa?”

“Dulu aku....” Aku tidak melanjutkan perkatakan. Ada seorang dokter perempuan masuk diikuti seorang perawat.

Assalamu’alaikum

Wa’alaikumsalam

“Bagaimana keadaannya Bu?”, tanya dokter sambil memegang pergelangan tanganku. Memeriksa denyut nadi.

Alhamdulillah, kepala saya tidak seberat tadi. Ada apa dengan saya, Dok?”

“Selamat, Anda hamil!” Dokter itu mengulurkan tangannya dan kusambut hangat. Subhanallah, aku diizinkan hamil lagi. Sudah hampir tujuh bulan sejak keguguran dulu.

“Apa kondisi kandungan saya lemah, Dok?”

“Ibu pernah hamil sebelumnya?”

“Iya. Dan saya harus bed rest!”

“Demi keselamatan kandungan Ibu, saya menganjurkan, Ibu harus melakukan bed rest lagi!”

Laa haula walaa kuwwata illaa billaah. Ya Rabb, ini lah ketetapan-Mu. Meski aku menginginkan bisa tetap beraktivitas selama hamil, ternyata Engkau mempunyai keinginan yang berbeda. Insya Allah, ini yang terbaik untukku.

“Terima kasih, Dok!”

“Sama-sama. Maaf, saya akan ke pasien lain! Ibu, dijaga baik-baik ya kandungannya!”, pesan dokter itu. Dan aku hanya mengangguk dan tersenyum. Kemudian dokter itu melangkah ke luar.

“Anisa, selamat ya! Dan yang sabar!”

“Terima kasih Mbak. Dibantu doa ya!”

“Iya” Mbak Candra memegang tanganku erat.

Setelah semalam menginap di rumah sakit, paginya, aku pulang. Setiba di rumah, aku menyiapkan surat-surat yang diperlukan untuk pengajuan cuti kerja maupun cuti kuliah S3. Serta menyelesaikan semua amanah kantor yang kupegang.

Aku harus mengabari mas Rizal. Dia pasti terkejut mendengar kabar kehamilanku. Segera kuraih HP dan men-dial nama “Masku” di phone book. 

Assalamu’alaikum. Ada apa?”

Wa’alaikumsalam. Mas sibuk?”

“Nggak. Baru aja shalat Dhuhur!”

“Mas, aku ke Denpasar ya?”

“Lho? Kan masih hari efektif!”

“Aku hamil!”

Alhamdulillah. Tapi kenapa harus ke sini? Cuti hamil kan belakangan!”

“Aku harus bed rest!”

“Hhh....” Kudengar mas Rizal mendesah.

“Mas, maaf ya, selalu merepotkan Mas!” Allah, sabarkanlah diriku. Berilah mereka, orang-orang yang telah banyak membantuku dengan balasan yang lebih baik. Terutama suamiku. Cintailah dia melebihi ia mencintaiku.

“Apa Mas menyesal, menikahiku yang lemah ini?”, tanyaku. Mulai ada yang mengalir di pipiku.

“Sayang, engkau adalah anugerah terindah. Mana mungkin aku menyesal!

“Hiks....”

“Lho, kok nangis! Maaf ya kalau ada yang menyinggung!”

“Mas terlalu baik. Dengan keadaanku, pasti membuat Mas susah!”

“Itulah, kenapa kita ditemukan. Untuk saling melengkapi! Okay?”

“Iya.”

“Nah, dijaga ya anak kita! Besok, kebetulan off, kamu kujemput!”

“Iya”

**

Di kehamilan yang kedua ini, aku jauh lebih berhati-hati dalam melakukan setiap aktivitas. Bik Nipah maupun mas Rizal, lebih ketat mengawasi. Agak mengekang, tapi itu adalah tanda cinta mereka. Mereka tidak menginginkan kejadian yang lalu terulang lagi. Manusia memang tidak tahu apa yang akan terjadi. Tetapi, diharuskan untuk selalu berusaha. Karena Ia, Sang Penguasa Hidup, tidak akan merubah nasib seseorang sebelum ia berusaha untuk merubah nasibnya sendiri.

Kandunganku memasuki usia delapan bulan. Mulai terasa berat. Tendangan-tendangan jabang bayi di perutku, semakin hari semakin kuat. Apalagi bila ada papanya mengajak bermain, wuih seru, dia laksana menendang bola ke segala penjuru. Tetapi, bila ia kuperdengarkan suara murottal Al Qur’an, ia akan hikmat mendengarkan. Dia berhenti bergerak-gerak, dan akan menendang lagi bila alunan murottal berhenti. Subhanallah, anak yang cerdas. Tiba-tiba, kerinduan untuk menimangnya menyergap hatiku. Satu bulan, Insya Allah, aku akan segera menimangnya. Buah cintaku dengan mas Rizal. Ya Rabb, jadikanlah dia anak yang shalih. Ku belai perutku lembut, ia menendang halus.

“Tok tok tok!” Terdengar pintu diketuk.

“Ibu, permisi!” Kudengar suara bik Nipah meminta izin masuk.

“Iya Bik, masuk saja!”

Bik Nipah membuka pintu kamar perlahan, kemudian ia masuk dan berjalan menuju almari. Memasukkan dan menata baju yang telah disetrika dengan rapi.

“Bik, maukah Bik Nipah menemani sebentar?”, kuajukan pertanyaan ke bik Nipah yang hendak melangkah ke luar.

“Iya, ada yang bisa saya bantu Bu?”

“Sini Bik!” Kutepuk pembaringan, meminta bik Nipah duduk di dekatku.

“Iya Bu?”

“Bik Nipah dulu merawat bapak semasa kecil ya?”

“Iya, kenapa Bu?”

“Tidak apa. Ehm, saya minta tolong ya Bik?”

“Silakan Bu!”

“Bik, bila saya tidak ada, Bik Nipah mau ya merawat anak saya?”, kuajukan pertanyaan ke bik Nipah. Aku yakin, perempuan yang ada di depanku ini cukup baik agamanya. Modal utama dalam mendidik anak-anakku nanti.

“Ibu bilang apa? Apa Ibu mau meninggalkan bayinya di sini? Tidak dibawa ke Surabaya?”, tanya bik Nipah heran.

“Anak, pasti kubawa ke mana saya pergi Bik. Mau ya, bila Bik Nipah saya ajak ke Surabaya!”

“Iya Bu!”

“Terima kasih”

“Sama-sama Bu, saya ke dapur ya Bu?”

“Silakan!” Bik Nipah melangkah keluar. Aku percaya pada perempuan itu. Ia pasti bisa membimbing anakku di tengah kesibukan papanya.

**

“Heuh’, perutku mulas. Kulirik jam dinding, menunjukkan pukul satu pagi.

“Mas, bangun Mas!” Kugoyang-goyang tubuh mas Rizal.

“Hhh, ada apa? Belum waktu tahajjud kan?”

“Mas, perutku mulas sekali. Mungkin anak kita mau lahir!”

“Hah?” Mas Rizal langsung terduduk.

“Benarkah?”, lanjut mas Rizal sambil memegang perutku. Perutku terasa semakin kencang. Mas Rizal langsung beranjak dari tempat tidur dan berganti baju. Ia memanggil-manggil bik Nipah. Meminta bik Nipah menyiapkan segala keperluan melahirkan. Setelah semua perlengkapan siap, aku dibimbing bik Nipah menuju mobil. Segera kami meluncur ke rumah bersalin Islam yang jauh-jauh hari kami pilih.

“Mas, jangan kencang-kencang!”, ucapku sambil meringis. Frekuensi kontraksi perutku semakin sering. Melihatku yang menahan sakit, bik Nipah memegang tanganku erat dan mas Rizal seperti tidak mendengar ucapanku. Ia tidak mengurangi kecepatan mobil. Rabb, selamatkanlah kami.

Setelah sampai di Rumah Sakit, aku segera dilarikan menuju ruang bersalin. Salah satu perawat mengganti pakaianku.

Di jam ke sebelas aku berada dalam ruang bersalin, seorang dokter perempuan masuk ke ruangan kemudian memeriksa jalan lahir.

Masya Allah, Ibu, sudah bukaan sembilan!”, ucap dokter.

“Dok, bolehkah suami saya menemani?”, pintaku.

“Boleh!”, jawab dokter.

“Sus, tolong panggil suami ibu ini!”, pinta dokter pada perawat.

Tak lama, mas Rizal sudah di sampingku. Ia memegang tangan kananku. Kurasakan otot-otot punggung dan perut mengencang. Masya Allah, Rabb, kuatkanlah aku, ulurkan pertolongan-Mu. Gigiku gemeretak menahan sakit. Kupegang tangan mas Rizal kuat-kuat. Rabb, selamatkanlah anakku. Aku rela mati bila itu harus kulakukan. Bunda. Tiba-tiba aku ingat bunda. Sedang apakah bunda saat ini? Bunda, maafkanlah segala kenakalanku, kirimkanlah doamu untuk keselamatan anakmu ini!

“Ibu,  ikuti aba-aba saya!”

Mendengar perkataan dokter, aku mengangguk ringan.

“Yap, dorong Bu!”

“Heuugh...!” Ada sesuatu yang mengganjal di antara dua pahaku.

“Ya, dorong lagi Bu!”

“Heuugh...!”

“Lagi Bu!”

“Heuugh ...!”

“Ueek...ueek...ueek...!” Alhamdulillah, terima kasih ya Allah. Anakku lahir. “Hoehh”, tubuhku melemah, tulang-tulangku serasa dilolosi bersamaan dengan kelahiran anakku.

Alhamdulillah, Sayang, anak kita lahir!”, mas Rizal mencium keningku.

“Dok, bahaya, ibu ini mengalami pendarahan hebat!”, ujar salah satu perawat.

“Dok, ada apa dengan istri saya?”, tanya mas Rizal khawatir.

“Suster, cepat ambil beberapa unit darah! AB!”, perintah dokter. Seorang perawat segera berlari ke luar.

“Bapak sebaiknya keluar dulu!”, pinta dokter pada mas Rizal. Seorang perawat mendorong tubuh mas Rizal ke luar ruangan.

Ada apa denganku? Aku melihat tubuhku terbaring tak berdaya. Seorang dokter dan beberapa perawat sibuk di sekeliling tubuhku.

Assalamu’alaikum!” Ada yang mengucap salam dari arah belakang.

Wa’alaikumsalam!” Kubalikkan tubuh. Aku melihat dua laki-laki tampan. Memakai  baju putih bersih. Aku mencium aroma wangi, semerbak di sekeliling mereka.

“Kalian siapa?”, tanyaku.

“Kami adalah utusan Tuhanmu.”

“Ada perlu denganku?”

“Iya. Kami akan membawamu pergi!”

“Kemana?”

“Ke suatu tempat yang indah dan selalu kamu rindukan!”

Tempat yang indah dan selalu kurindukan? “Apa?”

“Menuju Tuhanmu! Kamu bersedia?”

Tuhanku? Hatiku bergetar hebat. Hingga tubuhku ikut bergetar tidak kalah hebat. Tuhanku. Allah....“Iya”

Salah satu dari mereka menggandeng tanganku. Dan kami terbang menjauhi tubuhku yang terbaring lemah. Sayup-sayup, kudengar adzan Dhuhur berkumandang. Tiba-tiba, aku melepaskan pegangan. Aku berbalik. Aku ingin menimang anakku dan bertemu mas Rizal. Ia pasti sedih bila kutinggal. Dan nanti, mereka bersama siapa bila aku pergi?

“Kamu mau ke mana?”

“Aku ingin menimang anakku”

“Anakmu?”

“Iya, aku juga ingin bersama suamiku”

“Kamu! Siapa yang kamu pilih? Tuhanmu, atau suami dan anakmu?”

Pertanyaan yang sulit, “Tuhanku!”

Mereka membawaku terbang kembali. Tinggi dan semakin tinggi. Aku sempat menengok, kulihat mas Rizal mengguncang-guncang tubuhku sambil menggendong anak kami. Dan aku juga melihat bik Nipah di samping mas Rizal. Orang-orang yang aku cintai. Tetapi, aku lebih mencintai Tuhanku. Aku lebih merindukan-Nya. Allah, jagalah selalu suami dan anakku, serta orang-orang yang mencintaiku. Sesungguhnya, Engkau adalah Penjaga Yang Paling Baik.

Sementara itu, di bawah sana, Rizal terus mengguncang-guncang tubuh Anisa. “Sayang, bangun! Lihatlah! Anak kita tampan sekali!”

“Bapak!”, ucap bik Nipah lirih.

Rizal memberikan anaknya ke bik Nipah. Dan ia langsung memeluk tubuh Anisa. “Sayang, jangan diam saja?” ujar Rizal dengan air mata berlinang.

“Bapak, biarkan ibu pergi dengan tenang!”, bik Nipah menyentuh bahu Rizal. Tetapi, Rizal seperti tidak mendengar. Ia memeluk tubuh Anisa erat. Seakan, tak ingin berpisah. Sebagian jiwanya hilang. Separuh raganya melayang. Dan meninggalkan separuhnya lagi merana. Rizal terus tersedu. Tiba-tiba, ada bisikan di telinganya. “Bila istrimu diberi pilihan, siapa yang akan ia pilih? Tuhannya atau kamu dan anakmu?” Rizal tersentak, ia sadar, Anisa bukan miliknya. Ia milik Penciptanya. Perlahan, Rizal membaringkan tubuh Anisa.

“Bapak, Ibu, permisi, kami akan membersihkan tubuh pasien”, dua orang perawat memasuki ruangan.

Tanpa berkata, Rizal dan bik Nipah berjalan keluar. Rizal mengambil anaknya dari gendongan bik Nipah. “Bik, bantu saya membesarkan anak ini ya!” Rizal mencium anaknya. Air matanya menetes. Ia merindukan Anisa. Tak kan ada lagi perempuan yang bermanja di pelukannya. Perempuan tangguh, tapi rapuh. Anisa. Cintanya pada Anisa tak tergantikan. Selamanya.

** Tamat**

Perpustakaan FK-UGM, Yogyakarta, 11 Desember 2008.

10 komentar:

  1. Karena belum dapat menemukan suasana hati yang tepat utk menuliskan pentas uji coba Maya---kupost saja cerita ini..hiks tetap membuatku bersedih...

    Andai aku tak harus menuliskan pentas uji coba,,hoh CINTA penuhi hatiku dengan kehangatanmu, karena aku merindukanmu..

    BalasHapus
  2. Aisya..dari Asa Abu Abu kedua lanjut ketiga kayak ada yg missing ya? -dian-

    BalasHapus
  3. hihihi...*malu-malu*...Dian bukan yang pertama ni ^^,--------bingung yaa,maaf yaa

    bolehkah kutebak?--mungkin proses pernikahannyakah?--itu sengaja kok ndak kutuliskan,,but kutuliskan dlm satu kalimat kalau Anisa menikah dgn Rizal..*8 bulan usia pernikahanku dengan mas Rizal*

    BalasHapus
  4. :D hehehe...iya.. kirain ada yg di skip...
    hohohoho...*penasaran dgn gmana Anisa nolak hafidz ke bunda*

    BalasHapus
  5. Oh, itu, harapanku, saat mengakhiri AAA II dan menuliskan AAA III pembaca akan berimajinasi sendiri tentang penolakan Anisa ke bunda--tetapi dalam imajinasiku, Anisa akan menyampaikan alasan, "Bunda, setelah shalat istikharah, saya memutuskan untuk menerima laki-laki pertama yang datang!" and so on.... :D

    BalasHapus
  6. aisy, aku menjadi terharu dengan cerpen AAA. sungguh menyentuh hati. sukses selalu ya buatmu.

    BalasHapus
  7. amin amin insya Alloh,,,terima kasih Alline, semoga....

    BalasHapus
  8. Cerpennya baguuus..
    Menyentuh kalbu
    Semoga setiap pembacanya mendapat hikmah

    BalasHapus
  9. Terima kasih Elf, amin amin..

    BalasHapus
  10. cerita yang bagus,cara bertuturnya juga. Cerita yang ini bikin saya sedih sampai menitikkan air mata..di kantor *malu juga sih. untung gak ada yang merhatiin*

    BalasHapus