Minggu, 26 Desember 2010

Dua Kumbang Dua Mawar

Ketika Aku Memilih


Tangannya terus bergerak. Menumpuk bulatan-bulatan buah berwarna orange. Tinggi dan semakin tinggi.
Sebelas hari, tak ada SMS dari Rara, wanita yang dua bulan terakhir ini sering mengisi hari-harinya, meski hanya sekedar kata-kata bijak, cerita hikmah dari keseharian Rara, atau mengajaknya berdiskusi.

“Mas Oka, jaga kesehatan ya..., biar gak KO oleh virus-virus yang banyak beterbangan di udara...” Itulah SMS terakhir dari Rara. SMS gak penting. Dan kubiarkan saja. Tak kugubris. Tapi, ada yang aneh? Apa dia....

“Hei Ka! Sampe kapan numpuk tu jeruk?” Tiba-tiba seseorang menepuk pundak Oka. Membuat Oka terlonjak, dan tumpukan jeruk setinggi tiga puluh sentimeter, runtuh tersenggol tangannya.

“Aduh, Agus, ngagetin aja!”

“Lha kamu, aneh gitu. Numpuk jeruk kok tinggi banget. Kerja atau nglamun, ha!”

“Ada masalah?”, lanjut Agus.

“Gak!”

“Eh Ka. Matamu itu lho, gak bisa bohong! Ada yang dipikir?”

“Kangen rumah? Mau cuti pulang ke Jakarta? Gak pa-pa Ka. Kamu dah enam bulan kan gak ambil libur?”, sambung Agus lagi.

Thanks Gus. Bener. Aku gak kangen rumah.”

“Trus kenapa, Be Te gitu? Atau kamu kangen ama cewekmu itu?”

“Itu, si Vivi, yang sering makan siang bareng kamu!”, goda Agus.

Hh, ternyata Agus memperhatikanku juga. Emang, akhir-akhir ini aku dekat dengan Vivi. Gadis Jogja yang manis, tapi agak agresif. Berbeda sekali dengan Rara. Meski Rara sering SMS, aku belum pernah mendengar suaranya di telepon. Si Vivi, bisa tiga sampai empat kali meneleponku dalam sehari. Bahkan, pernah, seenaknya dia menyabet HP ketika aku sedang membaca SMS. Entah apa yang ia lakukan. Kubiarkan saja. Toh, tidak ada yang penting. Kebanyakan, SMS-SMS supplier.

“Ka, nglamun lagi ya!”, teriak Agus.

“Eh, sorry Gus. Ada yang lewat!”

“Sama aja tu dengan nglamun tau!”

“Oya Ka, temen-temen ngajak touring tu? Ikutan gak kamu!”, ajak Agus.

“Boleh, ke mana Gus?”

“Depok!”

“Kapan perginya?”

“Besok, habis Subuh? Gimana, gabung?”

“Yups”

Astaghfirullah, aku ada janji dengan supplier! Gus, aku pergi ya! Telat ni!”, sambung Oka agak panik.

“Ya, sana pergi! Cepetan!”

Agus memperhatikan Oka yang berlari meninggalkannya. Oka, Oka. Ada apa denganmu? Tidak seperti biasa. Satu tahun bekerja denganmu, aku bisa mengenalmu dengan baik. Sebesar apapun masalah yang kamu hadapi, kamu tidak pernah ling-lung seperti ini. Apa kamu sedang jatuh cinta? Tapi, dengan siapa? Kalau dengan Vivi, jelas tak mungkin. Hampir setiap hari kamu ketemu dia. So, kamu gak bakalan ling-lung. Lalu, dengan siapa? Ah, nanti, si Oka pasti cerita. Tunggu tanggal mainnya saja.

**

Rara sibuk menekuni Textbook Organizational Behavior-nya. Dua jam, textbook itu di depannya, tetapi, kedua matanya belum juga jengah. Tak heran bila kaca mata menghias wajah manisnya. Di tengah asyik mewarnai point-point penting di textbook, tiba-tiba, HP Rara bergetar, ada SMS masuk. Dan Rara langsung membacanya.

“Ini siapa ya? Kok sms-sms Oka?”

Ehm, siapa nih orang? Tiba-tiba menginterograsi! Nggak sopan banget! Meski tidak suka dengan isi SMS itu, Rara tetap memberi balasan.

“Lho, ini siapa? Aku temennya mas Oka!”

Rara mengirim SMS pada nomor yang tidak dikenal. Tak lama, ada balasan lagi. Dan mereka terlibat dalam percakapan singkat melalui SMS.

“Aku Vivi. Ceweknya Oka. Oya, situ sering ya sms Oka?”

“Lumayan”

“Eh, kasih tau dong, Oka tu gimana seh orangnya?”

“Lho, situ kan ceweknya, kenapa tanya aku?”

“Oka rada tertutup. Eh, kira-kira, ada gak orang lain yang disuka Oka? Akhir-akhir ini, dia sering melamun.”

Membaca SMS terakhir itu, Rara mematung. Dia tak sanggup lagi melanjutkan percakapan dengan orang yang mengaku sebagai pacarnya Oka. Hatinya gerimis. SMS tak penting. Dan tak perlu ditanggapi.

Tiga bulan yang lalu, Rara berkenalan dengan Oka, melalui Onik, teman Rara kuliah-S2 di Unair. Onik ini adalah adek sepupu dari Oka. Bagi Rara, yang mempunyai pemahaman cukup baik tentang Islam, ia menginginkan perkenalannya dengan Oka bukan sekedar perkenalan. Tetapi, dalam rangka ta’aruf menuju jenjang pernikahan. Karena, bagi Rara, tidak ada kamus pacaran.

SMS dari Vivi ini lah yang membuat Rara berpikir ulang tentang Oka. Keseriusan Oka ber-ta’aruf dengannya. Rara seperti diduakan. Tetapi, Rara sadar, Oka, sebagai laki-laki, mempunyai hak pilih. Memilih siapa saja, wanita yang pantas menjadi istrinya. Dan membawa Rara dalam resah tak berujung.

**

“Ka, ayo turun!”

“Klik”, Agus segera menutup HP. Sepuluh menit, ia menunggu Oka. Selama itu pula, matanya terus mengawasi pintu bagasi rumah-kos Oka. Berharap, Oka segera keluar.

Lima menit kemudian, pintu bagasi bergerak. Terbuka perlahan. Dan Oka keluar menuntun Tiger-nya.

Sorry guys. Ada gangguan kecil tadi.”, ucap Oka dengan wajah tanpa dosa.

“Pasti ketiduran lagi!”, seloroh Agus.

“Ha.. ha.., tau aja Gus! Yok, berangkat!”

Sekelompok laki-laki, sekitar tujuh orang, bersamaan menghidupkan motor dan mengajaknya berlari meninggalkan rumah-kos Oka di Jalan Kaliurang. Mereka terus berlari ke selatan, ke arah Bantul.

Empat puluh menit, Oka dan keenam orang lainya telah berada di areal parkir pantai Depok. Tak lama setelah memarkir motor, mereka berjalan menuju pantai. Beberapa dari mereka ada yang memilih berjalan atau berlari kecil sepanjang pantai dengan bertelanjang kaki. Bahkan, ada seorang yang hanya duduk tak jauh dari garis pantai dengan tatapan lurus ke arah laut lepas. Beberapa kali air laut merendam kedua kakinya ketika ombak menghempaskan diri di garis pantai dan menyisakan ribuan buih putih. Tapi, sepertinya ia tak peduli.    

Tak lama, laki-laki itu berdiri dan terus bergerak ke tengah, hingga air laut setinggi lututnya. Badannya membungkuk, menenggelamkan kedua tangannya di air, dan membisikkan sesuatu.

Tiba-tiba, tubuh itu limbung tertepa ombak yang cukup kuat. Sebelum terseret ombak, dengan sigap seseorang yang terus memperhatikannya menyeret tubuh itu ke tepi. Seseorang itu adalah Agus.

“Gila kamu Ka, mau bunuh diri!”

“Gak, aku berdoa!”

“Ngawur, berdoa ya berdoa, tapi gak gitu caranya!”

Laki-laki itu, yang ternyata Oka, terdiam.

“Ka?”

“Aku gak pa-pa Gus!”

Oka berjalan menuju parkir, menghidupkan motor, dan melaju keluar Depok.

“Ka, tunggu...!”, Agus berteriak, tetapi, Oka telus melarikan motornya.

Agus segera menyusul Oka. Melarikan motornya dengan kecepatan yang ia sanggup. Namun, Agus tidak menemukan jejak Oka. Oka, ada apa denganmu? Sambil terus berpikir, Agus berbalik arah kembali ke pantai Depok dan bergabung dengan yang lain.

**

“Ra, ada laki-laki yang baik sedang cari pendamping. Kamu mau gak?”

“Mbak Li, dia tajir gak?” Rara menatap wanita yang ia panggil mbak Li, kakak tingkatnya di S2.

“Kamu serius Ra, cari laki-laki tajir? Gak takut dibilang matre?”

“Kenapa mesti takut Mbak? Emang Rara butuh uang banyak kok! Kalo gak tajir, bakal kesusahan tu jadi suaminya Rara.”

“Mbak kan tau, Rara dah gak kerja lagi. Agenda kuliah padat, gak memungkinkan Rara kerja sambilan. Honor menulis pun, tidak seberapa. Paling, bisa bantu Rara beli buku. Ndak mungkin kan Mbak, Rara merepotkan ortu ketika Rara dah menikah!”, bela Rara.

“Iya, mbak ngerti kok!”

“Lalu?”

“Apa?”

“Lakinya Mbak, jadi gak ditawarkan ke Rara?”

“Eh, iya, ini biodatanya. Jangan khawatir. Ia dah mapan dan kerja di depkeu, cukup lah untuk membiayai hidup dan sekolahmu!”, ucap mbak Li sambil menyodorkan amplop coklat berukuran kertas A4.

Rara meraih amplop yang disodorkan mbak Li. Membukanya perlahan. Dan mulai membaca. Ehm, laki-laki yang baik. Prestasi dan pengalaman organisasi, cukup baik. Gimana ya? Mas Oka tidak jelas. Tiga minggu aku tidak menghubunginya, dia juga tidak menghubungiku. Mungkin, lebih baik aku ber-ta’aruf dengan laki-laki ini. Bila mas Oka mempunyai beberapa pilihan, kenapa aku tidak? Bila mas Oka memilih perempuan lain, pasti aku gigit jari!

“Gimana Ra?”

“Ehm, Mbak, Rara shalat dulu ya?”

Okay, kalau positif, kasih tau mbak ya?”

Okay Mbak, don’t worry!”

**

Oka memperpanjang doa. Ya Allah, tunjukkanlah kepadaku, pilihan yang terbaik. Selesai berdoa, Oka menyapukan kedua tangan ke wajah, dan mengesat butiran bening di sudut mata.

“Mas!”

Mendengar sapaan, Oka menengok ke samping kanan. Seorang bapak, berwajah teduh dan bersih, mengulurkan tangan kepadanya, mengajak berjabat tangan. Oka pun menyambut dengan hangat.

“Ada masalah?”

“Iya Pak, dan cukup menguras energi saya!”, ucap Oka.

“Ada yang bisa bapak bantu?”

“Sebenarnya masalah pribadi. Saya bingung memilih. Ada dua wanita. Yang pertama, selalu ada di dekat saya, memberi perhatian setiap saat. Yang kedua, nun jauh di Surabaya,  otomatis, interaksi dan perhatian tidak seintens yang di sini. Tetapi, saya tidak bisa terlepas dari wanita yang kedua. Meski dia jauh, bayangnya tak terusir, walau ada wanita pertama di dekat saya!”, Oka menceritakan uneg-uneg hatinya. Ada sesuatu yang menggerakkan hati Oka, hingga bercerita tentang masalahnya. Ini lah, kali pertama Oka bercerita. Kepada Agus, teman terdekatnya, tidak dilakukan.

“Shalatlah istikharah! Insya Allah, Allah akan memberi pilihan yang tak kan membuatmu menyesal!”

Oka terdiam.

“Pernah shalat?”

“Belum Pak!”

“Maka, shalatlah! Memohon petunjuk-Nya! Jangan pernah menyepelekan! Hati manusia itu labil, dan ia butuh penguat dari Yang Maha Kuat!” Mendengar kalimat terakhir dari bapak itu, Oka tersentak. Selama ini, Oka mengandalkan logika. Berusaha mengumpulkan poin-poin dari Vivi dan Rara, siapa yang memiliki poin tertinggi, maka, ia lah yang akan Oka pilih. Oka terlupa meminta petunjuk khusus dari Penciptanya, walau Oka tak terlupa berdoa setiap selesai shalat.

“Terima kasih Pak, saya akan....”, Oka tidak melanjutkan kata-kata, karena bapak itu tak lagi di sampingnya. Oh, bukannya tadi si Agus yang shalat di sampingku? Lalu, siapa bapak tadi? Malaikatkah? Kalau setan, tidak mungkin menyarankan shalat. Ya Allah, terima kasih, dan maafkanlah kealpaanku.

Oka bangkit dari duduk. Melangkah keluar mushola. Oka melihat Agus duduk santai di serambi mushola. Oka pun duduk di samping Agus dan mulai mengenakan sepatu.

“Lama banget Ka?”

“Iya, tadi ngobrol dengan bapak-bapak! Kamu lihat gak, ada bapak yang keluar? Aku belum sempat berterima kasih!”

“Bapak-bapak? Gak ada yang keluar Ka! Sejak selesai shalat, ya kamu aja yang ada di mushola!”, Agus menatap Oka heran.

“Yang bener Gus?”

Swear!”

“Oh ya, tadi aku sempat ngliat kamu komat-kamit sendiri. Pikirku sih lagi dzikir!”, lanjut Agus.

“Jadi bener dong Gus, aku ngobrol dengan makhluk ghaib! Soalnya, tadi kan kamu yang di sampingku, aku sempat heran, kok bisa berganti dengan bapak-bapak ya!”

“Bersyukurlah Ka, lagian, ia baik kan?”

“Iya, ia bantu aku nyelesaiin masalah!”

“Masalah? Boleh tau? Akhir-akhir ini, kamu aneh Ka! Pokoknya, perilakumu, tidak seperti biasa!”

“Maaf Gus!”, ucap Oka sambil berdiri. Dan beranjak meninggalkan mushola.

“Tunggu Ka, kamu jangan bikin penasaran dong!”, Agus setengah berlari menyusul Oka.

 “Udah lah Gus!”

“Aku gak boleh tau Ka?”

Okay deh, masalah wanita!”

“Kamu jatuh cinta?”

“Mungkin!”

“Sama Vivi?”

“Bukan!”

“Ka, serius! Cewek yang deket sama kamu kan si Vivi!”

“Itulah Gus, aku bingung. Tidak hanya Vivi, ada yang lain, dan kamu belum tau. Tapi, dah ada penyelesaian. Aku akan shalat, minta petunjuk Allah, so, kamu gak usah khawatir! Okay!”, ucap Oka sambil menepuk bahu kanan Agus.

Okay deh Ka”, Agus pun menepuk bahu kiri Oka, tanda bahwa Agus percaya pada temannya itu.

**

“Rara, hari Minggu ini, aku ingin bertemu denganmu. Insya Allah aku ke Surabaya!”

Rara membaca SMS dari Oka tidak percaya. Mas Oka akan ke Surabaya? Khusus bertemu denganku! Ada apa? Pentingkah? Rara berusaha meraba, arti kedatangan Oka. Tetapi, otak Rara tidak lah sanggup mengetahui hal yang masih ghaib.

“Mas Oka, ke Surabaya naik apa? Kereta, bus, atau pesawat?”, balas Rara.

Tak lama, ada balasan dari Oka.

Insya Allah pesawat, menghemat waktu.”

Rara memberi balasan lagi.

“Mas Oka pernah ke Surabaya gak? Apa perlu Rara jemput?”

Oka pun membalas lagi.

“Belum pernah. Boleh, pesawatku jam delapan pagi dari Jogja. Thanks.”

Okay Mas, insya Allah, nanti Rara jemput. See you...”, balasan terakhir Rara. Setelah itu, percakapan mereka berakhir.

**

Dua jam, Rara duduk di ruang tunggu. Bila mas Oka berangkat jam delapan, seharusnya sudah tiba sejak tadi. Atau keberangkatan pesawatnya di-delay? Mas Oka kok gak memberi tahu? Rara melirik jam tangannya, menunjukkan pukul 10.30 waktu Surabaya. Akhirnya, Rara memberanikan diri meng-SMS Oka.

“Mas Oka, apa pesawatnya di-delay? Kok belum sampai?”

Setelah sepuluh menit mengirim SMS, report pengiriman belum ada. Yah, ditunda. Berarti, mas Oka dah terbang ni! Rara terlihat lega.

Tepat pukul 12.00, Rara mendengar, bagian informasi memberitahukan bahwa sepuluh menit lagi, pesawat yang ditumpangi Oka akan landing. Ehm, kok berdebar? Aduh Rara, tenang dong! Untuk menenangkan diri, Rara menarik napas panjang, kemudian menghembuskannya kembali. Alhamdulillah, agak tenang. Rara mengusap-usap dadanya.

Rara mengamati rombongan orang-orang yang berdatangan. Rara mencari sosok Oka. Di kejauhan, ada seorang laki-laki melambaikan tangan pada Rara. Oh, itu mas Oka.

Assalamu’alaikum”, ucap Oka sambil menangkupkan kedua telapak tangan.

Wa’alaikumsalam”, Rara membalas salam dan melakukan hal yang sama seperti Oka.

“Apa kabar Ra?”

Alhamdulillah, baik Mas.”

“Oya, kita langsung aja ya Mas?”, ajak Rara.

Oka hanya menganggukkan kepala. Mereka pun segera berjalan menuju pintu keluar.

“Eh, Mas, itu ada taksi!”, dengan setengah berlari, Rara melambaikan tangan ke arah taksi yang baru saja menurunkan penumpang.

“Aduh Ra, gak usah berlari kenapa?”, tegur Oka.

“Tar dipake orang Mas! So, mesti cepet-cepet!”

Oka dan Rara masuk ke dalam taksi secara bersamaan. Oka duduk di depan, di samping sopir. Dan Rara duduk di belakang.

“Kemana Mbak?”, tanya sopir taksi.

“Surabaya Pak!”, jawab Rara.

Taksi pun meluncur menjauhi bandara. Menuju arah kota Surabaya.

“Mas Oka, tumben libur? Kata Onik, Mas kan gak pernah ambil libur?”, tanya Rara.

“Kan demi kamu Ra!”, ucap Oka singkat.

Mendengar jawaban Oka, wajah Rara bersemu merah. Ada yang berdesir halus di dada Rara. Rara tersanjung.

“Oya Ra, kok sendirian?”, tanya Oka.

“Eh, iya Mas, temen-temen Rara gak ada yang bisa nemenin!”, jawab Rara.

“Mas Oka mau diajak kemana?”, sambung Rara.

“Terserah Rara aja! Lagian, aku gak lama kok, jam tiga sore mesti balik ke Jogja!”, timpal Oka.

Rara setengah percaya, laki-laki di depannya, rela membayar tiket pesawat PP Yogyakarta-Surabaya, hanya untuk tiga jam di Surabaya. Mas Oka memang gila!

“Kalo gitu, kita ke Cito aja ya Mas? Kita makan di sana. Tar, kalo Mas balik ke bandara, gak terlalu jauh.”, ide Rara.

“Boleh, aku juga dah lapar neh!”, sambut Oka.

“Pak, ke Cito aja ya?”, pinta Rara ke sopir taksi.

“Iya Mbak”, jawab sopir taksi.

Tidak lebih dua puluh menit, taksi telah memasuki areal Cito atau City of Tomorrow. Sebuah hunian modern di daerah gerbang masuk Surabaya. Taksi berhenti tepat di depan pintu masuk utama Cito. Setelah membayar ongkos taksi, Oka dan Rara keluar dari taksi, dan langsung masuk ke Cito.

“Wah, keren juga nih Ra! Tak lama lagi, Surabaya pasti dah nyamain Jakarta!”

Mendengar komentar Oka, Rara hanya tersenyum.

“Mas mau makan apa?”

Sea food aja ya Ra!”

Okay deh!”

Oka dan Rara segera mencari resto sea food. Akhirnya, mereka memilih sebuah resto terkenal. Tak lama mereka duduk di dalam resto, seorang waitress menghampiri dan menyodorkan menu makanan. Untuk beberapa saat, Oka dan Rara memilih menu, kemudian menuliskannya di kertas pesanan dan memberikannya kembali ke waitress.

Selama menunggu makanan, hening melingkupi mereka sesaat. Tetapi, Oka segera mencairkan suasa.

“Ra, aku ingin menyampaikan sesuatu!”

“Ya?”

Rara menunggu kata-kata selanjutnya terucap dari bibir Oka. Rara memperhatikan Oka serius. Sementara itu, Oka sekuat tenaga melawan nervous, dadanya berdebar kencang, keringat dingin mulai membasahi bajunya. Dengan sedikit gemetar, Oka merogoh sesuatu dari saku celana, dan menggerakkan bibir.

“E..., Ra, kamu...” Oka tidak melanjutkan kata-kata. Apa yang dilakukan Oka, membuat Rara semakin penasaran.

“Apa Mas?”

“Ee..., Rara..., would you marry me?” Oh, akhirnya, terucap juga! Oka mengucapkan sesuatu yang membuat jiwa Rara terlonjak, melambung ke atas, dan semakin ke atas. Sesaat, Rara seperti di awang-awang. Oh, mas Oka. Ini yang Rara tunggu-tunggu dari mas Oka.

“Ra..!”, panggil Oka sambil menyodorkan sebuah kotak kecil ke depan Rara.

“Eh, iya Mas!” Rara tersadar.

“Ini apa Mas?”, tanya Rara heran, melihat kotak kecil di hadapannya.

“Buka aja!” Rara membuka kotak itu perlahan. Setelah melihat isinya, Rara melotot.

“Mas, ini kan mahal!”

“Hadiah untukmu!”

“Rara gak bisa menerimanya!”

“Cincin ini pasti sebagai ikatan. Rara belum bisa jawab Mas. Rara mesti istikharah dulu, jadi, Rara gak bisa menerima barang ini!”, Rara menyodorkan kembali kotak itu ke arah Oka. Rara ingat, lima hari yang lalu, Rara menerima biodata laki-laki yang akan ber-ta’aruf dengannya. Dengan kedatangan lamaran Oka, Rara harus memilih, manakah yang terbaik? Mas Oka, maaf, meski Rara sangat tersanjung, Rara belum bisa menyambut pinangan mas. Rara harus adil. Rara tidak boleh mendzalimi laki-laki itu....

Gelisah menyergap hati Oka, jawaban yang meluncur dari mulut Rara, di luar dugaannya.

“Ini hadiah untuk Rara!”, Oka menyodorkan kembali kotak itu ke arah Rara.

“Tapi Mas...”

“Rara, hari ini, kamu ulang tahun kan! Anggap saja, ini hadiah ulang tahun! Okay!”

Sekali lagi, Rara tersanjung dengan perkataan Oka. Membuat jiwa Rara melayang-layang. Hadiah Ultah. Gak pa-pa sih. Tapi, ini terlalu mahal...., tapi, bila ada rizki, kan tidak boleh ditolak!

“Iya deh, Rara trima, tapi, lain kali, hadiahnya jangan mahal-mahal ya Mas!”

“Nah, gitu dong. Coba dipake!”

Rara membuka kotak kecil itu. Tangan Rara mengambil sebuah cincin, terbuat dari emas putih, berhias tiga buah permata di tengahnya, kemudian memasangkannya di jari manis. Subhanallah, pas di jariku. Jari-putih Rara, terlihat semakin cantik dengan sebuah cincin melingkar di jari manis. Melihat Rara memakai cincin pemberiannya, Oka tersenyum bahagia.

“Permisi Pak, Bu, ini pesanannya”, ucap waitress.

Melihat makanan terhidang, Oka dan Rara segera menikmati. Tak terasa, waktu membawa mereka ke pukul 14.00. Setelah makan, dan membayar semua makanan, Oka pun segera meluncur ke bandara. Dan Rara, melepas Oka dengan berat hati. Oka telah berhasil membawa sebagian jiwa Rara, yang akan mengikuti Oka kemana pun Oka pergi, hanya saja, Rara belum menyadarinya.

**

“Ra, ini pemberian kakak!”

“Apa ini Nik?”, tanya Rara pada Onik.

“Ini mukena Ra, dari kak Oka!” Mendengar apa yang disampaikan Onik, mata Rara berbinar-binar. Oka memberinya sepasang mukena cantik.

“Tiit..tiit..tiit....” Rara terkejut dengan suara alarm. Oh, masya Allah, hanya mimpi. Rara melirik jam meja, pukul tiga pagi. Aku bermimpi diberi sepasang mukena oleh mas Oka. Apa artinya? Apa itu petunjuk Allah? Bahwa mas Oka lah yang terbaik? Rara tak ingin meraba-raba, ia segera bangkit, mengambil air wudhu, dan menunaikan shalat. Memohon petunjuk dari Yang Maha Tahu.

**

“Ra, bagaimana hasilnya?”

“Iya Mas Oka!”

“Iya apa Ra?”

“Iya, Rara mau menjadi istri Mas Oka!” Rara berucap dengan menunduk.

Subhanallah, terima kasih ya Ra, mau menjadi istriku!”

“Rara juga, terima kasih, Mas Oka mau menjadi suami Rara!”

Oka dan Rara, masing-masing, menikmati gelombang kebahagiaan di hati mereka. Yang akan melabuhkan bahtera di dermaga keridhoan, ridho Tuhannya. Di Surabaya, Rara menutup telepon dengan penuh harap, semoga Allah melancarkan pernikahannya dengan Oka. Begitu pun di Yogyakarta, Oka berdoa, berharap, ia dapat membahagiakan Rara, dunia dan akhirat.

**Selesai**

3 komentar:

  1. berucap 'bismillah',,,semoga menulis menjadi langkah baru dalam meyampaikan kebaikan,,,

    saya menyambut baik segala masukan yang membangun *seperti ujian seminar* :D

    BalasHapus
  2. Bagusss...
    Tetap semangat dalam menciptakan karya tulis yang bermanfaat buat sesama

    BalasHapus
  3. amin, insya Alloh..Terima kasih..

    BalasHapus