Senin, 14 Februari 2011

TopengKacaKu: Enchanted III




Cintaku Tak Menuntut, Pak Masumi!


Di atas panggung, dengan setting kuil yang sederhana, Terafusa duduk bersila didampingi beberapa pengawal di sisi kanan-kirinya. Ia berhadapan dengan seorang laki-laki―tak lain adalah Koji―yang salah satu tangannya memegang pisau pahat dan tangan lainnya memegang palu berukuran sedang dari kayu. Di samping Koji, sebatang kayu, dengan diameter 40 cm dan tinggi 90 cm, berdiri tegak. Di permukaannya, terlihat tatahan yang belum sempurna.

“Para pengawalku menemukan patung-patung Budha pahatanmu yang terukir ‘ketulusan’ di bagian bawahnya”, ucap Terafusa, “Apa maksud tulisan itu?”

“Selama ini, aku tak pernah berbuat baik. Tapi, patung-patung itu kubuat dengan setulus hatiku”, sahut si laki-laki, “Maka, kuukir ‘ketulusan’ di sana”

“Plak” Terafusa memukul lututnya dengan gembira. “Jadi benar, dugaanku. Menurut peramal istana, pemahat yang dicari adalah orang yang tulus hatinya”, timpal Terafusa dengan wajah bersinar, “Kaulah pemahat yang dimaksudkan oleh Kaisar yang dapat memahat patung bidadari itu”, Terafusa mengarahkan telunjuknya kepada Koji yang terhenyak seketika.

Sejurus lamanya, terjadi adu pendapat antara Koji dan Terafusa. Koji mengajukan alasan-alasan bahwa dirinya bukanlah pemahat yang dimaksudkan. Namun, dengan segala kearifannya, Terafusa berhasil menanamkan pemahaman pada diri si pemahat. Lantas, Terafusa berkata, “Kamu dalah orang yang tulus hati. Dan mulai sekarang, kamu kuberi nama Isshin yang artinya si tulus hati” Tetap dengan kebijakannya, Terafusa menambahkan,” Kudengar, kau tidak bersedia meninggalkan tempat ini, maka kubawakan peralatan pahat yang dapat membantumu memahat patung sang bidadari” Kemudian, pengawal Terafusa menyodorkan beberapa kotak yang berisi berbagai alat pahat kepada Isshin.

“Oh, Koji memang tampan...!”, bisik seorang gadis berumur sekitar 20 tahun disertai keterpesonaan, “Andai aku dapat berkencan dengannya”, senyumnya merekah dengan mata menerawang.

“Hei”, teman perempuannya mencolek lengannya, “Jangan terlalu mengkhayal! Apa kamu tak tahu kalau Koji mencintai Maya?”

“Aku tak peduli!”, sahut si gadis tetap dengan sorot mata mengawang.

Di atas panggung, Koji berdiri di satu ujungkanannya, sepasang matanya mengamati mayat-mayat yang bergelimpangan. Lalu, ia melangkah maju. Tepat di tengah panggung, Koji menghentikan langkah tatkala terdengar rintihan seseorang yang menahan kesakitan. Koji menebar pandangan di seluruh area panggung, mencari sumber suara. Ia membalik badan, tatapannya berhenti pada sesosok laki-laki, mengenakan baju besi di bagian dada dan perutnya yang bersimbah cairan merah mengental. Perlahan, Koji menghampiri si laki-laki yang sedang meregang nyawa. Kemudian, ia berlutut di sampingnya. Mengangkat satu kakinya, meraih tubuh si laki-laki, dan menyandarkannya di pahanya. “Bertahanlah! Ini aku, si pemahat yang dulu pernah kau rampok!”, panggil Koji penuh pengharapan.

Mata si laki-laki mengerjap-ngerjap. Peluh sebesar butiran jagung bercucuran di dahinya, disertai napasnya yang menyesak. “Syu...syukurlah kau masih hidup”, kata si laki-laki dengan tersengal-sengal, “Kalau aku mati, tolong...tolong pahatkan patung Buddha untukku!”

Mendengar permohonannya, Koji merogoh kantong bajunya, lantas mengeluarkan pahatan kayu yang ternyata patung Buddha berwajah kepala si laki-laki. “Ini, aku telah memahatnya selama perjalanan sesuai dengan permintaanmu dulu”, koji menyodorkan pahatannya.

Wajah si laki-laki yang pucat pasi bersinar cerah, “Terima kasih, jadi inikah wujudku?”, ucapnya seraya butiran bening mengalir di dua sudut matanya, “Sekarang, aku akan memulai perjalananku ke atas sana dengan tenang”, lanjut si laki-laki dengan senyum mengembang. Perlahan, kedua matanya mengatup, lalu ia menghembuskan napas terakhir dengan tangan memagut patung Buddha yang diberikan Koji.

Mengetahui laki-laki yang bersandar di pangkuannya tak bernyawa lagi, Koji merebahkannya dengan pelan di atas panggung. Lalu, ia berdiri. Menunduk. Rasa haru menyeruak di dalam dadanya dengan hebat. Menyadari bahwa patung pahatannya telah menghibur orang yang tengah menghadapi maut. Disusul aliran bening di pipinya. “Akulah yang ditolong, bukan kamu”, ucap Koji seraya menghapus air matanya.

Saat ini, tekad kuat meretas di dalam diri Koji, “Aku tidak memahat patung bagus, atau yang akan mendapat pujian semua orang atau oleh Kaisar maupun Terafusa”, suara Koji memekik dengan lantang, “Tapi, patung yang dapat menolong hati orang-orang di dunia ini. Bila tangan ini mampu, akan kukorbankan jiwaku untuk memahat patung bidadari itu. Aku pasti menemukan pohon plum yang berusia ribuan tahun”

“TAAM...TAAM...TAAM....” Terdengar tabuhan kotsuzumi yang menyadarkan penonton dari keterperangahan mereka atas ambisi Koji yang berapi-api.


PLASS. Setelah suara kotsuzumi menghilang, tampak sorot lampu mengarah pada sosok gagah yang berdiri di ujung kiri panggung. Terafusa. Sejurus kemudiaun, ia berujar, “Sejak saat itu, Isshin membulatkan tekad. Mencari pohon plum merah. Ia terus bergerak ke arah selatan, seperti niatnya semula. Melalui hutan, menaiki gunung, mendaki karang, dan menyebrangi sungai”, Terafusa menceritakan perjalanan Isshin dengan baik, “Akhirnya, di suatu hutan lebat, Isshin kehilangan arah, ia hanya berputar-putar di satu bagian hutan. Tersesat. Tiada bantuan. Setiap hal yang ditemuinya membisu atas arah yang harus ditempuhnya, untuk menemukan pohon plum abadi”

PET. Kondisi panggung menggelap. Sesaat kemudian, “PIIP PIIP PIIP”, bebarengan dengan alunan shinobue, panggung kembali terang benderang dengan latar hijau, hamparan hutan. Lengkap dengan tiruan pohon-pohon yang berdiri gagah. Di bawah satu pohon, dekat ujung kanan panggung, Koji duduk bersandar di batang pohon. Wajahnya mengkilat, tampak kelelahan. Pelan, jemari–kanannya menyeka lelehan keringat di dahinya. “Kemana lagi kakiku melangkah? Tidak adakah yang dapat memberikan petunjuk?”, keluh Koji nyaris putus asa.
“PIIIP PIIP PIIP” Alunan shinobue kembali terdengar. 

WEERR. Mendadak, bayangan merah melintas di sisi panggung yang berlawanan dengan tempat Koji beristirahat, di antara rerimbunan pohon. Koji tak bereaksi, tak menyadarinya, tetap dengan posisinya. Hanya penonton meningkah, dengan setiap pasang matanya melompat. 

Namun, hampir tak berjeda, kepala Koji menoleh ke bagian kiri panggung, dengan hidung berkenyit-kenyit, seolah merunut bebauan yang tertangkap. “Oh, wangi apa ini?”, ucap koji dengan dahi berkerut, “Ini wangi bunga plum, tapi bukankah belum musimnya?”, lalu ia menegak dan menapakkan jejak kaki di lantai kayu pentas, dengan arah menjauhi tempatnya semula.

WEERR. Bayangan merah itu melintas lagi. “Eh”, koji terhenyak, langkahnya terhenti, “Lho, bunga bermekaran! Mungkin itu bunga plum abadi!”

Mendengar perkataan Koji terakhir, penonton diliputi keheranan. “Apa yang dilihat Koji? Kita tak melihat ada bunga yang merekah!” Walau diselubungi keanehan, mata penonton tertuju pada Koji yang terus bergerak, lantas mereka mendengar dialog lagi, “Eh, menghilang kemana bunga-bunga tadi? Walau hanya khayalanku, aku harus mendapatkannya!”


Lampu panggung padam. Gelap buta. Beberapa menit kemudian, panggung kembali bersinar oleh cahaya lampu, berlatar hutan hijau―tampak gugusan gunung, disertai gemericik air mengalir. 

Sekelompok penduduk desa, 3 orang, 2 di antaranya―wanita―berjongkok berjajar. Tangan mereka mencengkeram kain, menggerakkannya ke atas dan ke bawah, seraya riang bercengkerama. Dan seorang pemuda membahu gulungan kain, duduk bercengkung di belakang salah satunya. 

Kemudian, datang serombongan seniman, 1 wanita dan 2 laki-laki. Si perempuan memakai topi anyaman, sedangkan 1 pria yang bertubuh tinggi besar membawa keranjang di punggungnya, dan yang lain membawa sebuah kotsuzumi. Mereka berhenti tak jauh dari ibu-ibu yang asyik menyuci, “Apakah di sekitar sini ada desa yang akan melaksanakan perayaan?”, tanya seorang dari rombongan.

Serta merta, seorang ibu mendongak, “Oh, pergi saja ke balik gunung itu!”, tunjuknya dengan jari ke arah satu gunung, disertai senyuman ramah, “Ke desa di lembah itu”

“Desa itu bernama Lembah Merah, tempat Dewa Agung bersemanyam”, tanggap pemuda yang membawa tumpukan kain, “Daerah itu suci dan terlarang. Para penduduk selalu melindungi Dewa Agung tersebut. Dan hanya saat perayaan mereka menerima pendatang!”

Si penanya manggut-manggut!

“Di sana ada seorang gadis, Akoya, yang dapat mendengar suara dewa”, sambung ibu yang bertubuh agak gendut, “Dia pandai meramu obat, dan bila obatnya kurang mujarab, ia meminta pertolongan dewa untuk menyembuhkan”

“Menurut berita, ia-lah yang menyembuhkan Kaisar Yoshino!”, lanjut sang pemuda.

“Oh”, seniman yang membawa keranjang terlonjak, “Jadi, diakah yang menyembuhkan baginda?

“Eh”, bisik seorang ibu gemuk pada rekan di sampingnya, “Kabarnya, Akoya punya pacar!” Ibu-ibu itu mulai bergosip. “Dia orang yang jatuh di lembah. Lalu dirawat oleh Akoya dan mereka hidup bersama seperti suami istri”, ibu lainnya serius menyimak dengan mulut menganga, “Namun, sampai sekarang pemuda itu lupa ingatan!”

“Bahkan, Akoya tak mampu menyembuhkan sejauh itu”, pangkas pemuda desa. Sontak, orang-orang desa bergelak bersama.

“Hanya satu yang perlu diperhatikan”, sambung pemuda desa dengan nada menetak, “Jauhi daerah terlarang! Bila memasukinya, akan terkena kutuk dewa!”

“Kenapa begitu?!”, sanggah seniman wanita.

“Daerah terlarang itu tempat tinggal Dewa. Di sana terdapat jin dan naga yang bertugas melindungi Dewa Agung”, terang pemuda desa, “Suatu hari, ada perampok yang memasuki daerah terlarang. Lalu, beberapa hari kemudian, seekor serigala keluar dengan membawa penggalan kepalanya.

Si pemuda menarik napas, “Lantas, seorang kesatria hebat berkata ‘akan kuusir jin-jin itu!’. Dia tak mempedulikan peringan penduduk desa”, si pemuda melanjutkan kisahnya, para seniman terus menyimak, “Orang-orang desa mengira ia akan bernasib sama dengan perampok, tapi ternyata lebih dari itu, ia ditemukan mati dengan tubuh dipenuhi luka gigitan, yang dianggap gigitan naga”

Di kursi penonton, tak berbeda jauh dengan para aktor di panggung, orang-orang disergap kengerian. Cerita sang pemuda berhasil menanamkan satu peringatan besar bahwa daerah terlarang adalah tempat suci dan angker. Tak boleh dijamah. Sekonyong-konyong, hati mereka menciut. Tanpa keberanian, untuk mendekatinya.

TAAMM...TAAMM...TAAMM...!


Tabuhan kotsuzumi menggema. Mengeluarkan penonton dari selubung horor dunia Bidadari Merah. Setiap mereka merasakan kelegaan luar biasa, walau di sudut hati tetap tertinggal satu peringatan, kemistikan ini belum berakhir.

“Aku tak pernah mengira kalau pentas Bidadari Merah seperti ini!”, ungkap hati penonton wanita yang duduk di deretan tengah kursi.

“Apa maksudmu?”, tanggap temannya yang mendengar perkataannya.

“Seram!”, tubuhnya bergidik.

“Hm, berarti kau menyesal datang ke sini?”

“Tidak!”, sangkal si wanita, “Walau bulu-buluku sering merinding, entah apa, aku tak ingin melewatkan setiap sesinya. Aku benar-benar ingin mengetahui percintaan Bidadari Merah! Yang katanya sangat menyedihkan”

“Sama...!”

Sementara itu, di atas panggung, Maya dan Koji sedang melakukan adegan percintaan. Keduanya tampak sebagai sepasang kekasih sesungguhnya. Nada suara, bahasa tubuh, dan segala gerak-gerik mereka betul-betul menunjukkan dua insan yang sedang jatuh hati.

“Akoya”, panggil Koji dengan lembut, “Apa yang dapat kulakukan untuk membantumu?”

Maya tersenyum manis, “Tak ada”, sahutnya sarat ketulusan, “Kau cukup berada di sampingku saja!”

“Tak bisa...!”, kukuh Koji dengan kehendaknya, “Aku dapat memotong kayu, mengangkut air, dan mengolah ladang. Bahkan, aku dapat membantumu memilih tanaman obat. Ajari aku, Akoya”, sambung Koji penuh harap.

Maya membalik badan, tatapannya terpasak dalam ke mata Koji, yang seketika membuat Koji terkesiap. Maya....!

Lalu, Maya melangkah ke arah Koji dengan pelan. Di saat jaraknya hanya sejangkal dengan Koji, Maya menghentikan langkah. Kemudian, tangan kirinya terjulur, mendaratkan telapak-tangannya di rahang Koji, memagutnya lembut, “Kekasihku...!”, bisik Maya, “Bagiku, mata ini yang memandangmu, bibir yang menyebutmu, dan hati yang merindumu, itu cukup. Kau tak perlu memberi lebih!”

Koji, terbius mutlak oleh pernyataan cinta yang terkecap dari bibir Maya. Tulus, tanpa pamrih. Tiada keinginan di mata Maya kecuali keberadaannya. Maya, apakah ini kesungguhan? Namun, sedetik kemudian, Koji tersadar, oh, ini hanya akting. “Tapi Akoya―”, Koji berusaha meraih tubuh Maya, tapi terlambat, Maya berkelit menggoda, lalu berlari kecil menjauh.

“Akoya...!”, kejar Koji dengan gemas.

“Ho..ho..ho..ho....”, Maya tergelak manja melihat Koji yang berperan sebagai kekasihnya.

Tindak-tanduk Maya sebagai Akoya, menyedot keterpesonaan penonton. Total. Dengan ungkapan-ungkapan kasih yang keluar begitu saja. Alami. Tanpa rekayasa. Hingga setiap hati penonton merasakan, bahwa seperti itulah cinta belahan jiwa.

Masumi Hayami, pria yang pernah menerima ungkapan cinta dari Maya Kitajima, menembakkan sorot mata sarat kecemburuan. Sepanjang adegan atau ungkapan cinta Akoya dan Isshin, kedua tangannya mengepal, otot-otot wajahnya mengeras, disertai darahnya mendidih panas, meluap di ubun-ubun. Ia nyaris tak percaya, bahwa wanita yang di atas panggung itu hanyalah berakting. Tak sesungguhnya jatuh cinta dengan lawan mainnya. Tetapi, sepasang mata Masumi tak mampu mengelak karena segala yang tertangkap oleh pandangannya adalah Maya Kitajima sedang jatuh cinta dengan Koji Sakura. Hatinya mengeluh, apa sebaiknya aku pergi saja? Adegan ini tak seperti Wuthering Hights. Kali ini, ia sungguh-sungguh.

Ketika setiap hati disibukkan oleh pesona Bidadari Merah, 1 titik di dalam bumi, tepat 33 kilometer dari dasar Teluk Tokyo bagian utara, menggeliat, dengan kekuatan dahsyat―seperti hendak membebaskan diri dari cengkeraman tangan-tangan raksasa yang mengekangnya. Hingga menarik lempengan-lempengan kerak bumi lainnya turut serta. Patah. Bergeser, jauh ke arah pusat bumi.

Di saat bersamaan, daratan Honshu berguncang hebat, terutama area Metropolitan Tokyo, dengan radius ratusan kilometer, setelah hampir lebih dari 80 tahun tak tergoyang gempa besar.

Beberapa detik sebelum bumi Jepang bergetar, di gedung Lembaga Penelitian Gempa, seorang pria muda, Kido, duduk mengamati monitor dengan diagram gelombang yang terus bergerak. Mendadak, badannya berjingkat laksana tersengat aliran listrik puluhan volt, serta merta ia berdiri dan menoleh ke arah laki-laki setengah baya di tengah ruangan, “Profesor, terdapat gerakan aktif seismik berskala besar!”

“Dima―”

Belum sempat si pria yang dipanggil profesor melanjutkan perkataannya, bangunan yang mereka tempati berguncang hebat, “BERLINDUNG!!”, teriaknya.

“Tapi, Prof!?”, Kido tetap berusaha berdiri di depan monitor sementara lainnya mencari perlindungan―dari probabilitas kejatuhan benda dari atas. Kido berupaya membacanya lebih detail, dengan tubuh terhuyung, BUMB!!, tubuh Kido terjengkang ke belakang, dengan muka hitam terbakar.

Beberapa detik kemudian, plafon ruangan rubuh bebarengan gedung itu luruh ke bawah, mengubur segala gal yang tersimpan di dalamnya.

Malam itu, Kota Tokyo kebas, dengan dihantui jeritan-jeritan histeris dari bibir-bibir panik yang berhamburan keluar rumah, berdesakan di jalan-jalan menuju tempat-tempat lapang disertai ransel-ransel yang bergelayutan di bahu mereka. Bahkan, sebagian besar terjebak di dalam bangunan, tak sempat menghirup udara bebas, dan tertimbun hidup-hidup oleh reruntuhannya, rata dengan tanah.

Setelah beberapa menit, segala sesuatu yang ada di atas bumi Tokyo berhenti bergoyang. Tenang. Memberikan ketentraman pada hati-hati yang runyam. Namun, keadaan kota luluh lantak. Ratusan gedung, besar kecil, menjelma menjadi puing-puing dan debu. Jalanan tol retak, merekah, yang akan menelan mobil-mobil yang melintas di atasnya. Pepohonan, papan-papan baliho, dan segala yang tertancap kuat di pinggiran jalan-jalan protokol tumbang, menindih apa-apa yang tak sempat menghindarinya. Selain itu, tampak kobaran abi di beberapa tempat, dengan asap mulai membumbung di angkasa malam, terutama di bilangan area-area industri kota.

Tak lebih 10 detik, PETT, kota Tokyo dan sekitarnya menggulita. Aliran listrik mandek. Memadamkan segala jenis lampu yang senantiasa mendamari kota yang tak pernah mati. Kini, hanya bulan yang nyaris sempurna dan sinarnya kerap terkalahkan oleh polusi cahaya, berusaha menerangi kota di tengah kebutaan.

Tidak di Teluk Tokyo, di sana terjadi pergerakan air laut. Pesat. Jutaan kubik air tersedot ke satu titik laksana terdapat lubang luar biasa besar di lantai teluk dan menghisap cairan di atasnya. Mengeringkan garis pantai sepanjang pesisir teluk, gegas, merayap ke arah laut, menguak segala isinya, sejauh lebih dari 2 kilometer. Mencongolkan bebatuan karang, lumpur hitam, dan ribuan makhluk laut yang menggelepar-gelepar kekeringan, serta membanting begitu saja kapal-kapal yang terikat di dermaga.

Ancaman baru mengintai area pesisir teluk  Tokyo, memperkelam angkasa negeri Jepang. Tanpa penanda. Karena saat itu, segala macam kabel yang terhubung ke Metropolitan Tokyo dan kota-kota lain terputus, total, mengisolasi mereka dari dunia luar. Diperburuk dengan alat-alat pendeteksi bencana yang terdisfungsi, hingga terblokirlah sinyal-sinyal kuat yang bertebaran. Hanya menyisakan pencitraan satelit, namun tragis, tiada alat yang mampu merefleksikannya. Maka, Tokyo laksana terpidana mati sedang menunggu vonis peluru menembus jantung, dengan mata terbebat kain hitam. Sadrah.

Di lahan bekas stasiun Shiotomi, dalam keredupan cahaya bulan, tenda-tenda yang semula berdiri tegak, kini berebahan di tanah. Di beberapa bagian, tampak runtuhan gedung melesap ke dalam tanah, menandakan bahwa di area itu terjadi rekahan.

Satu per satu, penonton yang bergeletakan mulai bangkit. Sebagian besar dari mereka mengalami shock, akibat goyangan hebat yang terjadi sebelumnya. Beberapa orang yang tak mengalami luka serius, dengan spontan, mengulurkan tangan kepada mereka yang lebih menderita.

Terlihat, Genzo sedang membantu Mayuko Chigusa bangkit, “Anda tidak apa, Nyonya?”

“Aku baik-baik saja, Genzo”, sahut Mayuko tenang, “Kita beruntung di area ini, dan lihatlah! Kita juga jauh dari bangunan baru”, Mayuko membuang pandangan pada rontokan rangka gedung baru dan robohan tenda, “Paling parah, mereka tertimpa tenda!”

“APAKAH ADA DOKTER?!”

Tiba-tiba, terdengar teriakan luar biasa kencang. Masumi, yang baru saja berdiri, terperangah. Oh, itu suara Koji. Serta merta, Masumi menuju asal suara. Ketika ia hendak berlari, “hhhh”, terdengar suara rintihan, tak jauh dari tempat Masumi menginjakkan kaki, “Ayah...?!”, bisiknya. Lalu, ia mengubah arah, menuju rintihan seseorang yang sangat diakrabinya itu.

Pada saat yang sama, di dekat panggung yang telah rubuh, Koji membalikkan tubuh Maya dengan sangat hati-hati setelah berhasil menyingkirkan benda-benda padat yang menindihnya―dari rangkaian atap tenda.

“Bertahanlah, Maya...!”, bisik Koji penuh harapan, mengimbangi kekhawatirannya, “Bertahanlah...!”, setitik air menetes dari tapuk mata Koji, melihat Maya yang terbujur kaku.

Maya mengedipkan mata, lemah. Isshin, kekasihku...! Maya hendak menggerakkan tangan, meraih tangan Koji yang membelainya, namun, seluruh anggota badannya terkunci. Mutlak.

Tak jauh dari tempat Maya dan Koji, Kuronuma, sang sutradara Bidadari Merah, tergolek dengan aliran merah di pelipisnya, ditemani oleh segelondong besi di sisinya. Kemudian, seseorang menghampirinya, dan langsung melakukan tindakan semestinya.

Sementara itu, di teluk Tokyo, air laut yang semula bergerak menjauhi garis pantai, secara serentak, berbalik arah menuju pesisir, dengan kecepatan jet. Bergelombang, yang semakin mendekati daratan, elevasinya semakin meninggi. Menghantam bibir pantai, melompati benteng-benteng yang beretakan, dengan kekuatan dahsyat, hingga mampu menyapu kapal-kapal besar yang berlabuh dan bangunan-bangunan yang masih berdiri, menjebol pintu-pintu air di muara-muara sungai, mencerabut pohon-pohon dari akarnya, serta melalap apa saja di depannya, tanpa ampun. Terus merangsek jauh ke dalam kota.

Penduduk yang berada di jalanan, berlarian melawan arah pantai seraya meneriakkan, “Tsunami...!”, berlomba dengan lidah-lidah kelam yang bergerak dengan kecepatan tak seimbang. Beberapa memilih masuk ke dalam satu dua bangunan bertingkat yang masih menegak, namun, kalah cepat. Gulungan air melilit mereka, tak memberi celah, memerangkap dalam kegelapan.

Ayumi, yang berselonjor di satu bagian lahan proyek, seketika menegakkan badan, lantas tangannya menggapai-gapai seraya melaung panik, “Mama, semuanya, pergi dari sini...!”

Tindakan Ayumi yang meraba-raba, menyentakkan setiap pasang mata yang menangkapnya, namun terkalahkan oleh suara gemuruh dan pekikan histeris yang mendekat.

“APA, TSUNAMI...!!?”, lantang seseorang panik bercampur sigap, “Semuanya, menuju tempat tinggi, apa saja!!!”

Setiap tungkai berayun, gegas, mencari dataran tinggi, menyebar ke segala penjuru, dengan mata-mata nanar.

Di saat setiap orang berlarian, Masumi masih berjongkok di depan sesosok tua, “Ayah, aku tak mungkin mencabutnya!”, sesal Masumi seraya memandangi batangan besi yang menancap di kaki Eisuke, lalu matanya berkeliaran menembusi keremangan. Masumi menelan ludah, sial tak ada yang mampu mengapung, dan menambatkan tatapan pada satu bangunan bertingkat di sisi kiri lahan. “Ayah, kita harus cepat”, Masumi menarik tubuh Eisuke ke punggungnya ketika ekor matanya menangkap bayangan hitam semakin dekat, dengan nanar.

Masumi mengambil langkah seribu, dengan menggendong Eisuke. Mendadak, Masumi menghentikan langkah, dan menurunkan Eisuke. Cekatan, ia menarik dasinya. Dibantu Eisuke, mengikatkannya kuat di pergelangannya, bersatu dengan lengan bawah Eisuke. Setelah itu, suara gemuruh memekikkan telinga mereka. Seketika, setiap raga terperangkap dalam pergulatan kuyub dan gelap.

Di tengah kenanaran, Koji melurut patahan papan dari reruntuhan panggung, lalu meletakkannya di samping Maya. Kala Koji hendak mengangkat tubuh Maya, ia merasakan sesuatu yang kuyub mulai menggerogoti kakinya. Sesaat kemudian, terjangan kuat menghantam seluruh permukaan badannya. Sontak mendorong tubuh Koji, kuat, sekaligus melilitnya dalam gulungan cair.

Koji yang terbawa arus tsunami sempat merambah tangan Maya, menariknya. Namun fatal, bersamaan otot-otot tangan Maya mengencang, satu urat vital di lehernya puntung, hingga Maya melenguh, sesaat, sebelum akhirnya diam. Hanya ruhnya terus bergerak, menuju kelestarian.

Koji, terus mengepakkan telapak-kakinya laksana sirip-sirip ikan, dengan tangan mencengkeram kuat tubuh Maya. Ia terus berusaha melawan seretan arus yang mengombang-ambingkannya, berbenturan dengan benda-benda padat yang mengalami hal serupa. Aku bisa!, tekad Koji seraya berusaha mati-matian menahan napas dan mengatup bibir, dengan tubuh mengejang, terus merangsek ke permukaan. Dan ketika arus menghantamkannya ulang pada sesuatu yang lebih keras, spontan, mulutnya terbuka. Pertahanan Koji jebol. Refleks bernapasnya aktif. Paru-parunya mengembang. Menyedot cairan anyir ke dalam dan menyentaknya dahsyat. Eugh. Sekejab, sepasang mata Koji membeliak, meringis, menepis nyeri yang nyaris memecahkan tengkoraknya, tanpa memutus kepakan kaki-tangannya, kemudian segalanya melambat, dan diakhiri genggamannya merenggang.

Kini, tubuh Koji dan Maya mengikuti laju air ke mana saja, tanpa perlawanan. Berkenalan dengan benda-benda dan makhluk lain, termasuk sesosok wanita cantik, dengan rambut pirang dan panjang serta tak kalah pucat dengan kulit mereka. Selama belasan detik, ketiganya laksana berlomba, timbul tenggelam, dipermainkan arus tiada henti. Tanpa harus dirasuki kesakitan. Walau sedetik.

***

Di sebuah villa mewah, di dataran tinggi Hokkaido, seorang wanita cantik menyaksikan tayangan televisi dengan gambar suram. Tiada hal lain yang tampak di kejelitaannya kecuali sinar kekhawatiran. “Bibi, apakah sudah menghubungi Tokyo?”, suaranya kebas seraya menatap nanar wanita baya yang berdiri di depannya, “Kakek atau Masumi?!”

“Maaf, Nona Shiori”, sahutnya sendu, “Segala komunikasi ke Tokyo putus!”

“Apa!?”, Wajah Shiori memucat, lalu tubuhnya oleng sebelum terjerembab di lantai.

Si bibi berusaha menangkap Shiori, namun jaraknya terlalu jauh untuk menjangkau tubuh Shiori. Akhirnya, ia harus melihat kepala nonanya terbentur ubin marmer. Keras, beralas permadani.

***

Buih-puih ombak berpecahan, di pantai berpasir putih. Meninggalkan sisa basah yang tertimpas terik sinar surya. Setiap gelombang datang, hal sama selalu terulang. Bak rutinitas. Namun, tiada tanda berhenti. Karena alam menghendaki itu. Taat. Tiada pemberontakan.

Seorang wanita berkulit bersih, dengan seluruh anggota tubuh tertutup rapat, berlari-lari kecil di pinggir pantai. Kain penutup mahkota indahnya bergelebar-gelebar tertiup semilir. Kaki telanjangnya, putih, meninggalkan jejak-jejak yang langsung tersapu rata saat ombak menghampirinya.

Seketika, langkah-langkah kecilnya tersendat. Di depannya tergeletak sesosok laki-laki, berjas, dengan kulit membiru dan mengembung, namun masih menyisakan kegagahan. Sontak, suaranya memekik, “Abiiiii!!!”, seraya membalikkan muka ke belakang, ke arah laki-laki yang berjarak 10 meter darinya.

“Lihatlah!”, serunya saat si pria mendekat.

“Siapa dia?”

“Kita harus menolongnya, Bi”

“Pasti!”

***

Tujuh tahun kemudian....

Butir-butir salju berjatuhan dengan lembut. Bersatu dengan teman-temannya, menyelubungi permukaan segala hal di luar ruangan, putih, dingin, dan tebal.

Di sebuah kios bunga, berdinding kaca, terpajang beraneka bunga di keranjang-keranjang besar. Mencongolkan bagian-bagian terindah, memikat, menyebarkan kehangatan musim semi di puncak musim dingin.

“Bunga Anda luar biasa, indah!”, lontar seorang pengunjung seraya mengarahkan ekor matanya pada wanita elok yang berdiri di seberangnya, pemilik kios.

“Terima kasih”, sahut si wanita sembari membungkukkan badan.

“Tapi, kenapa yang terbanyak mawar ungu?”

“Oh, karena area terluas ditanami mawar ungu”

“Ehm”, si pengunjung manggut-manggut, “Baiklah, aku ambil 25! Mawar ungu!”, dengan tangan melurut tangkai-tangkai mawar dari keranjang.

Dengan terampil, si penjaga membungkus bunga-bunga pilihan pelanggannya. “Silakan”, ia menyodorkan bungkusan bunga, rapi dan indah.

“Terima kasih”

Setelah pelanggannya berlalu, pemilik kios menata ulang posisi bunga-bunganya. Wajahnya lembut. Tampak, memancarkan kecintaan yang besar pada setiap macam kembang di depannya.

“Nona Shiori...!”

“Eh, Bibi. Ada apa?”

“Maaf. Ada yang menitip pesan", timpal bibi meragu namun tetap menambahkan, "Apakah Anda tidak menengok perusahaan di Tokyo?”

“Aku cukup mengawasinya dari sini Bi”, nada suara Shiori menetak.

Bertepatan perkataan Shiori berakhir, seorang bocah laki-laki, tiba-tiba menubruk tubuh Shiori, “Mama, ayo kita ke Yuki Matsuri!”, rengeknya manja.

Shiori mengangguk, lalu mengarahkan mata ke bibi, “Aku akan ke sana saat Masumida dewasa!” Setelah itu, Shiori membungkuk, mengecup kening bocah itu, dan menggandengnya keluar kios. Si bibi hanya menguntit mereka dari jauh. Dibuncahi kebahagiaan, pada sepasang ibu dan anak, yang saling terikat oleh satu hal. Cinta. Tulus dan suci.

**TAMAT**

Minggu, 06 Februari 2011

Asa Abu Abu IV


“Mas, bila aku mati duluan, Mas nikah lagi gak?”

Aku mengajukan pertanyaan yang membuat mas Rizal terperangah. Tergambar jelas dari bola matanya yang melotot seketika. Meskipun melotot, tetap saja tidak bisa membuat matanya yang sipit melebar.

“Sayang, apa tidak ada bahan pembicaraan lain?”                                

Tampaknya, mas Rizal tidak suka dengan pertanyaanku. Aku juga aneh-aneh saja, tiba-tiba bertanya tentang mati.

“Ehm, perempuan yang dulu pernah minta Mas nikahi, udah nikah belum?”

“Tu, aneh lagi pertanyaannya! Gak ada yang lebih bermutu?”

“Ya udah. Aku tidur aja!”

Kusandarkan kepala ke kursi pesawat yang membawaku terbang dari Jakarta. Kuperhatikan arak-arakan awan putih dari jendela. “Gluduk, gluduk.” Tiba-tiba, pesawat ini bergoncang ringan, seperti mobil yang melewati jalanan berbatu. Pasti dia sedang melewati beberapa gumpalan awan. Aku terus memperhatikan awan putih yang tampak bersinar, tertepa cahaya matahari. Cantik. Andai bisa kusentuh. Kubayangkan diriku terbang dari awan satu ke awan yang lain. Ehm, seperti peri di film-film.

“Crek” Tiba-tiba, ada yang melepas sabuk pengamanku. Membuyarkan anganku seketika.

“Sayang, sandarkan aja kepalamu di sini!” Tangan-kekar mas Rizal meraih pundak kananku, dan menyentuh kepalaku lembut. Kepalaku tak lagi bersandar di kursi pesawat. Tetapi, berpindah ke bahu-kokoh mas Rizal.

“Ngambek ya?”

“Nggak”

“Ehm, dia bernama Raihana Rahmawati, biasa di panggil Hana.” Tanpa kuminta, mas Rizal bercerita tentang perempuan. Pasti dia. Perempuan yang pernah menjadi pacar mas Rizal. Aku menunggu kelanjutan cerita mas Rizal.

“Kami berkenalan di perpustakaan.”

“Mas langsung suka?”

“Nggak. Kami berteman dulu.”

“Iya. Kata Dea, Mas gak bisa langsung suka ama perempuan ya?”

“Ya. Aku mesti banyak mengenalnya.”

“Mas pasti gak cinta ama dia!”

“Kenapa bilang begitu?”

“Karena Mas gak berani menikahinya!”

“Karena aku belum siap!”

“Tapi, Mas dah kerja kan?”

“Belum cukup materi!”

“Mau nunggu kaya? Sampai kapan? Kalau seperti itu prinsipnya, pasti gak ada orang yang berani nikah! Bukankah Allah berjanji akan membuat kaya orang miskin yang menikah?”

“Memang. Tapi mas takut!”

Of course! Bila Mas berani, saat ini, pasti ku tak di samping Mas!” Kulingkarkan tanganku ke pinggang mas Rizal.

“Dia belum menikah?”, sambungku.

“Belum!”

“Mas masih cinta?”

Mas Rizal diam.

“Kenapa memilihku? Mas kan lebih mengenalnya, dibandingkan aku?”

“Karena Anisa Ramadhani berbeda dengan Raihana Rahmawati! Anisa lebih ....” Sebelum mas Rizal melanjutkan kata-katanya, jari telunjukku lebih dahulu mengunci bibirnya.

“Mas, bila Anisa mati duluan, Mas boleh menikahi Raihana!”

“Hus! Gak baik bilang begitu! Pamali!”

“Mas kan masih cinta ama dia! Gak masalah kan?”

“Tidak ada yang bisa menggantikanmu!”

“Tapi, bila aku gak ada, Mas nanti kesepian! Dan katanya, laki-laki tu lebih sulit menahan nafsu lho!”

“Siapa bilang?”

“Pas S2 dulu, ada bapak-bapak yang bilang, kalau ngliat anjing jongkok aja, pikirannya dah macam-macam!”

“Tidak semua laki-laki seperti itu!”

“Mas?”

“Iya?

“Mas mencintaiku?” Kuajukan pertanyaan yang selama ini selalu kusimpan. Aku yakin, laki-laki ini sangat mencintaiku. Aku tahu dari cara ia memperlakukanku. Tetapi, entah, ia tidak pernah mengungkapkannya.

“Sangat. I love you so much!” Mas Rizal memegang pundakku dan mengecup kepalaku lembut. Tiba-tiba, rasa kantuk menyerang pelupuk mataku.

“Mas, aku ngantuk, bila nanti dah sampai Juanda, dibangunkan ya!”

“Yap!” Kudengar suara mas Rizal sayup-sayup.

**

“Untuk hari ini, materi kuliah saya cukupkan sekian! Apabila ada pertanyaan, saya persilakan!” Kutebarkan pandangan kepada mahasiswa-mahasiswa yang selama 100 menit telah seksama mengikuti materi yang kusampaikan.

“Saya Bu!”

“Iya, silakan!” Kuperhatikan salah satu mahasiswa yang berada di pojok ruangan. Hhh, pandanganku mulai kabur. Kepalaku mulai berat. Apa minus mataku bertambah?

“Maaf Bu. Saya kurang jelas mengenai ....” Belum selesai kudengarkan pertanyaannya, badanku terhuyung. Sekuat tenaga, aku berusaha tetap berdiri tegak.

“Ibuuu...” Samar-samar aku mendengar teriakan, setelah itu, semua menjadi gelap.

**

“Anisa.” Ada suara memanggil namaku.

“Hhh”

“Syukurlah, alhamdulillah” Aku melihat mbak Candra duduk di sampingku. Dia bernafas lega

“Mbak, ini di mana?”

“Di Rumah sakit, tiba-tiba kamu pingsan. Karena khawatir, kami membawamu ke sini!”

“Sama seperti dulu!”

“Apanya?”

“Ya kejadian ini. Semua sama. Pertama, aku pingsan. Kemudian, aku tersadar dengan suara yang memanggilku. Semoga, penyebabnya tidak seperti dulu!”

“Emang dulu kenapa?”

“Dulu aku....” Aku tidak melanjutkan perkatakan. Ada seorang dokter perempuan masuk diikuti seorang perawat.

Assalamu’alaikum

Wa’alaikumsalam

“Bagaimana keadaannya Bu?”, tanya dokter sambil memegang pergelangan tanganku. Memeriksa denyut nadi.

Alhamdulillah, kepala saya tidak seberat tadi. Ada apa dengan saya, Dok?”

“Selamat, Anda hamil!” Dokter itu mengulurkan tangannya dan kusambut hangat. Subhanallah, aku diizinkan hamil lagi. Sudah hampir tujuh bulan sejak keguguran dulu.

“Apa kondisi kandungan saya lemah, Dok?”

“Ibu pernah hamil sebelumnya?”

“Iya. Dan saya harus bed rest!”

“Demi keselamatan kandungan Ibu, saya menganjurkan, Ibu harus melakukan bed rest lagi!”

Laa haula walaa kuwwata illaa billaah. Ya Rabb, ini lah ketetapan-Mu. Meski aku menginginkan bisa tetap beraktivitas selama hamil, ternyata Engkau mempunyai keinginan yang berbeda. Insya Allah, ini yang terbaik untukku.

“Terima kasih, Dok!”

“Sama-sama. Maaf, saya akan ke pasien lain! Ibu, dijaga baik-baik ya kandungannya!”, pesan dokter itu. Dan aku hanya mengangguk dan tersenyum. Kemudian dokter itu melangkah ke luar.

“Anisa, selamat ya! Dan yang sabar!”

“Terima kasih Mbak. Dibantu doa ya!”

“Iya” Mbak Candra memegang tanganku erat.

Setelah semalam menginap di rumah sakit, paginya, aku pulang. Setiba di rumah, aku menyiapkan surat-surat yang diperlukan untuk pengajuan cuti kerja maupun cuti kuliah S3. Serta menyelesaikan semua amanah kantor yang kupegang.

Aku harus mengabari mas Rizal. Dia pasti terkejut mendengar kabar kehamilanku. Segera kuraih HP dan men-dial nama “Masku” di phone book. 

Assalamu’alaikum. Ada apa?”

Wa’alaikumsalam. Mas sibuk?”

“Nggak. Baru aja shalat Dhuhur!”

“Mas, aku ke Denpasar ya?”

“Lho? Kan masih hari efektif!”

“Aku hamil!”

Alhamdulillah. Tapi kenapa harus ke sini? Cuti hamil kan belakangan!”

“Aku harus bed rest!”

“Hhh....” Kudengar mas Rizal mendesah.

“Mas, maaf ya, selalu merepotkan Mas!” Allah, sabarkanlah diriku. Berilah mereka, orang-orang yang telah banyak membantuku dengan balasan yang lebih baik. Terutama suamiku. Cintailah dia melebihi ia mencintaiku.

“Apa Mas menyesal, menikahiku yang lemah ini?”, tanyaku. Mulai ada yang mengalir di pipiku.

“Sayang, engkau adalah anugerah terindah. Mana mungkin aku menyesal!

“Hiks....”

“Lho, kok nangis! Maaf ya kalau ada yang menyinggung!”

“Mas terlalu baik. Dengan keadaanku, pasti membuat Mas susah!”

“Itulah, kenapa kita ditemukan. Untuk saling melengkapi! Okay?”

“Iya.”

“Nah, dijaga ya anak kita! Besok, kebetulan off, kamu kujemput!”

“Iya”

**

Di kehamilan yang kedua ini, aku jauh lebih berhati-hati dalam melakukan setiap aktivitas. Bik Nipah maupun mas Rizal, lebih ketat mengawasi. Agak mengekang, tapi itu adalah tanda cinta mereka. Mereka tidak menginginkan kejadian yang lalu terulang lagi. Manusia memang tidak tahu apa yang akan terjadi. Tetapi, diharuskan untuk selalu berusaha. Karena Ia, Sang Penguasa Hidup, tidak akan merubah nasib seseorang sebelum ia berusaha untuk merubah nasibnya sendiri.

Kandunganku memasuki usia delapan bulan. Mulai terasa berat. Tendangan-tendangan jabang bayi di perutku, semakin hari semakin kuat. Apalagi bila ada papanya mengajak bermain, wuih seru, dia laksana menendang bola ke segala penjuru. Tetapi, bila ia kuperdengarkan suara murottal Al Qur’an, ia akan hikmat mendengarkan. Dia berhenti bergerak-gerak, dan akan menendang lagi bila alunan murottal berhenti. Subhanallah, anak yang cerdas. Tiba-tiba, kerinduan untuk menimangnya menyergap hatiku. Satu bulan, Insya Allah, aku akan segera menimangnya. Buah cintaku dengan mas Rizal. Ya Rabb, jadikanlah dia anak yang shalih. Ku belai perutku lembut, ia menendang halus.

“Tok tok tok!” Terdengar pintu diketuk.

“Ibu, permisi!” Kudengar suara bik Nipah meminta izin masuk.

“Iya Bik, masuk saja!”

Bik Nipah membuka pintu kamar perlahan, kemudian ia masuk dan berjalan menuju almari. Memasukkan dan menata baju yang telah disetrika dengan rapi.

“Bik, maukah Bik Nipah menemani sebentar?”, kuajukan pertanyaan ke bik Nipah yang hendak melangkah ke luar.

“Iya, ada yang bisa saya bantu Bu?”

“Sini Bik!” Kutepuk pembaringan, meminta bik Nipah duduk di dekatku.

“Iya Bu?”

“Bik Nipah dulu merawat bapak semasa kecil ya?”

“Iya, kenapa Bu?”

“Tidak apa. Ehm, saya minta tolong ya Bik?”

“Silakan Bu!”

“Bik, bila saya tidak ada, Bik Nipah mau ya merawat anak saya?”, kuajukan pertanyaan ke bik Nipah. Aku yakin, perempuan yang ada di depanku ini cukup baik agamanya. Modal utama dalam mendidik anak-anakku nanti.

“Ibu bilang apa? Apa Ibu mau meninggalkan bayinya di sini? Tidak dibawa ke Surabaya?”, tanya bik Nipah heran.

“Anak, pasti kubawa ke mana saya pergi Bik. Mau ya, bila Bik Nipah saya ajak ke Surabaya!”

“Iya Bu!”

“Terima kasih”

“Sama-sama Bu, saya ke dapur ya Bu?”

“Silakan!” Bik Nipah melangkah keluar. Aku percaya pada perempuan itu. Ia pasti bisa membimbing anakku di tengah kesibukan papanya.

**

“Heuh’, perutku mulas. Kulirik jam dinding, menunjukkan pukul satu pagi.

“Mas, bangun Mas!” Kugoyang-goyang tubuh mas Rizal.

“Hhh, ada apa? Belum waktu tahajjud kan?”

“Mas, perutku mulas sekali. Mungkin anak kita mau lahir!”

“Hah?” Mas Rizal langsung terduduk.

“Benarkah?”, lanjut mas Rizal sambil memegang perutku. Perutku terasa semakin kencang. Mas Rizal langsung beranjak dari tempat tidur dan berganti baju. Ia memanggil-manggil bik Nipah. Meminta bik Nipah menyiapkan segala keperluan melahirkan. Setelah semua perlengkapan siap, aku dibimbing bik Nipah menuju mobil. Segera kami meluncur ke rumah bersalin Islam yang jauh-jauh hari kami pilih.

“Mas, jangan kencang-kencang!”, ucapku sambil meringis. Frekuensi kontraksi perutku semakin sering. Melihatku yang menahan sakit, bik Nipah memegang tanganku erat dan mas Rizal seperti tidak mendengar ucapanku. Ia tidak mengurangi kecepatan mobil. Rabb, selamatkanlah kami.

Setelah sampai di Rumah Sakit, aku segera dilarikan menuju ruang bersalin. Salah satu perawat mengganti pakaianku.

Di jam ke sebelas aku berada dalam ruang bersalin, seorang dokter perempuan masuk ke ruangan kemudian memeriksa jalan lahir.

Masya Allah, Ibu, sudah bukaan sembilan!”, ucap dokter.

“Dok, bolehkah suami saya menemani?”, pintaku.

“Boleh!”, jawab dokter.

“Sus, tolong panggil suami ibu ini!”, pinta dokter pada perawat.

Tak lama, mas Rizal sudah di sampingku. Ia memegang tangan kananku. Kurasakan otot-otot punggung dan perut mengencang. Masya Allah, Rabb, kuatkanlah aku, ulurkan pertolongan-Mu. Gigiku gemeretak menahan sakit. Kupegang tangan mas Rizal kuat-kuat. Rabb, selamatkanlah anakku. Aku rela mati bila itu harus kulakukan. Bunda. Tiba-tiba aku ingat bunda. Sedang apakah bunda saat ini? Bunda, maafkanlah segala kenakalanku, kirimkanlah doamu untuk keselamatan anakmu ini!

“Ibu,  ikuti aba-aba saya!”

Mendengar perkataan dokter, aku mengangguk ringan.

“Yap, dorong Bu!”

“Heuugh...!” Ada sesuatu yang mengganjal di antara dua pahaku.

“Ya, dorong lagi Bu!”

“Heuugh...!”

“Lagi Bu!”

“Heuugh ...!”

“Ueek...ueek...ueek...!” Alhamdulillah, terima kasih ya Allah. Anakku lahir. “Hoehh”, tubuhku melemah, tulang-tulangku serasa dilolosi bersamaan dengan kelahiran anakku.

Alhamdulillah, Sayang, anak kita lahir!”, mas Rizal mencium keningku.

“Dok, bahaya, ibu ini mengalami pendarahan hebat!”, ujar salah satu perawat.

“Dok, ada apa dengan istri saya?”, tanya mas Rizal khawatir.

“Suster, cepat ambil beberapa unit darah! AB!”, perintah dokter. Seorang perawat segera berlari ke luar.

“Bapak sebaiknya keluar dulu!”, pinta dokter pada mas Rizal. Seorang perawat mendorong tubuh mas Rizal ke luar ruangan.

Ada apa denganku? Aku melihat tubuhku terbaring tak berdaya. Seorang dokter dan beberapa perawat sibuk di sekeliling tubuhku.

Assalamu’alaikum!” Ada yang mengucap salam dari arah belakang.

Wa’alaikumsalam!” Kubalikkan tubuh. Aku melihat dua laki-laki tampan. Memakai  baju putih bersih. Aku mencium aroma wangi, semerbak di sekeliling mereka.

“Kalian siapa?”, tanyaku.

“Kami adalah utusan Tuhanmu.”

“Ada perlu denganku?”

“Iya. Kami akan membawamu pergi!”

“Kemana?”

“Ke suatu tempat yang indah dan selalu kamu rindukan!”

Tempat yang indah dan selalu kurindukan? “Apa?”

“Menuju Tuhanmu! Kamu bersedia?”

Tuhanku? Hatiku bergetar hebat. Hingga tubuhku ikut bergetar tidak kalah hebat. Tuhanku. Allah....“Iya”

Salah satu dari mereka menggandeng tanganku. Dan kami terbang menjauhi tubuhku yang terbaring lemah. Sayup-sayup, kudengar adzan Dhuhur berkumandang. Tiba-tiba, aku melepaskan pegangan. Aku berbalik. Aku ingin menimang anakku dan bertemu mas Rizal. Ia pasti sedih bila kutinggal. Dan nanti, mereka bersama siapa bila aku pergi?

“Kamu mau ke mana?”

“Aku ingin menimang anakku”

“Anakmu?”

“Iya, aku juga ingin bersama suamiku”

“Kamu! Siapa yang kamu pilih? Tuhanmu, atau suami dan anakmu?”

Pertanyaan yang sulit, “Tuhanku!”

Mereka membawaku terbang kembali. Tinggi dan semakin tinggi. Aku sempat menengok, kulihat mas Rizal mengguncang-guncang tubuhku sambil menggendong anak kami. Dan aku juga melihat bik Nipah di samping mas Rizal. Orang-orang yang aku cintai. Tetapi, aku lebih mencintai Tuhanku. Aku lebih merindukan-Nya. Allah, jagalah selalu suami dan anakku, serta orang-orang yang mencintaiku. Sesungguhnya, Engkau adalah Penjaga Yang Paling Baik.

Sementara itu, di bawah sana, Rizal terus mengguncang-guncang tubuh Anisa. “Sayang, bangun! Lihatlah! Anak kita tampan sekali!”

“Bapak!”, ucap bik Nipah lirih.

Rizal memberikan anaknya ke bik Nipah. Dan ia langsung memeluk tubuh Anisa. “Sayang, jangan diam saja?” ujar Rizal dengan air mata berlinang.

“Bapak, biarkan ibu pergi dengan tenang!”, bik Nipah menyentuh bahu Rizal. Tetapi, Rizal seperti tidak mendengar. Ia memeluk tubuh Anisa erat. Seakan, tak ingin berpisah. Sebagian jiwanya hilang. Separuh raganya melayang. Dan meninggalkan separuhnya lagi merana. Rizal terus tersedu. Tiba-tiba, ada bisikan di telinganya. “Bila istrimu diberi pilihan, siapa yang akan ia pilih? Tuhannya atau kamu dan anakmu?” Rizal tersentak, ia sadar, Anisa bukan miliknya. Ia milik Penciptanya. Perlahan, Rizal membaringkan tubuh Anisa.

“Bapak, Ibu, permisi, kami akan membersihkan tubuh pasien”, dua orang perawat memasuki ruangan.

Tanpa berkata, Rizal dan bik Nipah berjalan keluar. Rizal mengambil anaknya dari gendongan bik Nipah. “Bik, bantu saya membesarkan anak ini ya!” Rizal mencium anaknya. Air matanya menetes. Ia merindukan Anisa. Tak kan ada lagi perempuan yang bermanja di pelukannya. Perempuan tangguh, tapi rapuh. Anisa. Cintanya pada Anisa tak tergantikan. Selamanya.

** Tamat**

Perpustakaan FK-UGM, Yogyakarta, 11 Desember 2008.