Selasa, 04 Januari 2011

Asa Abu Abu












“Mbak Anisa, apa jadi ke Bali?

“Belum tahu Dek. Kenapa?” Ku tatap Dea-adek kosku, dengan heran. Aku memang ada rencana ke Pulau Seribu Pura itu. Akhir pekan depan kampusku berencana mengadakan raker di sana. 

“Gak pa-pa kok Mbak.”

“Oya, kapan Adek pulang ke Bali?”

“Minggu ini Mbak, insya Allah. Ehm.., sebenarnya Dea mau tanya sesuatu. Apa boleh?”

“Tentu saja. Selama mbak bisa jawab, insya Allah akan mbak jawab.”

“Mbak Nisa dan kakakku kan sudah satu bulan ni ta’aruf. Beberapa hari yang lalu Dea tanya ke kakak tentang kepastiannya, tapi kakak belum bisa jawab. Kakak ingin bertemu Mbak dulu. Mbak Nisa bersedia?”

Pertanyaan Dea memaksaku berpikir. Bertemu? Ya Rabb, ku belum yakin dengannya. Satu bulan yang lalu Dea mengenalkan kakak sepupunya. Biodatanya sudah kuterima. Biodata yang sederhana, berisi tidak lebih dari sepuluh baris. Tetapi, dia adalah orang yang “buaiiiiiik buaaaanget”, ku masih ingat dengan dua kata yang pernah diucapkan Dea. Dan yang terpenting, dia berakhlak baik dan bersedia menerima prinsipku tidak berpacaran.

“Mbak Nisa! Kok diam aja? Mbak gak mau ya ketemu kakak?”

“Eh..., maaf Dek. Nggak kok”, ujarku sewajar mungkin.

“Trus kenapa Mbak Nisa diam?”, rengek Dea.

“Begini Dek, Kamis depan insya Allah mbak mau daftar ulang S3 di Jogja. Kantor mbak pergi ke Bali hari Jum’at sore. Mbak belum yakin bisa ikut ke Bali.”

“Apa gak bisa diajukan Mbak? Hari Selasa atau Rabu gitu?”, kejar Dea.

“Wah, maaf Dek. Semua keperluan daftar ulang baru terpenuhi hari Rabu. Jadi, mau gak mau ya hari Kamis itu ke Jogja. Begini saja, bila nanti jadi ke Bali, mbak kasih tau Dea deh!”

Okay Mbak. Dea tunggu ya?”

“Iya.”

Hhh.... Beberapa pekan ini, pekerjaan kantor sangat menyibukkanku. Persiapan akreditasi program studi banyak menyita waktu, belum lagi laporan penelitian yang sudah deadline, serta persiapan materi seminar akhir pekan ini. Berangkat pagi, pulang malam. Agenda kantor seperti tidak pernah istirahat. Mengajakku terus bergerak. Wuih..., aku seorang wonder woman?

Semua kesibukan itu menyihirku dari proses ta’aruf ini. Sekarang, mau tidak mau aku harus memilih. Proses ini terus berjalan. Bila diabaikan akan berakibat tidak baik. Ya Allah, aku memohon bantuan-Mu dalam menentukan ketetapan hati.

**

“Anisa, kamu mendapat tugas mempresentasikan program kerja fakultas kita!”, ucap mbak Candra. Dia temanku seprodi, mendapat gelar magister dari Ohio University. Dan mbak Candra ini adalah mantan kakak angkatan sewaktu kuliah S1.

“Lho, bukankah pak Budi yang akan mempresentasikan Mbak?”

“Ada perubahan Nis, pak Budi harus ke Inggris. Beliau diundang sebagai keynote speaker dalam seminar yang diadakan oleh Oxford University.”

Subhanallah, pak Budi hebat! Masih muda, profesor, dan go internasional.”

“Tapi Mbak, apa tidak ada yang lebih capable? Aku kan masih junior? Dosen-dosen senior kan ada. Dan insya Allah mereka lebih paham tentang fakultas kita”, lanjutku.

“Anisa, Mr. Ahmad Sungkar, dekan kita yang tercinta, menunjukmu langsung untuk menggantikan pak Budi. Ini lah saat menunjukkan taringmu. Muda bukan berarti tidak tahu apa-apa!”

“Tapi Mbak, hari Kamis aku harus ke Jogja, menyelesaikan keperluan S3-ku!”

“Tenang, semua bahan telah disiapkan. Dirimu tinggal mempelajari!”

Mbak Candra memutar tubuh menuju meja kerjanya dan mengambil setumpuk berkas. Kemudian ia berbalik menuju mejaku kembali.

“Ini berkas yang harus kamu pelajari Nis! Dan fakultas telah menyiapkan tiket untuk kamu terbang dari kota Gudeg ke Pulau Dewata!”, ujar mbak Candra lagi.

Subhanallah, berkas ini tidak mungkin akan selesai kubaca dalam satu malam. Sekarang pukul 14.00, setengah jam lagi aku harus meluncur ke Masjid Ar Rahman mengikuti kajian fiqh oleh Ustadzah Maemunah sampai menjelang maghrib. Ba’da maghrib menghadiri undangan paman Iqbal dalam tasyakuran kelulusan anaknya. Aku harus menggantikan bunda yang ada di desa dan tidak enak bila harus absen. Selama 27 tahun umurku, paman Iqbal lah saudara yang paling banyak membantu keluargaku. Beliau yang membiayai sekolahku sampai lulus SMA. Karena ayah meninggal sejak aku kelas lima SD. Sedangkan biaya S1 dan S2 kuperoleh dari beasiswa. Jadi, sekitar jam sembilan malam aku bisa mempelajari berkas-berkas ini. Ya Rabb, berilah aku kekuatan. Sesungguhnya aku lemah dan bukanlah seorang wonder woman.

Ohh.... Seketika tubuhku tersentak. Ada aliran listrik 10 watt mengalir di tubuhku. Masya Allah, aku ke Bali...!? Berarti aku akan bersua dengan kakak Dea. Ada desiran halus di dadaku. Bila diingat kembali, ketika ditawari, aku seperti mendapat durian runtuh. Dia adalah hadiah dari Allah. Beribu syukur beriring deraian air mata ketika aku mengetahui secara detail tentang kakak Dea. Kurasakan kasih sayang Allah menyelimutiku. Bahkan aku merasa belum pantas menerima anugerah indah ini. Semoga ia lah belahan jiwaku.

**

Seperempat jam lagi pesawat akan landing. Landasan Bandara Ngurah Rai mulai terlihat. Kudengar bising lagi, dan kepala terasa sakit akibat perbedaan tekanan udara. Segera aku mengunyah permen yang beberapa saat lalu ditawarkan pramugari. Ini adalah kali pertama aku terbang. “Katrok” memang. Tetapi aku sangat bersyukur. Akhirnya aku bisa terbang juga. Dalam hati aku menertawakan diri sendiri. Anisa Ramadhani, dosen salah satu PTN di Surabaya, calon kandidat doktor universitas terkemuka di Indonesia, baru kali pertama terbang. Bila mahasiswaku tahu, apa mereka juga akan menertawakanku?

Tidak berapa lama aku sudah keluar dari bandara. Sebuah taksi baru saja menurunkan penumpang. Kesempatan ini tidak kusia-siakan. Segera kulambaikan tangan dan taksi pun meluncur menjauhi Ngurah Rai. Bali..., I’m coming....

Tidak lupa aku mengirim SMS ke Dea, memberitahukan bahwa aku berada di Denpasar, kota kesayangannya.

Dea, mbak Nisa sekarang ada di Denpasar.

Tidak lama Dea memberi balasan.

Alhamdulillah. Mbak nginap di mana?

Langsung kubalas.

Di Hotel Kartika Bali.

Dea memberi balasan lagi.

Mbak Nisa, tar beri tahu Dea ya kapan Mbak punya waktu luang. Kita telusuri kota Denpasar.

Kubalas lagi.

Okay...!

**

Give thanks to Allah....”, HP-ku mendendangkan lagu hijrah Michael Jackson. Ada SMS dari Dea dan kami pun terlibat percakapan melalui SMS.

Mbak Nisa, kapan ada waktu luang?

Seharian ini kosong Dek.

Okay Mbak, setengah jam lagi Dea tiba di hotel. Oya Mbak, insya Allah kita nanti bertemu kak Rizal. Mbak siap-siap ya!

Sekitar pukul 10.30 waktu Bali, ada SMS masuk lagi di HP-ku.

Mbak, Dea sudah di resepsionis. Dea tunggu di sini ya?

Langsung kubalas lagi.

Iya. Sebentar lagi mbak ke sana.

Aku setengah berlari menuju resepsionis. Aku khawatir bila Dea sampai kesemutan. Setiba di resepsionis, kulihat Dea duduk di sofa sambil mengutak-atik HP-nya. Aku segera menghampirinya dan mengucap salam.

“Assalamu’alaikum.”

“Wa’alaikumsalam.”

Aku dan Dea saling berjabat tangan. Tidak lama kami melangkah keluar hotel menuju tempat parkir.

“Mbak Nisa, Dea minta maaf ya. Mbak Nisa dan kak Rizal gak jadi ketemu di rumah Dea.”

“Kenapa Dek?”

“Di rumah ada acara. Dan kebetulan kak Rizal hari ini punya agenda yang padat. Dia tidak bisa off,” sesal Dea.

“Berarti kita akan menuju tempat kerja mas Rizal?” Kulihat Dea hanya menganggukkan kepala sambil tersenyum simpul.

Mobil yang membawaku terus meluncur menyusuri jalan-jalan protokol di Denpasar. Kami menuju tempat kerja mas Rizal. Sebuah perusahaan asing yang bergerak di bidang retail. Berada di daerah by pass Denpasar. Masya Allah, sejauh ini usahaku untuk menjemput jodoh. Tidak pernah terbayang aku akan berkunjung ke tempat kerja seorang laki-laki yang mungkin akan menjadi teman sejatiku. Di dalam dongeng, sang pangeran yang menjemput sang putri. Tetapi ini sebaliknya, sang putri lah yang rela berkunjung ke kerajaan sang pangeran. Dalam hati aku berbisik, “Ya Rabbi, berkahilah aku. Aku mohon keridhoan-Mu.”

Tidak lebih setengah jam, kami sudah tiba di sebuah mall yang berada di bilangan Carik. Mobil berhenti tepat di depan pintu masuk utama. Aku dan Dea segera turun dari mobil dan melangkah memasuki mall. Kulihat banyak bule yang berseliweran di sini. Kata Dea, di daerah by pass ini memang banyak terdapat bule yang tinggal. Astaghfirullah, aku harus menjaga pandangan. Meskipun yang aku lihat adalah bule perempuan, tetapi cara mereka berpakaian mengharuskan kedua mataku menunduk.

“Mbak, kak Rizal masih sibuk. Sekitar setengah jam lagi baru bisa off. Kita shalat dulu?”

Okay. Mushola ada di mana ya Dek?”

“Kita tanya pada mbak-mbak berseragam itu yuk Mbak!”

Segera, aku dan Dea berjalan menuju dua orang wanita yang memakai seragam biru muda.

“Maaf Mbak, mushola ada di mana ya?”

“Ada di lantai dua Mbak. Mbak nanti menuju tempat parkir. Mushola ada di sebelah kanan pintu keluar.”

“Terima kasih Mbak!”

“Sama-sama.”

Setiba di mushola, kami segera mengambil air wudhu kemudian masuk ke dalam mushola untuk menunaikan shalat Dhuhur. Kuperhatikan mushola ini cukup bersih dan terawat. Hanya mukena yang terlihat menguning di bagian muka terkena bedak dari wanita-wanita yang pernah memakainya. Suatu hal yang memprihatinkan dan banyak ditemukan pada mukena-mukena di berbagai mushola di tempat-tempat keramaian.

“Dek, kita shalat bareng ya?”

“Ya Mbak.”

Aku dan Dea shalat Dhuhur bersama. Setelah salam, aku langsung berdiri. Aku menjamak shalat Ashar. Memanfaatkan rukhsah yang diberikan Allah pada musafir sepertiku.

Selepas menunaikan shalat, aku dan Dea menuju salah satu gerai makanan Jepang. Kami akan makan siang di sana bersama mas Rizal. Gerai itu berada di ujung lorong yang sedang kususuri bersama Dea. Suatu gerai bercat merah tapi tidak terlalu mencolok. Tidak lama kami sudah berada di dalam gerai.

 “Dek, kita duduk di sana yuk!”

Jari-telunjukku menunjuk ke pojok ruangan dekat pintu masuk. Tidak lama seorang waitress menghampiri kami.

“Silakan Mbak! Ini daftar menu kami.”

Waitress itu menyodorkan selembar daftar menu dan secarik kertas pesanan lengkap dengan pensil. Sesaat aku dan Dea sibuk memilih menu. Akhirnya aku memesan seporsi sukiyaki dan jus tomat tanpa es. Sementara Dea memesan seporsi yakiniku dan jus jeruk. Kemudian kuberikan kertas pesanan itu ke waitress yang setia menunggu.

“Saya ulangi pesanannya ya Mbak. Satu porsi sukiyaki, satu porsi yakiniku, segelas jus tomat tanpa es, dan segelas jus jeruk tanpa es juga.”

“Iya”

“Lima puluh sembilan ribu Mbak!”

Dengan sedikit ragu kuraih dompet yang ada di atas meja. Karena sebenarnya kami sepakat bahwa yang akan membayar semua makanan adalah mas Rizal tanpa meminta persetujuannya terlebih dahulu. Tetapi tiba-tiba Dea berbicara pada waitress itu yang cukup melegakan.

“Mbak, bayarnya boleh nanti tidak? Saat ini kami masih menunggu seseorang?”

Waitress itu maklum dan mengabulkan permintaan kami. Tidak lama minuman yang kami pesan tiba. 

“Silakan Mbak, ini jus tomat dan jus jeruk yang telah dipesan!”

“Terima kasih.”

Hampir sepuluh menit kami menunggu mas Rizal, tetapi orang yang ditunggu tak kunjung tiba. Dadaku tidak berdebar kencang seperti yang terbayang sebelumnya. Tetapi nervous juga. Aku tipikal orang yang tidak banyak berbicara pada orang yang belum kenal. Dan selama satu bulan berkenalan dengan mas Rizal, belum pernah mengobrol dengannya melalui telepon atau SMS. Kami berkenalan melalui biodata. Kegugupanku kulampiaskan dengan mengaduk-aduk minuman di depanku.

“Mbak, sudah datang!”

Tiba-tiba Dea melontarkan kata-kata yang membuatku segera mendongakkan kepala. Sedetik kemudian kulihat sesosok laki-laki menuju meja kami. Refleks kutangkupkan kedua tangan di depan dada untuk menyambut kedatangannya. Dia pun melakukan hal yang sama.

Oh.... Kok begini....? Gemuk? Inikah mas Rizal? Kata Dea, berat badannya sudah ideal? Karena di foto yang pernah diperlihatkan Dea, mas Rizal terlihat agak gemuk. Aku merasa laki-laki ini berbeda dengan fotonya. Di foto dia terlihat lebih “bening”. Ups..., “istighfar Nisa”, bisik hatiku. Semoga mas Rizal tidak menangkap sorot mata keterkejutanku.   

 “Sudah pesan apa?”, tanya mas Rizal.

Sukiyaki dan yakiniku”, jawabku.

“Tar kakak yang bayar lho!”, timpal Dea.

“Lho kan kalian yang pesan. Jadi Dea yang harus bayar!”, protes mas Rizal.

“Kakak gimana sih, dompetku tertinggal di dalam mobil!”, bela Dea.

“Enak saja. Gimana kalau Mbaknya saja?”, mas Rizal tetap ngotot sambil melihat ke arahku. Duh... kami saling berpandangan sekejap. Aku sempat memperhatikan matanya yang agak sipit dengan bulu mata lentik. Tetapi segera kualihkan pandangan.

“Eh, Mbaknya tamu ya!”, ralat mas Rizal.

“Tamu adalah raja”, celetukku.

“Tapi tuan rumah adalah maha raja”, balas mas Rizal tidak mau kalah.

“Aku sering bilang ke karyawanku, kalau customer raja, karyawan adalah maha raja”, lanjut mas Rizal lagi.

Subhanallah, laki-laki ini cukup banyak omong. Tiba-tiba seorang waitress menyodorkan menu dan kertas pesanan.

“Seporsi terriyaki dan segelas cappucino”, pesan mas Rizal.

“Dua puluh sembilan ribu Pak”, waitress itu menyampaikan harga makanan yang dipesan mas Rizal.

“Sekalian dengan ini”, timpal mas Rizal sambil menunjuk makananku dan Dea.

Sepanjang makan mas Rizal dan Dea bernostalgia. Sekitar enam bulan mereka tidak bersua. Pasti lah banyak hal yang ingin saling mereka ceritakan. Tak terbesit keinginan mengganggu mereka.

“Mbak, kapan tiba?”, tanya mas Rizal padaku. Akhirnya topik pembicaraan beralih juga.

“Kemarin sore”, jawabku.

Tour ya Mbak?”, tebak mas Rizal.

“Bukan. Kampusku mengadakan raker di sini”, ralatku.

“Wah, raker saja ke Bali. Apa tidak kurang jauh?”, tanya mas Rizal.

Insya Allah kita akan lebih mudah membuat program-program yang berkualitas dalam kondisi tidak terikat dengan hal-hal yang mengelilingi kita setiap hari. Sikon yang fresh dan lingkungan yang benar-benar baru. Dengan harapan kita pun akan berpikir fresh dan menghasilkan ide luar biasa. Itulah alasan bos-bosku mengadakan raker di Bali”, jelasku.

“O...”, ujar mas Rizal maklum.

Tidak terasa, piring-piring kami bersih tak tersisa makanan. Refleks mas Rizal beranjak menuju kasir. Aku dan Dea masih menunggu. Tidak lama mas Rizal menghampiri kami.

“Setelah ini mau ke mana?”, tanya mas Rizal.

“Joger Kak”, jawab Dea.

“Sebentar lagi aku ada meeting. Maaf ya tidak bisa menyambut dengan baik”, ucap mas Rizal penuh sesal.
Aku dan Dea menganggukkan kepala.

“Assalamu’alaikum”, lanjut mas Rizal sambil berlalu.

“Wa’alaikumsalam”, jawabku dan Dea bersamaan.

Setelah mas Rizal pergi, kami segera menuju tempat parkir. Setelah itu kami meluncur menuju Joger, pabrik kata-kata.

**

Hari demi hari, minggu demi minggu, berlalu tanpa menyisakan asa yang pasti. Pasca bertemu mas Rizal, hatiku dipenuhi kuncup-kuncup bunga yang siap bermekaran. Sebagian hatiku tertinggal di salah satu sudut Pulau Surga itu. Hari-hari pun terus berlari, berbekal doa dan tawakal.

Resah mulai menggelayuti. Dea berjanji akan memberi kabar tentang kakaknya. Tetapi kepastian itu tidak kunjung tiba. Aku pasrahkan diri dalam sujud-sujud yang panjang.

Give thanks to Allah...”, tiba-tiba HP-ku berdendang. Ada SMS masuk.

Mbak, Dea mau menyampaikan pesan kakak,”kakak menganggap mbak Anisa sebagai teman”.

Subhanallah.... Mulutku terkatup rapat. Hatiku tersentak. Inikah akhir dari ta’aruf-ku? Hasil perjuanganku?
Aku terpaku. Tidak percaya. Hatiku menolak apa yang dikabarkan Dea. Tidak mungkin.

Tetapi, tidak ada SMS ralat dari Dea. HP-ku tetap bungkam, tidak mendendangkan lagu thanks to Allah milik Michael Jackson.

Ya Rabb..., aku yakin ia adalah jawaban dari doaku. Engkau mendatangkannya dengan memenuhi kriteria yang aku inginkan. Apa yang aku lantunkan dalam doa, ada padanya. Harapanku besar bahwa ia adalah jodoh yang Engkau siapkan. Tetapi Engkau masih menundanya ya Allah....

Kurasakan kecewa yang sangat. Dadaku sesak. Seluruh wajahku memanas. Dan kedua pelupuk mataku tak sanggup membendung luapan air mata.

Aku masih tidak percaya. Kedatangannya, it’s so miracle....

Tiba-tiba kudengar suara halus, “Anisa, janganlah seperti itu. Tidak baik. Engkau tahu, Allah tidak pernah mendzalimi hamba-Nya. Semua ini untuk mengujimu. Menguji kesabaranmu. Ia ingin mendidikmu menjadi lebih tangguh. Percayalah, ini untuk menjadikanmu lebih baik”.

Astaghfirullah..., ampunilah aku ya Allah, Engkau tidak pernah mendzalimi kami, kami lah yang mendzalimi diri kami sendiri....

Kusesali apa yang kulakukan. Teramat lancang. Sungguh aku tidak mempunyai kuasa. Bahkan terhadap hidupku sendiri. Allah lah Pengatur segalanya. Dia Penguasa hidupku. Dan aku harus menerima dengan lapang dada.

Dengan air mata berderai, kugoreskan pena merangkai bait-bait puisi.

Allahu Rabbi....
Aku memohon kepada-Mu.
Pelangi dalam setiap hujan.
Senyum dalam setiap air mata.
Sinar dalam setiap persoalan.
Kekuatan dalam setiap kelemahan.
Keikhlasan dalam setiap kehilangan.
Bahagia dalam setiap kekecewaan.
Amin! 

****

Surabaya, 8 September 2008







6 komentar:

  1. Adalah tulisan pertama, awal dari realisasi dunia khayalanku,,,semoga menjadi satu jejak indah dalam pelangi sastraku...

    BalasHapus
  2. bukan sekedar khayalan,,
    ehem...ehem...
    kenangan lama bangkit kembali??

    BalasHapus
  3. Merliiiin....!?

    Tidak lah, yang lalu biarlah berlalu, sekarang aku di sini di dunia yang baru :)

    Ini adalah kenangan terindah tentang tulisan pertamaku langsung diakui di dunia kesastraan walau belum meraih piala...sooo kupost deh dia di sini, menemani yang lainnya :)

    BalasHapus
  4. Baca ini, inget pertama kali ta'aruf sama suami tercinta... dalam hati "kok beda ama fotony "

    BalasHapus
  5. Mba 'Anonim',,,hihihi sebenarnya tidak tahu foto spr apa yg cocok. karena harapannya abu2 kupostkan saja langit biru bermendung hehe meski agak gak nyambung :)

    waaah bernostalgia niiiih ;p

    BalasHapus
  6. wiii,,ternyata diriku ga nyambung :) *maluuu*

    BalasHapus