Senin, 17 Januari 2011

Asa Abu Abu II

 

Sembilan puluh hari berlalu. Tetapi, bayang mas Rizal belum juga terlepas. Begitu kuatkah panahnya menancap di dada? Hingga mampu memakuku kuat. Tak bergerak!

Seharusnya aku tak lagi di persimpangan. Keputusannya tegas dan jelas. Tak ada keraguan. Tetapi selalu ada tanya! Mungkinkah muncul pelangi di balik gelapnya langit-asaku? Samar. Ada setitik sinar di sana. Berbisik. Mengabarkan bahwa semua akan berakhir bahagia. 

“Anisa!” Panggilan mbak Candra, membuyarkan khayalku seketika.

“Iya Mbak?”

“Ada surat tugas untukmu!”, ucap mbak Candra seraya mengulurkan amplop berkop PT-ku. Tugas? Semoga bisa me-refresh otak. Jenuh telah mengikis hari-hariku.

Perlahan kubuka amplop di tangan. Tidak lebih sedetik kemudian, oh....

“Denpasar?!”, ucapku spontan.

“Emang kenapa Nis? Enak kan bisa jalan-jalan di Bali lagi?”, tanya mbak Candra heran.

Aku masih terdiam. Keterkejutan belum mau beranjak. Andai bisa memilih, mungkinkah tugas ini dilimpahkan kepada orang lain?

“Aku harus berangkat ya Mbak?"

“Ya iyalah! Kenapa?”

“Tidak apa-apa Mbak!”, ujarku rapat menutup keengganan.

“Jangan khawatir Nis. Ke Bali-nya dengan aku kok. Lihat! Ada dua orang kan?” Mbak Candra memperlihatkan surat tugasnya sembari jari-telunjuknya menunjuk pada tulisan yang menyebut namanya.

“Iya Mbak.”

“Di sana ada temanku Nis, insya Allah kita bisa menginap di rumahnya. Jadi, kita bisa berhemat.”

“Iya Mbak.”

Hoh, ya Rabb, apa maksud semua ini? Denpasar! Kota yang bila ku mau, tak kan pernah lagi menginjakkan kaki di sana. Tetapi bolehkah aku memilih apa yang akan terjadi? Tidak! Ku tahu pasti, ini Allah yang mengatur. Dia lebih mengetahui. Dan aku hanya bisa melangkah maju. Berbaik sangka tentang masa depan. Dan ini lah yang menguatkanku berdiri tegak hingga sekarang.

**

Masya Allah, kutapakkan kaki kembali di Pulau Surga. Sepuluh menit yang lalu, baru saja aku turun dari burung besi yang menerbangkanku selama 45 menit dari Surabaya. Bersama mbak Candra, aku mengikuti arah exit menuju pintu keluar utama.

Kali kedua mendarat di Ngurah Rai, tetap membuatku tercengang. Banyak bule! Saat beberapa bule laki-laki menyalip langkahku, aku laksana kurcaci. Kecil! Tinggiku sekitar 157 sentimeter. Standart wanita Indonesia. Berbeda dengan mereka yang dikaruniai postur tubuh jangkung. Kira-kira mereka mempunyai tinggi badan lebih dari 180 sentimeter.

“Mbak, ciri-ciri teman Mbak seperti apa?”, tanyaku pada mbak Candra seraya mataku menyapu area sekeliling.

“Dia tinggi Nis, katanya memakai baju warna ungu!” Mendengar jawaban mbak Candra, aku menyaring orang-orang yang berlalu lalang. Tiba-tiba....

“Bruukk!” Ups, ada makhluk tinggi besar di depanku. Oh, aku hanya setinggi dadanya. Karena sibuk mengamati, aku tidak tahu ada bule di depanku.

Oh, I’m sorry Miss. Are you okay?”, tanya bule itu.

I’m fine. Thanks”, sahutku.

All right, bye....” Bule itu berlalu sambil melambaikan tangan kirinya.

Bye....”, balasku.

“Kamu gak pa-pa Nis?”, tanya mbak Candra.

“Nggak Mbak. Kaget aja!”

“Hati-hati kalau jalan!”, ingat mbak Candra.

“Iya.”

Karena teman mbak Candra belum juga nampak, kami memutuskan menunggunya di dekat resto makanan cepat saji terkenal.

Tidak lebih lima menit kami menunggu, terlihat seorang wanita berbaju ungu dengan kerudung senada, berlari kecil menuju kami dengan senyum mengembang. Wanita yang enerjik.

Assalamu’alaikum, maaf, lama menunggu ya! Pa kabar?”, tanya wanita itu sambil menjulurkan tangan kanannya. Mengajak mbak Candra berjabat tangan.

Wa’alaikum salam, Alhamdulillah, baik. Bagaimana denganmu?”, mbak Candra balik bertanya. Mereka berdua bersalaman dengan erat.

Alhamdulillah, seperti yang kau lihat. Ku baik-baik saja”, jawabnya.

“Oya, kenalkan! Ini Anisa!”, ucap mbak Candra sambil menunjukku. Mendengar ucapan mbak Candra, segera ku ulurkan tangan. Wanita itu pun melakukan hal yang sama. Kami saling berjabat tangan hangat.

“Anisa Ramadhani”, ucapku.

“Nina Hermansyah, panggil aja Nina”, sahutnya.

“Ehm.., kalian pasti lelah. Kita langsung aja ya!”, ajak mbak Nina.

“Eh, kalian tunggu di sini aja ya! Aku aja yang ambil mobil! Soalnya, tempat parkir lumayan jauh”, lanjut mbak Nina lagi.

Aku dan mbak Candra mengangguk dan mbak Nina pun berlari menuju tempat parkir. Tepat seperempat jam, mbak Nina telah berada di depan kami bersama mobilnya. Kemudian, ia memberi isyarat agar kami segera masuk ke dalam mobil. Tak lama, kami meluncur keluar dari Ngurah Rai. Mobil mbak Nina terus meluncur menyusuri jalan-jalan di Denpasar.

“Esok, kalian jam berapa ke Udayana?”, tanya mbak Nina kepada kami.

“Jam delapan pagi Nin”, jawab mbak Candra.

Okay, insya Allah, aku bisa mengantar”, timpal mbak Nina.

“Oya, maaf, kita mampir dulu ke mall ya? Ada titipan ibuku”, lanjut mbak Nina. Tiba-tiba saja mobil membelok menuju sebuah mall. Lho, ini kan? Masya Allah, ini kan tempat kerjanya. Ku masih ingat model mall tempat kerja mas Rizal.

Empat bulan yang lalu, bertepatan tugas kantor juga, aku pernah ke sini. Bersama Dea, bertemu mas Rizal. Oh, mall ini hanya membuka luka lama. Menghadirkan kembali mas Rizal, yang memilih melepaskanku setelah hampir tiga bulan ber-ta’aruf.

Setelah memarkir mobil, kami segera melangkah memasuki mall lewat pintu masuk yang berjarak tiga meter dari mobil terparkir. Mall ini masih seperti dulu. Banyak bule berseliweran.

Aku dan mbak Candra terus mengekor mbak Nina. Karena ia lah yang mempunyai keperluan. Akhirnya ia masuk ke sebuah toko retail yang menjual berbagai macam kebutuhan. Sepuluh langkah sebelum melewati palang masuk, langkahku terhenti. Hatiku campur aduk. Berat sekali melangkah. Toko ini, dimana mas Rizal salah satu manajernya. Mungkinkah ada dia? Tidakkah ia off ? Rabb, bagaimana ini?

“Nisa! Ayo masuk! Jangan berdiri di situ!”, teriak mbak Candra.

“Eh, iya Mbak.” Disertai keraguan, kulangkahkan kaki memasuki toko. Menyusuri lorong-lorong yang diapit rak-rak tinggi berisi barang-barang dagangan yang tertata rapi sesuai jenisnya. Kedua mataku terus waspada. Memperhatikan setiap orang yang ada dalam jangkauan mata. Bahkan, setiap akan berpindah dari lorong satu ke lorong lain, aku tengok kanan kiri. Mencari sosok mas Rizal, bila tertangkap, ku bisa segera berkelit hingga kesempatan bertemu dengannya berlalu.

“Mbak Anisa?” Tiba-tiba ada yang memanggil dari arah samping kanan ketika aku berada di stan oleh-oleh khas Bali. Hah, suara laki-laki! Mas Rizal kah? Tidak ada orang yang mengenalku di sini kecuali dia. Sontak, dadaku berdegub lebih kencang. Bagaimana ini? Tidak mungkin aku berlari. Akan sangat konyol bila itu kulakukan.

“Benar Mbak Anisa kan?”, tanya orang itu lagi. Hhh, aku harus menjawab! Perlahan, kubalikkan badan ke arah sumber suara. Dan benar! Satu meter di depan, berdiri sesosok laki-laki yang kutahu benar ia adalah mas Rizal. Tergambar jelas beribu tanya menghias wajahnya. Reflek, kutarik dua sudut bibir, memberikan senyum termanisku padanya.

“Mbak Anisa ada di sini?”, tanya mas Rizal heran.

“Iya Mas. Ada tugas kantor. Temanku ada perlu sesuatu di sini”, aku jawab sekenanya. Memang seperti itu keadaannya.

“O..., Mbak masih di Surabaya kan?”

“Iya.”

“Gimana kabar Dea?”

“Dia sibuk menyiapkan proposal skripsi sekarang”

“Iya, terakhir SMS, dia bingung mencari referensi buku” 

Tiba-tiba ada yang bergetar di tasku. Mungkin mbak Candra memanggilku. Segera kuambil HP. Ternyata ada SMS dari mbak Candra.

“Maaf Mas, temanku sudah menunggu di depan!”, pamitku.

“Iya, silakan Mbak!”

Assalamu’alaikum

Wa’alaikumsalam

Ya Rabb, hanya Engkau yang tahu arti di balik pertemuan ini. Apa yang baru terjadi, menguak kembali segala hal tentang mas Rizal yang seharusnya terkubur dalam. Semoga tidak menjadi pupuk ampuh yang akan merekahkan kuncup-kuncup bunga di hatiku. Semoga semua akan baik-baik saja. Harapku.

**

“Anisa, makan yuk!”, ajak mbak Candra.

“Kamu bawa makan dari rumah kan?”, tanya mbak Candra lagi.

“Iya Mbak”, sahutku. Aku lebih suka membawa makanan dari rumah. Ku merasa lebih safe bila makan makanan yang dimasak di rumah.

Mendadak, mbak Candra sudah ada di depanku dengan kotak makan siap di tangan. Padahal buku-buku yang baru saja kubaca belum sempat dibereskan. Segera kutumpuk buku-buku di samping kanan. Dalam sekejap, meja menjadi bersih. Tak lama, mbak Candra menaruh kotak makannya di meja dan menyeret salah satu kursi. Kemudian ia duduk di depanku. Aku pun mengambil kotak makan dan mulai membukanya.

“Nis, kamu sudah punya calon?”

Pertanyaan mbak Candra membuatku terkejut alang kepalang. Aku belum bisa menjawab pertanyaannya.

“Nis, kok diam? Berarti belum ya?”

“Belum Mbak.”

“Syukurlah.” Mbak Candra terlihat lega sekali mendengar jawabanku. Aku jadi penasaran. Apa ia mau memberi tawaran? Siapakah? Kalau teman mbak Candra, pasti lah ia tak jauh berbeda dengannya.

“Ada yang meminta bantuanku Nis. Tapi sebelumnya aku tanya dulu ya?”

 “Ehm..., apa laki-laki yang akan menjadi suamimu harus seorang perjaka?” , tanya mbak Candra lagi.

Diengg..., aku langsung terbelalak. Mungkinkah mbak Candra akan menawariku menjadi istri kedua? Aduh, mbak Candra tega sekali bila seperti itu. Memang, Allah tidak melarang laki-laki memiliki istri lebih dari satu. Tapi aku belum sampai taraf kemukhlisan seperti itu. Berbagi suami dengan wanita lain. Aku ingin suamiku hanya lah milikku. Tidak membagi cintanya kepada orang lain. Hanya untukku seorang.

“Lho kok tidak jawab? Ee..., jangan-jangan kamu mengira mau dijadikan istri kedua ya?”

Ku anggukkan kepala sebagai tanda keengganan bila harus jadi istri kedua.

“Oalah Nis, kayak aku tidak tahu dirimu saja. Jangan khawatir! Kamu memang mau dijadikan istri kedua tapi tidak mempunyai madu!”

“Maksud Mbak?”, tanyaku heran dengan statement aneh mbak Candra.

“Ku ceritakan ya! Ada seseorang yang ingin menyempurnakan kembali agamanya dan untuk lebih menjaga diri. Sembilan bulan yang lalu, istrinya meninggal. Dia orang yang sangat baik dan aku cukup mengenalnya. Seorang pengajar juga. Mempunyai prestasi yang sangat bagus di bidangnya. Ia belum terlalu tua, umurnya 38 tahun, dan mempunyai seorang anak.”

Mendengar diskripsi orang yang diceritakan mbak Candra, pikiranku menjurus kepada seseorang. Mungkinkah ia? Kalau benar, subhanallah. Di mataku, ia adalah sosok yang cukup sempurna. Mempunyai prestasi yang hebat di dunia dan agamanya. Almarhumah istrinya termasuk salah satu orang yang dekat denganku. Dan aku banyak mendengar cerita tentangnya.

“Siapa Mbak?”, tanyaku memastikan.

“Sebentar Nis. Apa kamu bersedia?”

Insya Allah kupertimbangkan Mbak.”

“Pak Budi, Nis. Ya, Prof. Budi Santoso mempunyai i’tikat baik padamu. Gimana?

Subhanallah, seperti dugaanku. Apakah ini rizki, atau bencana? Aku menyimpan kekaguman tersendiri padanya. Tetapi aku tidak tahu dengan bunda. Apakah ia bersedia anak gadisnya ini dipersunting oleh duda?

“Nis?”, kejar mbak Candra.

“Maaf Mbak, aku harus bicara dengan bunda dulu!”

Okay, kutunggu ya kepastiannya.”

**

Hari pertamaku di desa. Sungguh menyenangkan bisa beristirahat sebentar dari segala aktifitas kantor yang melelahkan. Aku mempunyai hari libur tiga hari. Kebetulan hari Senin nanti tidak ada jadwal mengajar. Jadi, aku bisa mengajukan satu hari cuti.

Di awal kedatanganku kemarin, bunda menyambut dengan suka cita. Hampir tiga bulan aku tidak pulang. Kedatanganku yang tiba-tiba, membuat bunda terkejut bahagia. Ingin sekali aku bisa pulang setiap bulan. Tetapi, aktifitas akademik tidak menginginkanku meninggalkannya. Selalu mengajak berlari.

“Nisa?” Terdengar suara bunda memanggil.

“Iya Bunda, sebentar!” Aku melangkah menuju pintu kamar dan kubuka daun pintu perlahan.

“Ada apa Bunda?”, tanyaku.

“Bunda mau bicara sebentar!”

“Iya. Silakan Bunda!” Bunda melangkahkan kaki ke dalam kamar. Kemudian duduk di tepi ranjang.

“Sini Nduk!”, pinta bunda padaku. Aku segera duduk di samping bunda. Beliau melihatku lekat. Tiba-tiba, bunda memegang tangan kananku erat.

“Kapan kamu menikah Nduk? Apa kamu sudah punya calon? Sebentar lagi kamu kan S3, dan umurmu sudah 27 tahun. Jangan lupa dengan nikah!”

Subhanallah, pas sekali. Berarti aku tidak perlu melakukan prolog untuk menyampaikan niat baik pak Budi.

“Kalau belum, bunda punya pandangan!”, lanjut bunda.

Astaghfirullah. Ada apa ini? Tawaran lagi?

“Bunda mengenalnya dengan baik. Kamu mau ya berkenalan lebih lanjut dengannya? Tapi sebenarnya kamu juga sudah mengenalnya!”, lanjut bunda lagi.

Masya Allah, siapa lagi dia? Tiba-tiba saja kepalaku seperti berputar. Pening. Oh.., calon dari bunda, aku sudah mengenalnya, dan bunda juga mengenalnya. Rabb, pasti lah ia orang yang baik. Karena aku yakin, bunda tidak akan main-main dalam memilihkan jodoh.

Nduk, kok diam saja?”, tegur bunda.

“Siapa dia Bunda?”

“Dia Hafizh, Nduk. Anak paman Iqbal. Sepupumu sendiri. Rupanya, diam-diam dia menaruh hati padamu. Kemarin, pamanmu menelepon bunda, bertanya tentangmu. Bagaimana Nduk?”

Aku termangu. Tak sanggup berkata. Hafizh anak yang baik. Aku mengenalnya. Ia lulusan Pondok Pesantren Gontor, kemudian mendapat beasiswa kuliah di Iran. Sekarang, ia sudah menjadi manajer di salah satu bank syariah di Surabaya.

Nduk, bagaimana?”

“Maaf Bunda. Saya belum bisa menjawab. Saya istikharah dulu ya?”

“Ehm..., ya sudah kalau begitu.”

**

Subhanallah..., apa artinya? Aku bermimpi melihat sepasang mukena putih di atas pembaringan. Mukena yang cantik. Berhias bordir halus dari benang emas. Apakah itu mimpi berarti?

Dua hari terakhir, aku shalat istikharah. Kebingungan berhasil membuatku kehilangan arah. Hafizh dan pak Budi.  Dua orang yang di mataku cukup perfect. Mereka sama baiknya. Sama shalih-nya. Andai diberi kebebasan memilih, pasti aku akan memilih Hafizh daripada pak Budi. Karena bila melihat latar belakang pak Budi, bunda pasti lebih cenderung pada Hafizh. Tetapi aku harus meminta pertimbangan Allah. Aku sadar, apa-apa yang kusukai belum tentu akan berakibat baik untuk hidupku, apalagi akhiratku. Karena itu, aku shalat istikharah. Memohon petunjuk dari Yang Maha Tahu. Yang mengetahui masa depanku.

Tetapi, belum juga tercipta kemantapan hati. Aku masih tetap bimbang memilih di antara keduanya.

“Bagaimana dengan Rizal?” Tiba-tiba satu sisi hatiku bertanya. Ah, mas Rizal adalah masa lalu. Dia telah memberi keputusan. Dan buatku, keputusannya cukup jelas. Aku takut patah bila harus berharap padanya.

Mau tidak mau, aku harus mengambil keputusan. Dengan mengucap bismillah, siapa saja yang datang duluan, dia lah yang akan kupilih!

“Nisa, ada tamu!” Tiba-tiba bunda berdiri di ambang pintu kamar yang terbuka.

Nduk, ada temanmu menunggu di ruang tamu! Cepatlah ditemui!”, lanjut bunda.

“Siapa Bunda? Laki-laki atau wanita?”, tanyaku.

“Laki-laki!” Subhanallah, laki-laki! Baru sedetik yang lalu aku memutuskan akan memilih siapa saja yang datang untuk menjadi suamiku. Siapa? Kalau Hafizh, bunda pasti memberitahu. Pak Budi kah? Hhh, aku telah memutuskan. Siapa pun dia, aku harus ikhlas. Yakin. Haqqul yaqin!

Dengan dada berdebar-debar, aku melangkah menuju ruang tamu. Ya Rabb, tenangkanlah hatiku. Ia lah yang terbaik. Sosok pak Budi mulai terbayang jelas di pelupuk mata.

Saat tiba di ruang tamu, aku melihat sesosok laki-laki yang benar-benar kukenal. Ia duduk di sofa panjang menghadap ke arahku berdiri. Ia membaca buku antologi cerpen yang di dalamnya ada aku sebagai salah satu penulis. Tadi malam buku itu kubaca dan terlupa memasukkan kembali ke almari.

Subhanallah, ia adalah mas Rizal. Rabb, benarkah ini? Kuusap-usap kedua mataku, mungkin hanya  fatamorgana. Mungkin aku melihat sosok mas Rizal di pak Budi. Tetapi tetap tak berubah! Ia tetap lah mas Rizal! Tiba-tiba, laki-laki di depanku mendongakkan kepala. Menatapku dengan mata berbinar. Ia tersenyum. Senyum yang teramat manis. Mungkin itulah senyum termanis yang pernah ia berikan kepada orang lain.

**

Tidak ada komentar:

Posting Komentar