Senin, 09 Mei 2011

Kristal Hati


“Ada lagi, Bu Nita?”
Seorang perawat wanita menawarkan bantuan saat mengantarkan beberapa dokumen dari rekan-rekanku yang ada di rumah sakit ini. Ia berdiri dekat ujung tempat tidurku, dengan dua lapis bibirnya siap memberikan kesanggupan sebagai kepiawaiannya dalam profesionalitas.
“Tidak, terima kasih banyak”, timpalku seraya mengembangkan senyum.
Si perawat turut tersenyum, “Bila begitu, saya pamit”, ucapnya, lalu membungkukkan badan.
Aku mengangguk, sesaat kemudian, ia telah membelakangiku dan melangkah ke arah pintu rawat inap.
Kuamati tumpukan dokumen di meja kecil di samping kananku. Berkas penelitian. Dan membaca hasil telaah teman-temanku merupakan hiburan menyenangkan ketika harus terbaring lemah seperti sekarang, tanpa aktivitas.
Namun, entah apa. Saat ini, gairah membacaku menurun. Lantas, kualihkan tatapan pada ranting-ranting gundul sakura yang memenuhi seluruh ruang jendela kaca di sampingku. Mataku tak lepas. Terpaku di sana. Tertarik kuat laksana kutub magnet positif bertemu dengan lawannya. Menempel rapat bak perangko pada pesona putih-putih di atasnya. Salju. Adalah hal biasa di musim dingin seperti sekarang, bagi orang-orang Jepang yang setiap tahunnya selalu menjumpainya, bahkan saling menyapa selama 3 bulan, kurang lebih.
Tidak bagiku. Salju mempunyai nilai lain. Tepatnya, sejak 13 tahun yang lalu. Saat ayahku melanjutkan program doktornya di Universitas Hokkaido atau Hokudai. Kami sekeluarga, aku, ayah, dan ibu memboyong diri, lebih pas disebut bedol rumah dari Surabaya―Indonesia ke Sapporo―Jepang. Walau sebenarnya istilah yang lebih sepadan untuk eksodus ini bukanlah rumah melainkan badan-badan 3 dimensi kami, beberapa lembar baju, dan kitab-kitab terpenting milik ayah.
Namun, istilah bedol rumah benarlah terjadi. Yaitu, setelah ayah menyelesaikan research-nya dengan hasil gilang-gemilang―sebutan yang dipakai ibu saat itu untuk pencapaian hasil studi ayah, ayah ditawari pekerjaan sebagai peneliti sekaligus pengajar di Hokudai. Selepas segala urusan yang kait mengkait dengan pekerjaan ayah di tanah air mendukung pinangan pihak Hokudai, dapat dipastikan aku akan tinggal di Negeri Para Samurai ini lebih lama lagi atau bahkan kami akan menetap di sini selamanya.
Saat kali pertama menapakkan kaki di Negeri Sakura ini, aku disambut pelukan sang musim dingin yang suhunya mencapai -10˚C dan langsung membekukan darah ke-Indonesiaanku. Aku dan ibu, yang belum pernah berkenalan dengan cuaca negeri 4 musim, serta merta drop selama 1 minggu, kecuali ayah yang bolak-balik ke negara ini. Bukan apa, melainkan tubuhku hendak menyesuaikan dengan kondisi baru. Tak seperti bayanganku, di negeri salju ini, aku hampir belum pernah menyentuhnya karena kedua telapak tanganku selalu berselimutkan sarung. Dulu, saat di Indonesia, aku berhasrat besar menjamahnya. Menyenangkan, pikirku.
Penyesuaianku tak hanya dengan cuaca baru, tapi juga dengan sekolah baru. Tatkala hendak menggabungkan diri di Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Jepang, aku hanya berdiri di depan gerbang masuk sekolah setelah ayah meninggalkanku karena harus menemui promotornya―kata ayah saat itu. Mengamati bangunan besar di hadapanku. Hampir seperempat jam aku berdiri, dari arah samping kiriku terdengar suara ramah seseorang.
“Moshi moshi[1]
Sontak, sapaannya memeranjatkanku, lalu diikuti pengalihan pandanganku dari bangunan bertingkat 4 di depanku ke sumber suara. Di sana, berdiri sesosok laki-laki tinggi―aku tepat sepundaknya―dengan kulit putih, wajah oval, sorot mata dalam, rambut lurus berbelah pinggir, dan tentu saja berseragam sama dengan seragam-baruku. Sekonyong-konyong, aku membungkuk sebagai balasan atas tegurannya. Aku belum berani meluncurkan kata-kata, mengingat les super cepat bahasa Jepang beberapa waktu lalu. Dan dia hanya merekahkan senyum, menyambutku.
“Kenapa tak masuk?”, tanyanya dalam bahasa Jepang.
“Aku...aku”, suaraku gagap, sangat kentara bahasa Jepangku belepotan.                          
“Anak baru ya?”, dia melontarkan pertanyaan lagi. Aku rada berpikir―tidak penting sekali―apa dia tak tahu kalau aku bukan satu ras dengannya. Kemudian, aku mengangguk sebagai jawaban atas rasa penasarannya.
“Kelas berapa?”
“Satu C”, jawabku singkat.
“Oh”, mulutnya membentuk lingkaran kecil hingga ada kepulan uap dari hembusan napasnya, “Aku juga kelas IC”, ia menjulurkan tangan kirinya, kidal, bisik hatiku, “Namaku Yamada Kato”
Aku merubah posisi tanganku yang sedari tadi menempel di tubuhku bagian samping, terjulur padanya, “Nita”, ucapku saat telapak tanganku dan telapak tangannya berjabatan erat yang terlapisi sarung tangan tebalku.
Sejak saat itu, aku dan Kato menjadi sahabat. Di mana ada Kato di situ ada Nita. Ternyata, di manapun berada, karakter manusia tak berubah. Di Indonesia, hampir seluruh sahabat terdekatku adalah laki-laki, dan di sini, di negeri orang pun tak berbeda walau diriku tak tomboy-tomboy amat. Mungkin itulah yang tergariskan oleh Allah akan satu sifat kemanusiaanku, lebih klop berbaur dengan laki-laki daripada sesama jenis. Enak saja. Mereka tak terlalu banyak merumpi seperti gadis-gadis yang menjadi hal ter-ogah-ku. Namun, sifat ini banyak berubah sejak aku mengenal Islam lebih dekat―saat aku di bangku kuliah, akhirnya aku tahu kalau pergaulan laki-laki dan perempuan harus dibatasi.
***
Kurasakan, sesuatu mengalir hangat di punggung tanganku. Perlahan, kucoba menggerakkan tangan. Dengan susah payah―tulang-tulang jariku terasa agak nyeri dan kaku, akhirnya ujung jemariku menyentuh permukaan yang lembut, lentur, dan kuyup. Penasaran, kukerjap-kerjapkan kelopak mataku. Setelah itu, samar, aku melihat bayangan wajah ibuku menempel di tanganku.
“Ibu...!”, telingaku menangkap suaraku yang lirih nyaris tak terdengar.
“Sayang....”, suara ibuku serak seperti terdapat banyak dahak menjerat pita suaranya, “Apa yang sakit, Nita?”
Pertanyaan ibu terdengar penuh kekhawatiran. Namun, aku memilih memperjelas pandanganku daripada menanggapi kerisauannya. Dan akhirnya, kudapati wajahnya terkuas rata dengan cat keresahan.
“Apa sakitnya berkurang?”
 Ibu melempar pertanyaan lagi yang menyadarkanku atas rasa nyeri yang beberapa saat lalu menyerang di sekujur kerangka tulangku. Tubuhku laksana dimutilasi tanpa obat bius. Dirancak-rancak. Nyeri sekali. Dan masih lekat bunyi ‘kretek’ saat aku menggeliat, yang menambah kenyerianku. Setelah itu, aku tak ingat apa-apa.
***
Ibu tetap memegang tanganku, “Ibu mohon, Nita!”, suara ibu hampir tertelan, “Lakukanlah kemo!?”
“Tidak, Ibu!”, bisikku seraya menggeleng ringan.
Kulihat ibu sesenggukan, “Ibu sudah tak tahan, Sayang!”, kepala ibu bergerak naik turun, terisak, “Setiap hari, selalu ada bagian tulangmu yang patah. Hari ini tulang rusukmu, besok apa lagi?”, ibu menyeka cucuran air matanya dan memeras hidung, “Kau juga harus melakukan cuci darah lebih sering lagi! Ibu mohon, luruhkan prinsipmu! Bukankah ini ikhtiar untuk kesembuhanmu?”
Dadaku sesak, melihat ibuku yang tampak sangat menderita, “Ibu sangat mengenalku”, aku menegaskan suara di tengah kelirihannya, “Tidak ada tawaran untuk suatu prinsip hidup!”
“Apa yang kamu katakan!?”, di tengah tangisnya, amarah ibu meledak, ditandai suaranya meninggi, “Selama ini, kau meneliti kanker untuk mencari penawarnya dan meminta para penderitanya mengkonsumsi hasil penemuanmu. Tapi, sekarang kau mengingkarinya!”, ibu tampak menahan napas, “Bukankah itu juga membuat Allah murka?!”
Setelah menyelesaikan kalimatnya, ibu meletakkan tanganku perlahan walau emosi menguasainya. Lalu, ibu berlari dengan terhuyung ke luar kamar, tempat aku dirawat.
Hatiku berdesir. Pilu. Aku tahu. Ibu sangat menyayangiku dan tak ingin kehilanganku. Anak satu-satunya. Namun, maaf, aku tak ada pilihan. Ini juga salah satu usahaku meraih cinta-Nya.
Semenjak aku mengetahui satu hadis Rasululloh tentang bersabar dalam sakit― termasuk bersabar dalam tidak melakukan pengobatan, aku tak pernah mengkonsumsi obat-obatan lagi. Selain itu, juga karena oleh efek samping obat terhadap sel-sel tubuh yang sehat. Dan bermula dari itu, aku hidup teratur dan serba sehat dalam segala hal, mulai dari makan, tidur, olah raga, kerja, dan sebagainya. Aku tak pernah sakit hingga kanker tulang ini menggerogotiku, kemudian menyusul mieloma multipel, yang semakin mengerati fungsi organ tubuhku mulai dari ginjal―kedua ginjalku tak bekerja. Lalu, paru-paruku mulai terdisfungsi hingga aku harus merasakan kenikmatan terbesar dapat menghirup udara ketika tubuhku mengejang tak tersuplai oksigen, dan tentu saja terjadi pengeroposan tulang-tulangku yang merapuhkannya.
Apakah aku salah menafsirinya, tapi hadisnya shahih. Kala menganalisis probabilitas kebodohanku, kurasakan ada yang mengganjal di sudut mataku. Lantas, kukerjabkan tapuknya. Sontak, sesuatu yang hangat mengalir melewati pelipisku.
Apakah aku termasuk dalam golongan orang-orang yang mempercepat datangnya ajal? Juga orang-orang berputus harapan? Serta munafik? Menyadari keburukan-keburukan yang kulakukan, kedua sudut mataku terus meluapkan air, bahkan semakin deras. Meratapi kristal hatiku. Keteguhanku, yang membeku selama ini. Rabbi, aku memohon ampun atas segala kebodohanku. Sesungguhnya taubatku adalah milik-Mu.
***
Tatkala seorang perawat mengganti kantong infusku, aku memintanya untuk membuka jendela kaca di sampingku. Hari ini, aku ingin sekali dipeluk sang musim dingin seperti saat kali pertama menginjak tanah Jepang. Dan sana, terdapat taman rumah sakit yang indah, namun segalanya berwarna putih oleh tumpukan salju.
Setelah bagian bawah daun jendela terbuka, hawa dingin menerobos masuk, membelai kulitku, merembes ke dalam, dan seolah mengompres segenap tulangku yang dibalut nyeri. Aku menyeringai, menepis sensasi aneh yang menggigit.
Si perawat yang masih memperhatikanku tertegun, “Apakah nyerinya bertambah, Bu?”, tanyanya yang mungkin melihat ringisanku, “Apakah disuntikkan penghilang sakit?”
“Tak perlu!”
Senyeri apapun yang kurasakan, aku akan berusaha untuk bertahan. Tak pernah meminta analgesik untuk meredakannya. Walau akhirnya, ketika diriku pingsan, tak mampu membentengi raga sendiri untuk tetap melakukan kontak dengan orang-orang sekitar, dokter atau perawat kemungkinan besar menusukkan jarumnya di kantong infusku dan mencampurkan beberapa dosis analgesik terbaik ke dalamnya, atas permintaan ibu.
Si perawat membungkuk, menyadari tak ada hal lain yang kubutuhkan. Pamit diri. Selepasnya pergi, telingaku menangkap suara, sayup-sayup, dari arah bawah jendela.
“Ibu, ayo pergi...!”, terdengar suara anak kecil merengek manja.
“Pergi kemana? Adek kan masih sakit!”, sahut sang ibu dengan bijaksana.
“Taman Odori―”
Bertepatan kata terakhir terputus, selubung panas mendadak menyelimuti kedua mataku, hingga merangsang kelenjarnya mengalirkan simpanannya untuk mendinginkan.
Pelan, kukatupkan tapuk mata, membiarkan lelehan hangat keluar dari sudut-sudutnya, serta merasakan kelegaan dan kenyamanan, sesaat. Kala mengembangkannya kembali, seketika, kedua bola mataku melompat, terlepas dari rongganya. Saat ini, aku berdiri, hal yang satu minggu ini mustahil kulakukan karena kedua tungkaiku tak mampu menegak, apalagi menopang berat badanku. Dan puncak ketercenunganku, aku berada di tengah kerumunan ribuan orang yang memadati suatu area, yang sangat kuingat detailnya, yaitu Taman Odori. Sekarang, di sekelilingku, terdapat puluhan patung atau istana, yang terbuat dari es, berdiri dengan gagah dan megah.
Tak ingin tetap bergeming dan tertepa hawa dingin, aku mulai melangkah, merangsang kelenjar keringat berproduksi walau itu tak mungkin terjadi. Menyisip di antara tumpukan manusia. Lama. Aku tak ke sini. Semenjak kejadian itu. Tiga belas tahun yang lewat. Saat aku menunggu Kato yang berjanji menemuiku untuk melihat hamparan hiasan salju dari puncak Sapporo TV Tower, hingga aku membeku, terpatung di satu kaki-kukuhnya. Disertai harapan bahwa Kato akan datang dengan senyum merekah, lalu mengajakku mengelilingi Taman Odori dari ketinggian menara yang terkenal menakjubkan, dan aku berencana mengakhirinya dengan ungkapan rasaku yang terpendam. Namun, rasa itu mengkristal oleh dinginnya butir-butir salju yang menghujaniku, hingga kini, tak pernah tercairkan, karena itu hanya untuk Kato seorang, yang tak pernah kutemui sejak saat itu. Karena ia telah―.
“Nita-chan!”
Aku terperanjat, mendengar panggilan seseorang dari arah belakang. Sontak, memburaikan kekusutan kenanganku, dengan suara yang terekam baik. Sangat akrab, di hatiku. Serta merta, aku membalik badan. Di sana, dua meter di depanku, seorang jejaka tinggi besar, dengan bentuk muka lonjong, rambut lurus berbelah pinggir, merekahkan senyum. “Kato...!”, bisik hatiku. Nyaris tak berjeda, kurasakan area sekitar mataku memanas dan bendungannya jebol, isinya tumpah ruah. Melihat sosok Kato yang bagiku tak mungkin lagi kutemui. Namun kini, ia berdiri tak jauh dariku, penuh kegagahan.
“Maaf, lama menunggu”, Kato menggerakkan tungkainya, melangkah ke arahku, “Ayo...!”, ia menggandeng tanganku.
Aku menurut, tak paham, lalu kuajukan satu tanya, “Kemana?”, di tengah keterbengonganku
“Kesana!”, telunjuk Kato mengarah pada puncak menara Sapporo TV Tower. Kemudian, Kato mengajakku terbang ke atas.
“Kato, kenapa kita tak mengantri?”, kuarahkan pandangan pada deretan panjang manusia tengah mengantri tiket naik ke menara.
“Kenapa harus mengantri?”, Kato balik bertanya lalu menarik dua sudut bibirnya, “Kita kan bisa terbang!”
Benar, tubuhku terasa sangat ringan. Seringan kapas. Bersama Kato, melayang-layang laksana burung sejoli, lantas hinggap di pucuk menara. Mengamati Taman Odori dari atas, merupakan pemandangan spektakuler, mengagumi keindahan Sapporo Yuki-Matsuri di Taman Odori yang membentang sepanjang 1,5 kilometer.
“Maukah pergi bersamaku?”, suara lembut Kato memecah ketakjubanku pada keelokan Yuki-Matsuri.
Aku berusaha mencari gambaran keseriusannya, dengan menengadah, memakukan pandangan pada sepasang bola matanya. Dia bersungguh-sungguh, tak main-main.“Ke mana?”
“Ke duniaku”, jawab Kato singkat seraya menatapku lekat, menunggu jawaban. Lantas, kuanggukkan kepala.
Mengetahui kesediaanku, Kato mendekapku. Hangat. Alirannya menyusup jauh ke dalam. Ke ulu hati. Dan mencairkan gumpalan beku yang selama 13 tahun ini mengeram di sana. Tak pernah meleleh, meskipun terdidihkan di puncak musim panas. Kristal cintaku. Dan hanya Kato yang mampu membuatnya mencapai titik leleh, kala ia menjemputku, menuju dunia ruh yang abadi. Seperti saat ini.

**Selesai**


[1] Halo

2 komentar: